1. Pendahuluan: Mengapa Digitalisasi Desa Perlu Diawasi DPRD 

Digitalisasi desa bukan sekadar memasang Wi-Fi atau mengunggah data ke sistem online. Ia mencakup cara baru mengatur layanan publik, pencatatan administrasi, penyaluran bantuan, hingga pemberdayaan ekonomi lokal melalui platform digital. Ketika teknologi masuk ke desa, potensi positifnya besar: pelayanan lebih cepat, data rapi, dan pemerintahan lokal lebih transparan. Namun begitu, ada juga risiko – misalnya penyalahgunaan anggaran, kebocoran data pribadi warga, atau ketimpangan akses antara desa yang sudah siap teknologi dan yang belum.

Di sinilah peran DPRD menjadi penting. DPRD punya fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran. Mereka tidak sekadar mengkritik dari jauh; DPRD dapat memastikan program digitalisasi direncanakan matang, anggarannya digunakan transparan, serta pelaksanaannya tidak meninggalkan warga paling rentan. Pengawasan DPRD membantu mencegah proyek digital yang “asal jalan” tanpa kajian, atau sistem digital yang mahal tetapi tidak sesuai kebutuhan lokal.

Artikel ini menjelaskan peran DPRD dalam mengawal digitalisasi desa dengan bahasa sederhana dan langkah praktis yang bisa dipahami oleh anggota DPRD, perangkat desa, dan masyarakat umum. Setiap bagian disusun untuk memberi panduan: mulai dari tugas penganggaran, metode pengawasan, hingga cara melibatkan masyarakat agar digitalisasi benar-benar membawa manfaat nyata. Tujuannya: agar teknologi menjadi alat pemberdayaan – bukan sekadar simbol modernisasi – dan anggaran publik dipakai untuk kepentingan warga. Di akhir, ada rekomendasi konkret yang bisa diterapkan DPRD tingkat kabupaten/kota atau provinsi saat mereka membahas dan mengawasi program digitalisasi desa.

2. Mengapa Digitalisasi Desa Penting – Manfaat yang Jelas untuk Warga

Digitalisasi desa bukan trend kosong; ia menawarkan manfaat nyata bila dirancang dan dijalankan dengan benar. Pertama, layanan administrasi menjadi lebih cepat dan rapi. Contoh sederhana: penerbitan surat keterangan, perekaman data kependudukan, atau pencatatan tanah dapat dilakukan lewat aplikasi sehingga mengurangi antrean dan risiko kehilangan dokumen fisik. Untuk warga, ini berarti lebih sedikit waktu dan biaya untuk mengurus kebutuhan administrasi.

Kedua, penyaluran bantuan sosial dan program pemberdayaan bisa lebih tepat sasaran. Dengan data yang rapi dan terintegrasi, desa dapat memetakan keluarga rentan, meminimalkan kesalahan penerima, dan mengurangi potensi praktik tidak transparan. Ketiga, digitalisasi membuka peluang ekonomi – misalnya UMKM desa bisa memasarkan produk lewat marketplace, mendapatkan pelatihan online, atau mengakses informasi pasar lebih cepat.

Keempat, ketersediaan data yang baik membantu perencanaan pembangunan desa. Perangkat desa dan DPRD dapat melihat kebutuhan riil (sanitasi, pendidikan, infrastruktur) berdasarkan data, bukan sekadar asumsi. Data juga mempermudah monitoring – misalnya memantau progres pembangunan fisik atau efektivitas program bantuan.

Namun penting diingat: manfaat ini hanya muncul bila digitalisasi inklusif. Ada desa yang infrastrukturnya minim: jaringan internet tidak stabil, listrik tidak selalu tersedia, atau sebagian warga tidak melek digital. Tanpa perhatian pada kesiapan ini, digitalisasi malah memperlebar kesenjangan. Oleh sebab itu, peran DPRD diperlukan untuk memastikan program digital tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga berbasis kebutuhan dan kemampuan masyarakat setempat.

3. Fungsi DPRD yang Relevan untuk Mengawal Digitalisasi Desa 

DPRD memiliki tiga fungsi utama yang relevan untuk digitalisasi desa: legislasi (membuat peraturan daerah), anggaran (mengatur dan mengawasi penggunaan APBD), dan pengawasan (memantau pelaksanaan kebijakan). Ketiga fungsi ini menjadi alat penting agar program digitalisasi desa berjalan efektif dan bertanggung jawab.

Dalam fungsi legislasi, DPRD bisa mendorong hadirnya peraturan yang mengatur tata kelola data, perlindungan privasi warga, dan standar penggunaan teknologi di desa. Peraturan daerah yang jelas memberi payung hukum bagi perangkat desa dan pemerintah kabupaten/kota dalam menjalankan program digital secara konsisten.

Di ranah anggaran, DPRD berperan menentukan alokasi dana untuk program digital desa, termasuk alokasi untuk infrastruktur (internet, listrik), pelatihan sumber daya manusia, dan pemeliharaan sistem. DPRD perlu memastikan anggaran tidak hanya untuk pembelian perangkat atau aplikasi sekali jalan, tetapi juga untuk biaya operasional jangka panjang seperti pembaruan sistem dan pelatihan berkelanjutan.

Fungsi pengawasan memungkinkan DPRD mengecek realisasi program: apakah proyek sesuai spesifikasi, tepat waktu, dan tidak ada korupsi atau pemborosan? Pengawasan ini bisa dilakukan melalui rapat kerja, kunjungan lapangan, atau meminta laporan berkala dari dinas terkait. Selain itu, DPRD dapat memfasilitasi mekanisme pengaduan warga agar masalah teknis atau penyalahgunaan cepat ditanggapi.

Secara ringkas, DPRD bukan hanya “penonton” ketika digitalisasi berlangsung. Dengan memanfaatkan kewenangan legislatif, anggaran, dan pengawasan, DPRD mampu menjamin bahwa digitalisasi desa dirancang inklusif, berkelanjutan, dan akuntabel.

4. Mengawal Anggaran: Menjamin Dana untuk Infrastruktur dan SDM

Salah satu aspek paling krusial dalam digitalisasi desa adalah anggaran. Tanpa alokasi dana yang memadai dan terencana, proyek digital sering berhenti di tengah jalan. DPRD memiliki peran kunci untuk memastikan alokasi APBD digunakan tepat sasaran: pembangunan infrastruktur (jaringan internet, tower lokal), pembelian perangkat, serta yang kerap terlupakan – biaya pemeliharaan dan pelatihan SDM.

Pertama, DPRD harus menuntut rencana anggaran yang rinci dan realistis dari pemerintah daerah. Rencana ini harus menjelaskan biaya awal dan biaya berulang (misalnya lisensi aplikasi, hosting, listrik tambahan). Banyak program gagal karena hanya memikirkan pembelian awal tanpa memikirkan biaya operasional tahunan-hasilnya sistem rusak dan tidak terpakai.

Kedua, DPRD dapat meminta penggunaan anggaran yang bersifat partisipatif. Melibatkan desa dalam penyusunan rencana anggaran memastikan kebutuhan lokal masuk: apakah desa membutuhkan Wi-Fi titik tertentu, pelatihan literasi digital, atau modal untuk UMKM naik kelas digital? Pendekatan ini mengurangi kemungkinan dana terpakai untuk proyek yang tidak relevan.

Ketiga, penganggaran harus memperhitungkan cadangan untuk dukungan teknis dan pemulihan bencana. Jika server lokal rusak atau data hilang, perlu ada anggaran untuk backup dan pemulihan. DPRD bisa meminta klausul anggaran khusus untuk hal-hal tersebut.

Terakhir, transparansi penggunaan anggaran harus ditegakkan. DPRD mendorong pelaporan belanja yang sederhana dan dapat diakses warga – misalnya ringkasan belanja program digital di papan pengumuman desa atau portal publik. Dengan begitu warga bisa memantau dan memberi masukan, serta DPRD memiliki basis data saat melakukan audit atau evaluasi.

5. Pengawasan Pelaksanaan: Metode Praktis bagi DPRD 

Mengawasi program digitalisasi desa tidak harus rumit. DPRD bisa menggunakan langkah-langkah praktis untuk memastikan program berjalan sesuai rencana dan manfaatnya dirasakan warga.

Pertama, lakukan rapat kerja berkala dengan dinas teknis yang menangani digitalisasi – minta laporan sederhana: capaian, kendala, realisasi anggaran, serta daftar desa yang sudah dan belum terlayani. Laporan ini harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami, bukan istilah teknis.

Kedua, kunjungan lapangan terfokus. Pilih sampel beberapa desa – desa yang baru mulai digital, desa yang sudah “jalan”, dan desa yang mengalami masalah. Kunjungan singkat (1-2 hari) dengan ceklist sederhana akan memberi gambaran nyata: apakah perangkat terpasang, apakah jaringan stabil, apakah warga terlatih? Jangan lupa berbicara dengan warga dan perangkat desa untuk mendapatkan perspektif pengguna.

Ketiga, gunakan monitoring berbasis indikator. Contoh indikator sederhana: jumlah layanan admin yang bisa diakses online, waktu rata-rata penyelesaian layanan, jumlah warga yang mengikuti pelatihan digital, atau jumlah keluhan teknis yang terselesaikan. Indikator ini membantu DPRD menilai progres tanpa harus memahami rincian teknis.

Keempat, dorong adanya mekanisme pengaduan publik. DPRD dapat meminta agar ada saluran pengaduan yang jelas (nomor hotline, email, atau formulir online sederhana) dan meminta laporan bulanan tentang jenis masalah yang masuk dan langkah penyelesaiannya.

Kelima, lakukan evaluasi pasca-implementasi minimal satu tahun setelah proyek berjalan: apakah target tercapai, ada manfaat nyata untuk warga, dan biaya operasional terkelola? Hasil evaluasi ini menjadi dasar DPRD dalam mengambil keputusan perpanjangan anggaran atau pengembangan skala lebih luas.

Dengan metode sederhana dan terukur, pengawasan DPRD menjadi efektif tanpa harus menjadi ahli teknologi. Fokus pada tujuan akhir: manfaat warga dan penggunaan anggaran yang akuntabel.

6. Mendampingi Perencanaan dan Prioritas Program

Perencanaan yang matang menentukan keberhasilan digitalisasi desa. DPRD tidak hanya mengawasi anggaran dan pelaksanaan – mereka juga bisa aktif mendampingi proses perencanaan agar program relevan dan berpihak pada kebutuhan lokal.

Langkah pertama adalah mendorong analisis kebutuhan desa sebelum proyek dirancang. DPRD dapat meminta dinas membuat survei singkat atau forum musyawarah desa untuk mengetahui prioritas: apakah desa butuh koneksi internet di kantor desa, di balai pertemuan, atau di titik lain? Apakah warga lebih butuh pelatihan penggunaan ponsel pintar atau akses e-commerce untuk produk lokal?

Kedua, DPRD harus memastikan perencanaan mencakup fase uji coba (pilot). Daripada langsung menerapkan skala besar, mulailah di beberapa desa perwakilan. Hasil pilot akan jadi pelajaran/koreksi sebelum diperluas – mengurangi pemborosan anggaran dan risiko kegagalan.

Ketiga, prioritaskan keterpaduan lintas sektor. Digitalisasi bukan hanya soal perangkat TI; ia berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan administrasi publik. DPRD bisa memfasilitasi koordinasi antar dinas agar program digital mendukung beberapa tujuan sekaligus – misalnya aplikasi pencatatan kesehatan yang juga membantu data sosial untuk penyaluran bantuan.

Keempat, dorong perencanaan jangka panjang yang realistis. Hindari program yang hanya fokus pada infrastruktur tanpa rencana pemeliharaan dan SDM. Rencana harus menyebutkan siapa yang bertanggung jawab, alokasi anggaran tahunan, dan mekanisme evaluasi.

Kelima, dorong partisipasi warga. Perencanaan yang melibatkan tokoh masyarakat, LSM lokal, dan pemuda setempat meningkatkan kepemilikan program. Ketika warga merasa ikut merancang, mereka lebih mungkin memanfaatkan dan merawat sistem digital yang ada.

Dengan mendampingi perencanaan, DPRD membantu memastikan digitalisasi bukan proyek sekali jalan, tetapi bagian dari strategi pembangunan desa yang berkelanjutan.

7. Keterlibatan Masyarakat: Kunci Keberhasilan Digitalisasi 

Tanpa keterlibatan masyarakat, aplikasi canggih pun bisa berakhir menganggur. DPRD perlu mendorong supaya setiap program digital dilandasi partisipasi warga dari tahap perencanaan hingga evaluasi.

Pertama, sosialisasi dan pelatihan harus menjadi bagian wajib program. DPRD dapat meminta ada anggaran khusus untuk literasi digital: pelatihan cara menggunakan layanan publik online, pengamanan data pribadi, serta penggunaan platform penjualan produk lokal. Pelatihan ini harus disesuaikan levelnya – dari yang sangat dasar (cara pakai ponsel) hingga penggunaan layanan tertentu.

Kedua, fasilitasi forum warga untuk memberi masukan. Forum ini bisa berbentuk musyawarah desa, grup WhatsApp terkelola, atau pertemuan mingguan di balai desa. DPRD mendorong agar masukan warga dicatat dan menjadi bahan perbaikan program.

Ketiga, pastikan ada perlindungan terhadap warga rentan. Tidak semua orang melek digital – lansia, warga kurang mampu, atau yang tinggal di lokasi tanpa sinyal. DPRD harus memastikan ada mekanisme alternatif (layanan offline atau pendampingan) agar mereka tidak tertinggal.

Keempat, dorong transparansi data. Warga berhak mengetahui bagaimana data mereka dipakai. DPRD dapat meminta ada kebijakan sederhana yang menjelaskan: jenis data yang dikumpulkan, siapa yang mengakses, dan bagaimana data dilindungi. Penjelasan ini harus dibuat efektif dan mudah dipahami.

Kelima, dorong peran pemuda dan UMKM lokal. Generasi muda dapat menjadi agen perubahan: membantu pelatihan, mengelola platform lokal, atau menjadi tenaga teknis. DPRD dapat memfasilitasi program inkubasi UMKM agar produk desa siap dipasarkan secara digital.

Keterlibatan masyarakat membuat digitalisasi relevan, berkelanjutan, dan adil. DPRD berperan memfasilitasi ruang partisipasi dan memastikan program tidak sekadar top-down.

8. Tantangan yang Sering Muncul dan Cara Mengatasinya

Digitalisasi desa membawa peluang, tetapi juga tantangan nyata. DPRD perlu mengenali soal-soal ini agar langkah pengawasan dan kebijakan lebih tajam.

  1. Kesenjangan infrastruktur. Tidak semua desa punya sinyal atau listrik stabil. Solusi: DPRD mendorong alokasi anggaran untuk infrastruktur dasar dan kerja sama dengan operator telekomunikasi, plus opsi offline (mis. aplikasi yang bisa sinkron saat ada jaringan).
  2. Keterbatasan SDM. Perangkat desa atau warga mungkin tidak punya kemampuan teknis. Solusi: anggaran pelatihan berkelanjutan, program pendampingan, dan menyusun modul latihan sederhana yang mudah diulang oleh kader lokal.
  3. Resistensi budaya. Sebagian warga mungkin curiga atau takut teknologi. Solusi: pendekatan sosialisasi berbasis kearifan lokal, memberi contoh nyata manfaat (mis. lebih cepat mengurus bantuan), dan melibatkan tokoh setempat.
  4. Keamanan dan privasi data. Kebocoran data berisiko merugikan warga. Solusi: DPRD mendorong kebijakan proteksi data sederhana (mis. siapa yang boleh akses, simpanan backup), serta audit keamanan secara berkala.
  5. Biaya berkelanjutan. Banyak proyek berhenti karena tidak ada dana operasional. Solusi: DPRD memastikan perencanaan anggaran mencakup biaya tahunan, bukan hanya pembelian awal; juga mendorong model biaya bersama atau skema subsidi.
  6. Manajemen vendor atau penyedia layanan. Bila memakai vendor pihak ketiga, harus jelas kontrak, SLA (kesepakatan layanan), dan tanggung jawab. DPRD dapat meminta salinan perjanjian dasar untuk memastikan ada klausul pemeliharaan dan jaminan layanan.

Dengan mengenali tantangan ini lebih awal, DPRD bisa mendorong langkah pencegahan praktis sehingga digitalisasi menjadi solusi jangka panjang – bukan proyek yang tercatat sebagai kegagalan di masa depan.

9. Contoh Praktik Baik dan Rekomendasi Langkah Awal DPRD

Beberapa wilayah sudah menunjukkan praktik baik yang bisa dijadikan rujukan. Contoh sederhana: desa yang memulai program digital dengan pilot kecil – menyediakan aplikasi pendaftaran layanan administrasi sederhana, berbarengan pelatihan literasi digital untuk kader desa, serta memastikan ada saluran aduan via telepon. Hasilnya: layanan lebih cepat, dan warga merasa lebih dilayani.

Rekomendasi langkah awal yang konkret bagi DPRD:

  1. Audit cepat kebutuhan digital: minta dinas terkait melakukan survei singkat di 10 desa perwakilan untuk mengetahui kebutuhan prioritas.
  2. Susun kebijakan data sederhana: minta Raperda atau peraturan bupati tentang tata kelola data desa yang mudah dipahami.
  3. Alokasikan anggaran pilot: dana kecil untuk pilot di 5 desa, termasuk pelatihan dan pemeliharaan selama 1 tahun.
  4. Buat mekanisme pelaporan publik: laporan triwulanan sederhana yang dipublikasikan sehingga warga dan DPRD bisa memantau.
  5. Fasilitasi kerja sama lokal: dorong kerja sama dengan perguruan tinggi atau komunitas IT lokal untuk dukungan teknis dan pelatihan murah.
  6. Rancang indikator sukses: misalnya persentase layanan online, tingkat kepuasan warga, atau jumlah transaksi UMKM digital.

DPRD juga bisa mendorong transparansi vendor: kontrak kerja harus memuat dukungan teknis, jaminan perbaikan, dan klausul pelatihan. Dengan pendekatan bertahap dan fokus pada manfaat nyata bagi warga, DPRD membantu memastikan digitalisasi desa bukan sekadar proyek teknologi, tetapi bagian dari layanan publik yang lebih baik.

10. Kesimpulan: DPRD sebagai Pengawal, Fasilitator, dan Penjamin Manfaat

Digitalisasi desa membuka jalan bagi layanan publik yang lebih cepat, data yang rapi, dan peluang ekonomi baru. Namun keberhasilan bukan otomatis – ia bergantung pada perencanaan yang baik, anggaran yang memadai, pengawasan yang konsisten, dan keterlibatan masyarakat. Di sinilah DPRD memainkan peran strategis: bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga fasilitator dan penjamin bahwa manfaat teknologi benar-benar dirasakan warga.

Secara praktis, DPRD perlu aktif di tiga lini: membuat aturan yang melindungi data dan mengatur tata kelola; menjamin anggaran yang realistis dan berkelanjutan; serta melakukan pengawasan berbasis kunjungan lapangan dan indikator sederhana. Selain itu, DPRD harus mendorong pendekatan inklusif sehingga warga rentan tidak tertinggal.

Pesan kunci: teknologi bukan tujuan akhir-itu alat. Tujuan akhir adalah pelayanan publik yang adil, efisien, dan berkelanjutan. Dengan pengawasan yang responsif dan strategi yang partisipatif, DPRD dapat memastikan digitalisasi desa mengubah wajah layanan publik menjadi lebih baik. Untuk langkah berikutnya, DPRD dapat mulai dengan audit kebutuhan, pilot program, dan kebijakan perlindungan data sederhana – langkah nyata yang bisa segera diinisiasi.