Pendahuluan
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pilar penting dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia. Mereka bukan hanya bertugas melaksanakan kebijakan publik, tetapi juga menjadi representasi integritas negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seiring perubahan zaman dan meningkatnya biaya hidup, muncul kebutuhan yang makin mendesak bagi banyak ASN untuk memiliki sumber penghasilan tambahan di luar gaji pokok dan tunjangan.
Di sisi lain, muncul dilema ketika ASN juga ingin terjun ke dunia bisnis. Meskipun kegiatan ekonomi pribadi merupakan hak setiap warga negara, ASN terikat oleh sejumlah peraturan yang membatasi ruang geraknya. Dilema ini muncul karena posisi ASN dianggap strategis dan rentan terhadap konflik kepentingan, terlebih jika bisnis yang dijalankan bersinggungan dengan tugas dan kewenangannya.
Fenomena ASN yang memiliki usaha sampingan seperti membuka toko online, menjadi pemilik warung makan, atau bahkan terlibat dalam bisnis properti dan transportasi daring semakin marak. Namun, tanpa pemahaman regulasi yang memadai, kegiatan tersebut bisa berpotensi melanggar aturan kepegawaian. Ada pula kasus ASN yang menjadi komisaris di perusahaan milik keluarga atau terlibat dalam proyek swasta, yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai etika, netralitas, serta potensi penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaan penting pun muncul: Bolehkah ASN berbisnis? Apa saja yang menjadi batasannya? Kapan sebuah usaha dinilai sah dan tidak melanggar hukum, dan kapan ia masuk dalam ranah pelanggaran disiplin atau kode etik?
Artikel ini hadir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara komprehensif. Mulai dari payung hukum yang mengatur aktivitas ekonomi ASN, klasifikasi jenis usaha yang diperbolehkan dan dilarang, hingga rekomendasi strategi agar ASN tetap dapat menjaga profesionalisme tanpa harus menanggalkan aspirasi kewirausahaannya. Dengan memahami regulasi secara benar, ASN dapat tetap produktif secara ekonomi tanpa harus mengorbankan etika dan integritas sebagai abdi negara.
I. Landasan Hukum dan Regulasi
Pemahaman tentang boleh tidaknya ASN berbisnis harus merujuk pada sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara tegas membatasi ruang gerak ASN dalam melakukan aktivitas ekonomi. Berikut beberapa dasar hukum penting yang relevan:
1.1 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Undang-undang ini merupakan landasan utama yang mengatur hak, kewajiban, larangan, serta kode etik ASN. Beberapa poin penting yang relevan:
- Pasal 10 ayat (1) menjelaskan bahwa ASN harus menjunjung tinggi prinsip dasar profesionalisme dan netralitas.
- Pasal 24 menegaskan bahwa setiap ASN dilarang menyalahgunakan wewenang atau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau golongan.
- Pasal 5 huruf e dan f mengatur nilai dasar ASN, yakni menjunjung tinggi standar etika publik dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas.
Meskipun UU ini tidak secara eksplisit menyebut kata “berbisnis”, namun prinsip-prinsip yang tertuang menuntut ASN untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, pengaruh negatif terhadap layanan publik, atau pemanfaatan jabatan untuk keuntungan pribadi.
1.2 Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (mengganti PP No. 53/2010)
PP ini mempertegas sanksi bagi ASN yang melanggar aturan dan tata tertib kedinasan. Beberapa ketentuan penting:
- Pasal 5 huruf c dan e menyebutkan bahwa PNS dilarang melakukan kegiatan yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang, termasuk kegiatan usaha yang menimbulkan konflik kepentingan.
- Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenai sanksi mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian dengan tidak hormat, tergantung pada tingkat pelanggaran dan dampaknya terhadap pelayanan publik.
Dengan demikian, meskipun tidak semua kegiatan bisnis dilarang, namun keterlibatan ASN dalam usaha yang berkaitan langsung dengan tugas pokok atau instansi tempat ia bekerja bisa berujung pada sanksi berat.
1.3 Permen PANRB No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembinaan Etika ASN
Peraturan Menteri ini memberikan panduan perilaku etis ASN dalam menjalankan tugasnya. Prinsip integritas, akuntabilitas, dan profesionalisme ditegaskan kembali dalam aturan ini. Beberapa hal penting:
- ASN dilarang memanfaatkan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, maupun kelompok tertentu.
- Setiap bentuk aktivitas tambahan di luar tugas utama harus dilakukan dengan mempertimbangkan asas kepatutan, transparansi, dan tidak mengganggu tugas utama sebagai ASN.
Permen ini juga menekankan pentingnya menjaga citra ASN di masyarakat, termasuk di media sosial dan aktivitas bisnis daring.
1.4 Surat Edaran dan Ketentuan Tambahan
Beberapa pemerintah daerah atau instansi vertikal juga mengeluarkan surat edaran internal atau peraturan kepala daerah yang lebih spesifik terkait larangan berbisnis bagi ASN, terutama jika kegiatan bisnis tersebut dilakukan pada jam kerja atau menggunakan fasilitas negara.
Contoh: SE Menpan RB Nomor B/75/M.SM.00.00/2019 menyatakan bahwa ASN dilarang terlibat sebagai pengelola langsung usaha berbadan hukum seperti CV, PT, atau koperasi yang bersifat profit-oriented. Namun, kepemilikan pasif atau kepemilikan saham masih diperbolehkan selama tidak mengganggu tugas utama dan tidak menimbulkan konflik kepentingan.
II. Prinsip Dasar Netralitas dan Integritas ASN
2.1 Netralitas ASN
Netralitas merupakan prinsip fundamental dalam etika Aparatur Sipil Negara (ASN). Selama ini, prinsip ini paling sering dikaitkan dengan larangan keterlibatan ASN dalam politik praktis, seperti menjadi tim sukses, menghadiri kampanye, atau menyatakan dukungan terbuka terhadap kandidat politik. Namun, netralitas ASN sejatinya memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk dalam ranah ekonomi dan pengambilan keputusan administratif.
Dalam konteks berbisnis, netralitas menuntut ASN untuk tidak menggunakan pengaruh jabatan atau kewenangan administratifnya demi kepentingan usahanya sendiri atau pihak lain yang memiliki hubungan ekonomi dengannya. Misalnya, seorang ASN yang memiliki bisnis katering tidak boleh memengaruhi pengadaan makanan dalam instansi tempat ia bekerja agar perusahaannya mendapatkan proyek tersebut. Tindakan semacam itu merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas.
ASN juga dilarang memberikan akses atau fasilitas khusus kepada mitra bisnisnya yang berkaitan dengan informasi internal pemerintah. Bahkan jika bisnis dijalankan oleh anggota keluarga, ASN tetap wajib menjaga jarak dari keputusan yang berpotensi menguntungkan secara tidak adil.
2.2 Integritas dan Transparansi
Integritas adalah kualitas moral dan etika yang menjunjung kejujuran, tanggung jawab, serta kesetiaan terhadap prinsip-prinsip pelayanan publik. ASN dituntut menjaga integritas dalam setiap tindakan, termasuk saat menjalani kegiatan ekonomi.
Bentuk utama transparansi dalam pengelolaan harta dan kegiatan ekonomi pribadi ASN adalah dengan menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk pejabat tertentu, atau Laporan Harta Kekayaan ASN (LHKASN) bagi ASN non-penyelenggara negara. Dalam laporan ini, ASN wajib mencantumkan kepemilikan saham, usaha, atau penghasilan lain di luar gaji.
Selain itu, ASN dilarang menggunakan fasilitas negara – seperti kendaraan dinas, kantor, jaringan internal, atau waktu kerja – untuk menjalankan bisnis pribadi. Contohnya, menggunakan laptop dan printer kantor untuk mencetak brosur produk, atau memakai jam kerja untuk mengelola toko daring, termasuk membalas pesan pelanggan melalui akun media sosial pribadi.
Etika publik menuntut ASN untuk menjadi teladan di tengah masyarakat, sehingga keterlibatannya dalam kegiatan ekonomi harus tetap mengedepankan keterbukaan dan kejujuran, serta tidak menciptakan citra buruk terhadap instansi tempatnya bekerja.
III. Jenis Usaha yang Diperbolehkan dan Larangan
3.1 Usaha Sampingan yang Diperbolehkan
Meskipun ASN memiliki keterikatan aturan dalam menjalankan kegiatan usaha, tidak berarti semua bentuk bisnis dilarang. Ada sejumlah jenis usaha yang masih diperbolehkan selama tidak melanggar prinsip-prinsip netralitas, integritas, dan tidak mengganggu tugas utama ASN.
Beberapa jenis usaha yang diperbolehkan antara lain:
- Usaha Pertanian dan Peternakan Keluarga
ASN diperbolehkan memiliki atau mengelola lahan pertanian dan peternakan dalam skala rumah tangga, seperti berkebun, beternak ayam atau kambing, dan hasilnya dijual secara lokal. Kegiatan ini umumnya tidak memerlukan izin khusus selama dilakukan di luar jam kerja dan tidak menggunakan sumber daya negara. - Usaha Mikro di Bidang Jasa
ASN dapat menjalankan usaha kecil yang bersifat jasa, seperti membuka les privat, salon rumahan, atau jasa desain grafis, selama kegiatan tersebut dilakukan di luar jam kerja dan tidak berkaitan dengan tugas pokoknya. - Investasi Pasif
ASN diperbolehkan berinvestasi secara pasif dalam bentuk deposito, obligasi, saham di pasar modal, atau reksa dana. Namun, keterlibatan harus bersifat investor murni, bukan manajemen aktif atau pengelola perusahaan. - Pemanfaatan Aset Produktif
Seperti menyewakan rumah, kos-kosan, atau properti pribadi lainnya yang tidak melibatkan peran aktif dalam manajemen usaha sehari-hari.
3.2 Larangan Bisnis bagi ASN
Adapun jenis usaha yang dilarang tegas untuk dijalankan ASN meliputi:
- Menjadi Pengurus/Pemilik Aktif Perusahaan Berbadan Hukum
ASN dilarang menjadi direktur, komisaris, atau pengelola aktif pada Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, CV, Yayasan, atau usaha sejenis yang bersifat profit-oriented. Kalaupun memiliki saham, kepemilikan tersebut tidak boleh dibarengi dengan pengambilan keputusan atau keterlibatan aktif dalam operasional perusahaan. - Menjalankan Usaha yang Berkaitan dengan Tugas Pokok Jabatan
Misalnya, ASN di Dinas Pendidikan yang menjual perlengkapan sekolah kepada instansinya, atau ASN di Dinas Kesehatan yang membuka apotek yang memasok obat ke rumah sakit tempat ia bekerja. - Berbisnis Menggunakan Fasilitas atau Wewenang Negara
Termasuk menggunakan dokumen resmi, akses informasi rahasia, kendaraan dinas, hingga tenaga bawahan untuk kepentingan pribadi. - Menjadi Pemilik Usaha yang Terlibat dalam Proyek Pemerintah
ASN tidak boleh menjadi bagian dari perusahaan kontraktor, supplier, atau rekanan yang mengikuti lelang proyek APBD/APBN. Ini berpotensi kuat menimbulkan konflik kepentingan. - Mendirikan atau Menjadi Bagian dari Perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing)
Karena bersifat lintas yurisdiksi, keterlibatan ASN dalam PMA dianggap dapat mengganggu kewajiban utama mereka sebagai abdi negara, serta menimbulkan potensi kerawanan hukum.
IV. Konflik Kepentingan dan Mekanisme Pengawasan
4.1 Definisi Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan didefinisikan sebagai kondisi di mana kepentingan pribadi ASN, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat memengaruhi obyektivitas dan profesionalitasnya dalam menjalankan tugas publik. Bentuk konflik ini bisa berupa hubungan bisnis dengan pihak yang memiliki kepentingan terhadap keputusan instansi, atau situasi di mana ASN mengarahkan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, keluarga, atau kelompoknya.
Konflik kepentingan dapat muncul dalam berbagai bentuk:
- Finansial: ketika ASN memiliki keuntungan pribadi dari keputusan yang ia ambil.
- Relasional: saat keputusan ASN dipengaruhi oleh relasi keluarga, teman, atau kolega bisnis.
- Wewenang: ketika ASN menyalahgunakan jabatan untuk mempercepat perizinan atau mendapatkan akses khusus atas nama usahanya.
4.2 Tata Cara Pelaporan dan Pengajuan Izin
Untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, ASN yang ingin menjalankan usaha pribadi wajib mengikuti prosedur pelaporan dan pengajuan izin sebagai berikut:
- Mengajukan Laporan Tertulis kepada atasan langsung, yang berisi:
- Jenis usaha yang dijalankan.
- Skala usaha.
- Waktu pelaksanaan (harus di luar jam kerja).
- Penjelasan bahwa tidak menggunakan fasilitas negara.
- Memperoleh Persetujuan Tertulis dari pejabat pembina kepegawaian (PPK), seperti kepala dinas, sekretaris daerah, atau pejabat eselon II sesuai struktur organisasi.
- Melampirkan LHKASN atau LHKPN sebagai bentuk transparansi bahwa usaha tersebut tidak disembunyikan dari negara.
Izin ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi dasar legalitas bagi ASN agar tetap berada dalam koridor hukum dan etika saat menjalankan usaha pribadi.
4.3 Pengawasan oleh Inspektorat dan Ombudsman
Pengawasan terhadap kegiatan bisnis ASN dilakukan oleh berbagai lembaga internal dan eksternal, antara lain:
- Inspektorat Daerah dan Inspektorat Jenderal
Bertanggung jawab dalam pemeriksaan internal terhadap laporan kegiatan usaha yang mencurigakan atau laporan pelanggaran disiplin. - Ombudsman Republik Indonesia
Menindaklanjuti aduan masyarakat apabila ditemukan dugaan penyalahgunaan wewenang ASN dalam menjalankan bisnis pribadi. - Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
Berwenang memberikan rekomendasi atas pelanggaran kode etik ASN, termasuk terkait integritas dan netralitas.
Jika ASN terbukti melanggar aturan terkait bisnis pribadi, maka ia bisa dikenai sanksi administratif, sanksi disiplin sedang atau berat, hingga pencopotan jabatan atau pemberhentian tidak dengan hormat sesuai dengan bobot pelanggaran.
V. Studi Kasus dan Praktik Terbaik
5.1 Studi Kasus ASN Pemilik Usaha Mikro
Salah satu contoh yang menarik adalah seorang ASN di Provinsi Jawa Tengah, sebut saja Ibu Rina, yang bekerja sebagai analis data di dinas pendidikan. Di luar jam dinas, ia mengelola usaha kecil berupa produksi kue kering dan camilan sehat berbasis bahan lokal. Usaha ini dimulai dari hobi memasak dan didorong oleh keinginan untuk menambah penghasilan pasca pandemi.
Yang membuat usaha Ibu Rina menjadi studi kasus positif adalah kepatuhannya terhadap batasan hukum dan etika. Ia memproduksi kue-kue tersebut sepulang kerja, menggunakan dapur pribadi, dan memasarkan produknya melalui media sosial pribadi serta platform marketplace umum, tanpa menyebut identitasnya sebagai ASN. Ia juga tidak pernah menjadikan status PNS sebagai nilai jual atau alat promosi.
Dalam menjalankan bisnisnya, Ibu Rina secara berkala berkonsultasi dengan atasan langsung dan bagian kepegawaian mengenai batas-batas yang harus dijaga. Ia juga rutin melaporkan kekayaan melalui LHKASN (Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara) dan mencantumkan usahanya sebagai bagian dari sumber pendapatan sah. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi kecurigaan atau konflik kepentingan.
Prinsip penting dari kisah ini adalah bagaimana usaha mikro dapat menjadi sarana pemberdayaan ekonomi bagi ASN, selama dilakukan dengan profesionalisme dan integritas. Model ini bisa menjadi inspirasi, terutama bagi ASN yang memiliki keahlian atau minat di luar pekerjaan utamanya.
5.2 Praktik Terbaik di Pemerintah Daerah
Beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan respons proaktif dalam merespons aspirasi ASN yang ingin berwirausaha. Salah satu contohnya adalah Pemerintah Kabupaten X di Pulau Sumatera yang meluncurkan program “ASN Produktif, Tetap Netral”. Program ini dirancang untuk mengakomodasi minat berbisnis ASN, sekaligus menjaga batasan etika dan profesionalisme.
Langkah pertama yang diambil Pemda X adalah menyusun panduan resmi mengenai aktivitas bisnis yang diperbolehkan bagi ASN. Panduan tersebut menyebutkan jenis usaha yang relatif aman (misalnya: bisnis pertanian, kerajinan tangan, penjualan makanan ringan) serta usaha yang memiliki potensi konflik kepentingan tinggi (seperti: kontraktor, distributor barang pemerintah, atau konsultan proyek). Dalam dokumen itu juga dicantumkan daftar larangan, termasuk penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan usaha.
Selain itu, Pemda X membentuk tim lintas OPD (Organisasi Perangkat Daerah) untuk memberikan layanan konsultasi etika bisnis bagi ASN. Tim ini terdiri dari perwakilan Inspektorat, Bagian Hukum, BKD, dan Biro Organisasi. Mereka membuka klinik konsultasi bulanan, di mana ASN dapat meminta panduan sebelum memulai bisnis, atau ketika mengalami keraguan dalam pelaksanaannya.
Pemda X juga mendorong pencatatan aset dan kegiatan bisnis ASN dalam sistem pelaporan harta kekayaan secara digital yang terintegrasi dengan e-Government. Dengan demikian, transparansi terjaga, dan publik tetap dapat mengawasi kegiatan ASN secara objektif.
Praktik semacam ini layak direplikasi oleh pemerintah daerah lain, terutama untuk menciptakan ekosistem ASN yang tidak hanya kompeten secara birokrasi, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan tanpa melanggar aturan.
VI. Rekomendasi bagi ASN Berbisnis
6.1 Menjaga Batasan Peran
Salah satu prinsip utama agar kegiatan bisnis ASN tidak menimbulkan konflik adalah menjaga pemisahan antara peran sebagai aparatur sipil dengan peran sebagai wirausaha. Hal ini mencakup aspek waktu, ruang, fasilitas, dan otoritas.
Dari sisi waktu, ASN harus memastikan bahwa kegiatan bisnis dilakukan sepenuhnya di luar jam kerja. Tidak boleh ada aktivitas jual beli, komunikasi dengan pelanggan, atau kegiatan operasional lainnya yang dilakukan saat jam dinas berlangsung. Bahkan jika ASN bekerja secara WFH (Work From Home), prinsip ini tetap berlaku.
Dari sisi ruang dan fasilitas, ASN dilarang menggunakan sumber daya negara – termasuk komputer kantor, kendaraan dinas, bahkan email resmi – untuk mendukung bisnis pribadi. Pemisahan ini penting demi menjaga kredibilitas institusi dan mencegah munculnya persepsi bahwa ASN menyalahgunakan fasilitas publik.
Lebih dari itu, ASN tidak boleh mencampurkan otoritas jabatannya dalam kegiatan usaha. Misalnya, seorang kepala seksi yang juga memiliki toko online tidak boleh menggunakan pengaruhnya untuk mendorong bawahan atau kolega membeli produknya. Bahkan menggunakan jabatannya sebagai bagian dari strategi promosi, seperti “Kue Buatan Ibu Lurah” atau “Produk ASN Teladan”, sangat tidak dianjurkan karena mengaburkan garis netralitas.
6.2 Konsultasi Hukum dan Etik
Langkah bijak sebelum memulai usaha adalah berkonsultasi secara formal dengan pihak-pihak yang berwenang di lingkungan instansi kerja. Konsultasi ini bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi sarana pencegahan terhadap potensi pelanggaran etik atau hukum.
ASN dapat berkonsultasi dengan:
- Biro Hukum atau Bagian Hukum: untuk memahami apakah rencana usaha yang akan dijalankan memiliki implikasi hukum atau melanggar peraturan internal.
- Biro Kepegawaian/BKD: untuk mengecek kesesuaian rencana bisnis dengan kode etik ASN dan regulasi terkait integritas serta netralitas.
- Atasan Langsung: untuk menjaga komunikasi terbuka dan transparan dalam lingkungan kerja, sekaligus mendapatkan masukan tentang batasan perilaku dan ekspektasi organisasi.
Beberapa instansi bahkan memiliki Komite Etik yang bisa diakses ASN jika ada dilema atau situasi abu-abu yang tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan. Melibatkan diri dalam diskusi semacam ini tidak menunjukkan kelemahan, melainkan tanda kehati-hatian dan komitmen terhadap prinsip profesionalisme.
6.3 Pelaporan Berkala
Transparansi adalah salah satu prinsip kunci dalam menjaga integritas ASN yang memiliki aktivitas usaha. Oleh karena itu, melaporkan kegiatan usaha dan harta kekayaan secara berkala menjadi langkah penting.
ASN wajib melaporkan harta kekayaan melalui sistem LHKASN atau LHKPN (untuk jabatan tertentu). Dalam pelaporan tersebut, aset yang bersumber dari usaha – seperti toko, kendaraan operasional, alat produksi, atau bahkan stok barang – harus dicantumkan secara akurat.
Lebih dari itu, jika skala bisnis semakin berkembang, ASN dapat secara sukarela menyampaikan informasi tambahan kepada instansi terkait, misalnya laporan omzet tahunan atau struktur kepemilikan. Tujuannya bukan untuk intervensi, melainkan sebagai bentuk keterbukaan bahwa aktivitas tersebut sah, mandiri, dan tidak mempengaruhi objektivitas sebagai aparatur negara.
Bila pelaporan ini dilakukan dengan jujur dan tepat waktu, ASN dapat membuktikan bahwa usaha yang dijalankannya tidak bersifat tersembunyi atau mencurigakan. Hal ini juga menjadi bukti bahwa kesejahteraan tambahan yang diperoleh tidak berasal dari praktik korupsi, suap, atau penyalahgunaan wewenang.
VII. Kesimpulan
Pertanyaan “bolehkah ASN berbisnis?” tidak dapat dijawab secara hitam-putih, melainkan membutuhkan pemahaman atas regulasi, etika, dan konteks praktis yang berlaku. Secara prinsip, ASN memang diperbolehkan memiliki kegiatan usaha asal tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, tidak mengganggu tugas utama, serta tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Dengan mematuhi aturan dan menjaga netralitas, seorang ASN tetap dapat menjadi bagian dari penggerak ekonomi, khususnya di sektor UMKM dan ekonomi kreatif. Namun, semua itu harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi: menjaga batas waktu, tidak menggunakan fasilitas negara, tidak menyalahgunakan pengaruh jabatan, dan selalu bersikap transparan.
ASN juga dituntut untuk membangun budaya konsultatif dan kolaboratif, baik dengan rekan kerja, atasan, maupun lembaga etik di institusinya. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kesalahpahaman atau muncul isu yang mencuat, ASN sudah memiliki dasar moral dan administratif yang kuat untuk mempertanggungjawabkannya.
Di tengah tuntutan hidup yang semakin kompleks, berwirausaha bisa menjadi sarana positif bagi ASN untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun lebih dari itu, justru integritas dalam mengelola usaha itulah yang akan menunjukkan jati diri ASN sebagai pelayan publik sejati – yang tidak hanya kompeten dalam birokrasi, tetapi juga bijak dan bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi.