Pendahuluan 

Dalam tata kelola pemerintahan modern, konsep kinerja menjadi pusat perhatian: bukan sekadar melakukan kegiatan, melainkan menghasilkan perubahan nyata (outcome) bagi masyarakat. Untuk itu, aparatur negara bekerja dengan kerangka yang terukur – indikator, rencana, dan pelaporan – agar tujuan publik dapat dicapai secara efektif, efisien, dan akuntabel. Tiga unsur kunci yang saling terhubung dalam siklus manajemen kinerja pemerintahan adalah IKU (Indikator Kinerja Utama), Rencana Kinerja (sering disebut Renstra/renja pada level unit kerja untuk periode tahunan), dan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). Memahami hubungan antar ketiganya membantu organisasi publik merancang kebijakan, mengalokasikan sumber daya, dan menunjukkan capaian kepada publik serta pemangku kepentingan.

IKU berfungsi sebagai metrik inti yang menandai apakah organisasi bergerak ke arah tujuan strategis. Rencana Kinerja adalah dokumen yang menerjemahkan strategi menjadi serangkaian program dan kegiatan terukur yang disertai target IKU tahunan dan sumber daya yang dibutuhkan. LAKIP, di sisi lain, merupakan laporan resmi yang menyampaikan realisasi kinerja organisasi terhadap rencana yang telah ditetapkan, lengkap dengan analisis capaian, kendala, dan rencana perbaikan. Ketiga elemen ini bukan bagian terpisah yang berdiri sendiri: IKU menjadi aspek yang dipantau, Rencana Kinerja menjadi dokumen yang menetapkan bagaimana IKU akan dicapai, dan LAKIP menjadi alat akuntabilitas yang menilai dan memverifikasi apakah rencana telah menghasilkan perbaikan yang diharapkan.

Artikel ini akan menguraikan definisi masing-masing elemen, menjelaskan keterkaitan konseptual dan operasionalnya, menggambarkan proses integrasi di tingkat organisasi, membahas mekanisme monitoring dan evaluasi, menyoroti peran sistem data dan informasi, serta menutup dengan tantangan implementasi dan rekomendasi praktis. Pembaca – pejabat perencana, pengelola kinerja, auditor internal, ataupun akademisi kebijakan publik – akan mendapatkan panduan praktis untuk menyelaraskan IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP agar kinerja organisasi menjadi lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Definisi IKU: Fungsi, Karakteristik, dan Penetapan 

IKU, singkatan dari Indikator Kinerja Utama, adalah ukuran kuantitatif atau kualitatif yang dipilih untuk menunjukkan tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan strategisnya. IKU bukan sekadar indikator operasional yang mengukur aktivitas, tetapi lebih menekankan hasil (outcome) atau kontribusi terhadap perubahan kebijakan dan kesejahteraan publik. Misalnya, IKU untuk dinas kesehatan bisa berupa ‘penurunan angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup’, bukan hanya ‘jumlah posyandu yang dibina’.

Karakteristik IKU yang baik antara lain: relevan (berkaitan langsung dengan tujuan strategis), terukur (dapat dihitung atau dinilai secara objektif), spesifik (mewakili aspek kinerja yang jelas), dapat dipengaruhi (within managerial control atau at least ada kontribusi nyata), dan memiliki baseline serta target yang realistis. IKU juga harus mampu memicu perilaku yang diinginkan – jika indikator salah pilih, organisasi bisa memfokuskan sumber daya pada hal yang tampak baik secara angka tetapi tidak berkontribusi pada outcome sejati (perilaku gaming).

Penetapan IKU biasanya dilakukan pada tahap perencanaan strategis (RPJMD/Renstra instansi) dan diturunkan ke tingkat tahunan di Rencana Kinerja. Prosesnya melibatkan identifikasi sasaran strategis, analisis kondisi awal (baseline), konsultasi antar pemangku kepentingan, dan penentuan target realistis dengan asumsi pendanaan dan kapasitas. IKU dapat berupa indikator input, output, outcome, dan kadang dampak (impact), namun prioritas diletakkan pada outcome karena merefleksikan hasil nyata program.

Selain itu, IKU harus dilengkapi dengan definisi operasional (indikator operational definition) – cara pengukuran, metode pengumpulan data, frekuensi pelaporan, dan unit pengukuran. Dokumentasi ini penting agar saat monitoring dan evaluasi dilakukan, hasil dapat diinterpretasikan konsisten. Untuk menjaga relevansi, IKU perlu direview periodik (mis. setiap periode RPJMD/Renstra) dan disesuaikan bila konteks berubah.

Definisi Rencana Kinerja: Tujuan, Struktur, dan Peran Operasional 

Rencana Kinerja adalah dokumen perencanaan tahunan yang menerjemahkan sasaran strategis organisasi menjadi program, kegiatan, output, dan target kinerja tahunan. Nama dan formatnya bisa berbeda-beda antar institusi (contoh: Rencana Kerja dan Anggaran, Renja OPD), namun esensinya tetap: menjabarkan apa yang akan dikerjakan dalam satu tahun anggaran, siapa pelaksana, berapa anggaran yang dibutuhkan, serta indikator dan target yang akan dicapai.

Struktur Rencana Kinerja biasanya memuat: konteks dan prioritas tahunan; sasaran strategis yang diturunkan; indikator kinerja dan target tahun berjalan (serta baseline); program dan kegiatan beserta indikator output; estimasi anggaran (terkait APBD atau sumber lainnya); risiko dan asumsi; serta rencana monitoring dan evaluasi. Dokumen ini berfungsi sebagai jembatan antara strategi jangka menengah (RPJMD/Renstra) dan pelaksanaan operasional yang didanai melalui anggaran.

Peran operasional Rencana Kinerja sangat penting: ia menjadi acuan bagi pengorganisasian sumber daya (alokasi anggaran, penempatan SDM), dasar pengadaan barang/jasa, dan kerangka kerja monitoring internal. Rencana Kinerja juga menjadi bahan bagi DPRD/legislatif dalam proses pembahasan anggaran, sehingga kualitas dan logika rencana mempengaruhi legitimasi anggaran yang disetujui.

Penyusunan Rencana Kinerja idealnya bersifat partisipatif – melibatkan unit teknis, keuangan, dan pemangku kepentingan terkait – sehingga target dan rencana kegiatan realistis dan terkoordinasi. Selain itu, Rencana Kinerja harus mengintegrasikan prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas), prinsip inklusi (jangkauan kelompok rentan), serta perhatian pada keberlanjutan intervensi (pemeliharaan infrastruktur, kapabilitas). Keberadaan indikator kinerja utama di Rencana Kinerja memastikan bahwa setiap rupiah yang dianggarkan diarahkan untuk mencapai target-target strategis yang telah disepakati.

Dokumen ini bukan statis: selama tahun berjalan, penyesuaian bisa diperlukan (revisi target, reallocation anggaran) dengan mekanisme yang transparan, asalkan perubahan tersebut tetap terhubung ke IKU dan telah didokumentasikan guna menjaga akuntabilitas pelaporan di LAKIP.

Definisi LAKIP: Fungsi Akuntabilitas dan Pelaporan

LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) adalah dokumen pelaporan resmi yang menyajikan realisasi kinerja suatu instansi pemerintah selama periode tertentu, biasanya tahunan. LAKIP memuat ringkasan capaian terhadap target yang telah ditetapkan dalam Rencana Kinerja, analisis penyebab capaian atau kegagalan, evaluasi efektivitas program, serta rencana tindak lanjut untuk perbaikan. Tujuan utama LAKIP adalah memastikan akuntabilitas publik – bahwa penggunaan sumber daya dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti hasil kinerja.

Secara isi, LAKIP umumnya melaporkan: profil organisasi; pernyataan komitmen pimpinan; ringkasan kinerja berdasarkan IKU (target vs realisasi); capaian program/kegiatan dan output; analisis kendala dan solusi; pengelolaan sumber daya (anggaran, SDM); inovasi dan pembelajaran organisasi; serta penilaian pemenuhan standar pelayanan publik. LAKIP juga dapat memuat peta risiko, status audit, serta rekomendasi yang menjadi rujukan bagi penyusunan rencana tahun berikutnya.

LAKIP bukan hanya alat komunikasi eksternal ke publik dan lembaga pengawas, melainkan instrumen internal untuk pembelajaran organisasi (organizational learning). Melalui LAKIP, pimpinan dapat melihat pola kegagalan atau keberhasilan, menilai efektivitas alokasi anggaran, dan menentukan prioritas restrukturisasi atau peningkatan kapasitas. Bagi auditor dan aparat pengawas, LAKIP menjadi sumber bukti untuk melakukan penilaian kinerja dan kepatuhan.

Kualitas LAKIP bergantung pada kualitas Rencana Kinerja dan data monitoring yang ada: indikator yang tidak jelas atau data yang tidak valid membuat LAKIP menjadi dokumen formal tanpa bobot analitis. Oleh karena itu, LAKIP harus didukung oleh sistem informasi kinerja yang andal, prosedur pengumpulan data yang baku, dan mekanisme verifikasi (mis. audit internal, verifikasi lapangan).

Lebih jauh, LAKIP juga menjadi dasar penilaian akuntabilitas instansi oleh lembaga penilai kinerja atau kementerian terkait, serta bahan untuk dialog kinerja dengan DPRD atau publik. Keterbukaan LAKIP (publikasi) juga menyokong transparansi dan pengawasan sosial, sehingga mendorong peningkatan kinerja di tahun-tahun berikutnya.

Keterkaitan Konseptual antara IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP 

Hubungan antara IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP bersifat siklikal dan saling ketergantungan. Secara konseptual, IKU merupakan titik referensi untuk apa yang harus dicapai; Rencana Kinerja adalah peta jalan untuk mencapai IKU tersebut; dan LAKIP adalah catatan perjalanan yang menilai apakah peta jalan berhasil membawa organisasi ke tujuan. Kepaduan ketiganya menentukan kelayakan manajemen kinerja: bila salah satu rusak (mis. IKU tidak relevan, rencana tidak realistis, atau laporan tidak akurat), maka sistem kinerja secara keseluruhan lemah.

Pertama, IKU memberi arah strategis. Tanpa IKU yang jelas, Rencana Kinerja cenderung menjadi daftar kegiatan tanpa fokus outcome. Sebaliknya, IKU tanpa Rencana Kinerja berarti organisasi tidak punya strategi operasional untuk mengubah angka indikator. Oleh karena itu penetapan IKU dan penyusunan Rencana Kinerja seharusnya dilakukan secara bersama-sama – memastikan indikator memiliki program/kegiatan yang jelas untuk pengaruhnya.

Kedua, Rencana Kinerja menjadi struktur implementasi dan mengalokasikan tanggung jawab serta sumber daya pada program yang mendukung pencapaian IKU. Rencana yang baik memuat asumsi, risiko, target semesteran, dan milestone yang memungkinkan monitoring berkala. Milestone ini kemudian menjadi mekanisme verifikasi sebelum pelaporan di LAKIP disusun.

Ketiga, LAKIP memvalidasi hubungan antara rencana dan capaian. LAKIP tidak hanya mencatat sukses atau gagal, tetapi menjelaskan sebab-sebab di balik hasil tersebut: apakah target tidak tercapai karena kondisi eksternal, masalah kapasitas, atau perencanaan yang lemah. Analisis ini penting untuk mengubah IKU yang tidak relevan, merestrukturisasi Rencana Kinerja, atau memperbaiki mekanisme pengumpulan data. Dengan kata lain, LAKIP menutup loop kala menjadi input iteratif untuk perencanaan berikutnya (continuous improvement).

Secara garis besar, hubungan ini mirip siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act): Rencana Kinerja (Plan), implementasi program (Do) yang harus dipantau melalui indikator (Check/IKU), dan evaluasi serta perbaikan melalui LAKIP (Act). Ketika semua elemen sinkron, organisasi publik akan memiliki sistem kinerja yang adaptif dan akuntabel.

Proses Penyusunan dan Alur Integrasi

Untuk menerapkan hubungan konsep tersebut secara operasional, organisasi perlu proses dan alur kerja yang jelas – dari penetapan IKU, penyusunan Rencana Kinerja, hingga penyusunan LAKIP. Proses ideal melibatkan beberapa tahap terpadu:

  1. Review Strategi dan Penetapan IKU: Dimulai dengan menelaah RPJMD/Renstra dan konfirmasi sasaran strategis instansi. Berdasarkan itu, tim perencanaan menetapkan IKU strategis dengan baseline dan target multi-tahun. Tahap ini melibatkan pimpinan dan pemangku kepentingan utama untuk memastikan relevansi.
  2. Penyusunan Rencana Kinerja Tahunan: Menurunkan IKU ke target tahunan dan menyusun program/kegiatan yang mendukung. Setiap kegiatan dirinci indikator output, target, aktivitas, pelaksana, anggaran, serta risiko. Rencana harus memiliki logika hasil (results chain) menjelaskan bagaimana output akan berkontribusi pada outcome/IKU.
  3. Persetujuan dan Alokasi Anggaran: Rencana diselaraskan dengan proses penganggaran (APBD/DIPA) sehingga sumber daya dialokasikan pada program prioritas. Koordinasi teknis dengan unit keuangan dan DPRD penting agar rencana mendapat legitimasi anggaran.
  4. Implementasi dan Monitoring Berkala: Unit pelaksana melaksanakan kegiatan dan melaporkan perkembangan ke tim monitoring. Data progress dicatat pada sistem informasi kinerja untuk analisis KPI bulanan/kuartalan.
  5. Evaluasi Mid-term dan Perbaikan: Bila diperlukan, dilakukan evaluasi tengah tahun untuk menilai apakah strategi masih relevan dan melakukan revisi target atau realokasi anggaran.
  6. Penyusunan LAKIP: Pada akhir periode, tim menyusun LAKIP berbasis data realisasi terhadap IKU dan target Rencana Kinerja. LAKIP harus memuat analisis mendalam, bukti pendukung, dan rekomendasi perbaikan.
  7. Pembelajaran dan Iterasi: Hasil LAKIP menjadi dasar perencanaan tahun berikutnya: pembaruan IKU, penyesuaian strategi, dan perbaikan sistem monitoring. Siklus ini memastikan continuous improvement.

Alur integrasi ini memerlukan kolaborasi antar unit: perencanaan, keuangan, pelaksana teknis, IT, audit internal, dan pimpinan. Pemanfaatan SOP, kalender perencanaan bersama, dan forum koordinasi rutin memperkuat keterpaduan proses sehingga IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP bekerja sebagai sistem terpadu.

Pengukuran, Monitoring, dan Evaluasi: Praktik Terbaik 

Pengukuran yang tepat dan proses monitoring-evaluasi (M&E) yang konsisten adalah jantung dari hubungan antara IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP. Beberapa praktik terbaik yang dapat diaplikasikan organisasi publik antara lain:

  1. Mendefinisikan Operational Definition untuk Setiap Indikator: Setiap IKU harus disertai definisi teknis-metode pengukuran, sumber data, frekuensi pengukuran, dan pihak verifikator. Ini meminimalkan interpretasi berbeda dan meningkatkan integritas data.
  2. Membangun Data Collection Routine dan Dashboard: Gunakan sistem informasi kinerja (MIS/KPI dashboard) yang mengumpulkan data secara periodik (bulanan/kuartalan). Dashboard membantu pimpinan melihat tren dan mengambil keputusan cepat. Data collection harus terintegrasi dengan sistem keuangan dan administrasi agar data realisasi anggaran dan fisik dapat dipadankan.
  3. Verifikasi Data dan Audit Internal: Lakukan verifikasi data sampel (spot check), audit internal, dan cross-check dengan sumber lain (survei, register administratif). Ini penting agar LAKIP berisi data dapat dipercaya.
  4. Pengukuran Outcome serta Proxy Indicators: Karena outcome sering memerlukan waktu untuk terwujud, gunakan leading indicators (indikator pendahulu) yang menunjukkan kemajuan proses. Pastikan juga ada rencana evaluasi impact (mid-term/end-line) dengan metode kuantitatif/kualitatif.
  5. Feedback Loop dan Rapid Response: Tetapkan mekanisme feedback cepat ketika monitoring mengindikasikan deviasi (delay, cost overrun). Langkah cepat seperti reallocation anggaran kecil, intensifikasi supervisi teknis, atau penambahan kapasitas dapat mencegah kegagalan target.
  6. Kapasitas SDM M&E: Investasi pada pelatihan M&E untuk tim perencanaan dan unit teknis – termasuk statistik dasar, penggunaan dashboard, dan penulisan laporan – meningkatkan kualitas LAKIP.
  7. Partisipasi Publik dan Social Accountability: Libatkan pengguna layanan dan masyarakat dalam pengumpulan data (citizen report), survei kepuasan, dan audit sosial. Ini memperkaya data dan meningkatkan legitimasi laporan.

Dengan praktik-praktik ini, organisasi memastikan bahwa IKU tidak hanya label di papan, tetapi diikuti proses yang menghasilkan bukti di LAKIP, sehingga perbaikan kinerja bisa diwujudkan secara sistematis.

Peran Sistem Informasi dan Data dalam Keterpaduan 

Sistem informasi kinerja dan manajemen data memegang peranan krusial untuk menyatukan IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP. Tanpa infrastruktur data yang memadai, organisasi akan kesulitan memonitor target, mengkonsolidasikan laporan, dan menjalankan analisis yang diperlukan untuk pengambilan keputusan.

Pertama, sistem terintegrasi (MIS/KPI dashboards) menyederhanakan alur pengumpulan data dari unit teknis, keuangan, dan pelaporan. Integrasi ini memungkinkan data realisasi anggaran (financial) dipasangkan dengan capaian fisik/indikator (non-financial), sehingga analisis cost-effectiveness dan performance-to-budget menjadi mungkin. Contoh: sistem yang menggabungkan data serapan anggaran proyek dengan capaian output ujung memungkinkan pimpinan cepat menemukan proyek ‘sunk cost’ tanpa hasil.

Kedua, standarisasi data (data dictionary, identifier, format) memastikan bahwa indikator di berbagai unit mengacu pada definisi yang sama. Hal ini penting saat menyusun LAKIP agar perbandingan antar periode atau antar unit dapat dilakukan konsisten.

Ketiga, automasi reporting membantu mengurangi beban administrasi dan memperkecil human error. Dengan formulir elektronik dan workflow approval, penyusunan LAKIP menjadi lebih cepat dan terverifikasi. Otomasi juga memungkinkan drill-down analisis: dari IKU institusi ke indikator program dan kegiatan level bawah.

Keempat, keamanan dan integritas data tak kalah penting. Sistem harus memiliki kontrol akses, audit trail, dan backup untuk menjaga keandalan data yang akan menjadi dasar akuntabilitas publik. Selain itu, kebijakan data governance menetapkan siapa bertanggung jawab atas kualitas data dan proses verifikasi.

Kelima, analitik lanjutan (dashboards interaktif, analytics, predictive) memberi nilai tambah: memprediksi risiko kegagalan target, menganalisis korelasi antar indikator, dan menilai skenario prioritisasi. Ini membantu perencana membuat keputusan berbasis bukti ketika menyusun Rencana Kinerja berikutnya.

Terakhir, kapasitas SDM TI dan data harus disiapkan: pelatihan pengguna, dukungan teknis, dan unit data governance menjadi kunci agar sistem berjalan dan mendukung penyusunan LAKIP yang berkualitas. Investasi pada sistem informasi bukan sekadar teknologi, tetapi investasi pada proses manajemen kinerja yang berkelanjutan.

Tantangan Implementasi dan Solusi Praktis

Walaupun hubungan antara IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP jelas secara konseptual, implementasinya di dunia nyata sering menghadapi hambatan. Mengidentifikasi tantangan umum dan merumuskan solusi praktis penting agar sistem kinerja berjalan efektif.

Tantangan 1: IKU yang Tidak Relevan atau Terlalu Banyak.
Banyak organisasi menetapkan puluhan indikator; beberapa tidak terkait langsung dengan tujuan strategis. Solusi: lakukan rasionalisasi IKU-fokus pada 5-10 indikator inti yang paling mencerminkan outcome strategis. Review periodik melibatkan pimpinan dan stakeholder untuk memastikan relevansi.

Tantangan 2: Kualitas Data yang Rendah.
Data tidak lengkap, tidak up-to-date, atau tidak konsisten. Solusi: bangun data governance (data dictionary, SOP pengumpulan), lakukan pelatihan pengumpul data, dan terapkan verifikasi rutin (audit sampling) serta integrasi sistem informasi.

Tantangan 3: Kapasitas Perencanaan dan M&E Terbatas.
Unit teknis sering kekurangan kemampuan menyusun Rencana Kinerja yang realistis atau melakukan evaluasi. Solusi: program capacity building berkelanjutan, pendampingan teknis, dan pembentukan unit M&E yang bisa support OPD lain.

Tantangan 4: Sinkronisasi dengan Anggaran.
Rencana bagus tapi anggaran tidak mendukung. Solusi: libatkan unit keuangan sejak awal penyusunan rencana, gunakan mekanisme business case untuk program strategis, dan prioritaskan program berdampak tinggi pada proses penganggaran.

Tantangan 5: Budaya Akuntabilitas Lemah.
Laporan menjadi formalitas tanpa pembelajaran. Solusi: gunakan LAKIP sebagai instrumen pembelajaran – adakan sesi dissemination dan lesson-learned; kaitkan hasil kinerja dengan penghargaan atau insentif.

Tantangan 6: Resistensi Perubahan dan Politik Lokal.
Perubahan indikator atau alokasi sering terhalang kepentingan politik. Solusi: bangun konsensus melalui dialog dengan legislatif, publikasi data yang transparan, dan keterlibatan masyarakat untuk meningkatkan legitimasi.

Dengan kombinasi pendekatan teknis (data, sistem), kapasitas (pelatihan, pendampingan), dan budaya (transparansi, pembelajaran), institusi dapat menanggulangi hambatan implementasi sehingga siklus IKU-Rencana Kinerja-LAKIP menjadi alat peningkatan kinerja yang nyata.

Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis 

Hubungan antara IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP membentuk kerangka manajemen kinerja yang esensial bagi organisasi publik. IKU memberi fokus strategi, Rencana Kinerja menerjemahkan strategi ke dalam tindakan dan alokasi sumber daya, sementara LAKIP menutup loop melalui pelaporan dan analisis kinerja. Ketika ketiganya terintegrasi dan didukung data serta sistem, organisasi akan lebih mampu mencapai tujuan strategis secara efektif, transparan, dan akuntabel.

Beberapa rekomendasi praktis untuk memperkuat keterkaitan tersebut:

  1. Rasionalisasi IKU: Pilih indikator inti yang relevan, measurable, dan berdampak. Dokumentasikan definisi operasionalnya.
  2. Keterlibatan Multi-unit dalam Penyusunan Rencana: Libatkan unit perencanaan, keuangan, teknis, dan pemangku kepentingan sejak awal agar rencana realistis dan anggaran sinkron.
  3. Bangun Sistem Informasi Terintegrasi: Investasi pada dashboard kinerja yang menghubungkan data anggaran dan realisasi fisik untuk monitoring real-time.
  4. Perkuat Kapasitas M&E: Latih SDM dalam pengumpulan data, analisis, dan penulisan LAKIP yang berbasis bukti.
  5. Gunakan LAKIP untuk Pembelajaran: Jadikan LAKIP dokumen reflektif-mengidentifikasi penyebab kegagalan/sukses dan merumuskan perbaikan konkret.
  6. Transparansi dan Partisipasi Publik: Publikasikan target dan capaian untuk meningkatkan akuntabilitas sosial dan mengurangi ruang penyalahgunaan.
  7. Continuous Improvement: Tinjau dan adaptasi IKU serta rencana berdasarkan hasil LAKIP; jangan biarkan dokumen menjadi sekadar formalitas tahunan.

Akhirnya, membangun sistem kinerja yang efektif memerlukan komitmen kepemimpinan, koordinasi antar unit, dan investasi pada data serta sumber daya manusia. Jika dijalankan konsisten, hubungan sinergis antara IKU, Rencana Kinerja, dan LAKIP akan menumbuhkan budaya kinerja yang berorientasi hasil – membawa pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat.