Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah fondasi penting dalam proses pengadaan barang dan jasa. Ia menjadi acuan untuk menentukan kewajaran harga penawaran, dasar evaluasi, serta alat untuk menilai apakah harga yang diajukan penyedia berada dalam rentang rasional. Namun satu hal yang sering terlupakan adalah bahwa harga bersifat dinamis. Harga selalu berubah, dipengaruhi oleh inflasi, lokasi, ketersediaan barang, musim, kondisi pasar global, nilai tukar, hingga biaya logistik. Karena itu, penyusunan HPS tidak boleh dianggap hanya sebagai proses menghitung angka, tetapi juga proses mengelola risiko.
Risiko harga adalah segala kemungkinan perubahan harga yang dapat membuat HPS menjadi tidak akurat, tidak sesuai dengan kondisi pasar, atau bahkan dipertanyakan oleh auditor. Jika risiko harga tidak dikelola dengan baik, HPS bisa menjadi terlalu tinggi sehingga dianggap markup atau terlalu rendah sehingga menyebabkan tender gagal. Banyak instansi mengalami masalah ini karena HPS disusun tanpa strategi mitigasi risiko.
Untuk itu, penyusun HPS harus memahami bagaimana risiko harga muncul, bagaimana mengidentifikasi risiko-risiko tersebut, dan bagaimana menyusunnya agar tetap wajar meskipun kondisi pasar berubah. Artikel ini membahas berbagai risiko harga yang sering muncul dalam penyusunan HPS, kesalahan-kesalahan yang membuat risiko semakin besar, serta langkah-langkah konkret untuk mengelolanya.
Mengapa Risiko Harga Tidak Bisa Diabaikan?
Harga barang dan jasa tidak pernah statis. Dalam kurun beberapa bulan saja, harga dapat berubah signifikan. Faktor-faktor seperti inflasi, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan perubahan biaya distribusi dapat membuat harga naik atau turun. Selain itu, perubahan regulasi, perang dagang, bencana alam, atau gangguan suplai global bisa memengaruhi harga barang tertentu seperti bahan bakar, material konstruksi, dan peralatan elektronik.
Ketika risiko harga diabaikan, HPS menjadi tidak relevan. Misalnya, jika HPS disusun berdasarkan harga pada awal tahun, tetapi tender dilakukan pada akhir tahun, maka nilai HPS mungkin tidak lagi mencerminkan harga pasar. Penyedia akan memberikan penawaran jauh di atas HPS, sehingga tender gagal. Atau sebaliknya, HPS mungkin terlalu tinggi sehingga menimbulkan kecurigaan auditor.
Risiko harga juga dapat muncul ketika survei harga tidak dilakukan secara sistematis, atau ketika penyusun HPS mengandalkan satu sumber harga saja tanpa pembanding. Risiko semakin tinggi ketika instansi tidak memiliki pedoman baku mengenai penyusunan HPS.
Risiko Harga Akibat Inflasi dan Ketidakstabilan Ekonomi
Inflasi adalah penyebab utama perubahan harga dari waktu ke waktu. Barang-barang seperti bahan konstruksi, makanan, alat kantor, dan alat elektronik memiliki kecenderungan naik mengikuti inflasi tahunan. Namun pada tahun-tahun tertentu, inflasi bisa meningkat lebih cepat atau lebih lambat, tergantung kondisi ekonomi nasional.
Inflasi memengaruhi biaya tenaga kerja, biaya material, dan biaya peralatan. Dalam pekerjaan konstruksi, inflasi bahan bangunan bisa mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi daripada inflasi umum. Jika HPS disusun tanpa memperhatikan kenaikan inflasi sektor tertentu, harga yang ditulis dalam HPS akan lebih rendah dari harga riil. Ini membuat penyedia sulit memenuhi kontrak, dan tender menjadi tidak menarik.
Nilai tukar rupiah juga memegang peran besar. Barang impor seperti komputer, server, alat laboratorium, mesin industri, dan beberapa material konstruksi sangat sensitif terhadap fluktuasi kurs. Jika HPS disusun berdasarkan kurs bulan lalu, tetapi kurs naik saat pengadaan berlangsung, penyedia akan memberikan penawaran lebih tinggi. Akibatnya, HPS menjadi tidak lagi relevan.
Mengelola risiko harga akibat inflasi dan kurs membutuhkan pemahaman terhadap tren ekonomi. Penyusun HPS harus secara rutin memantau data inflasi, harga komoditas, serta nilai tukar. Dengan demikian, HPS dapat disusun dengan mempertimbangkan kemungkinan kenaikan harga yang realistis.
Risiko Harga Akibat Perbedaan Lokasi
Lokasi adalah faktor risiko yang sering diabaikan tetapi sangat memengaruhi harga. Harga barang di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya tentu berbeda dengan harga barang di daerah terpencil atau pulau kecil. Perbedaan harga ini disebabkan oleh akses logistik, biaya transportasi, ketersediaan distributor, dan daya beli masyarakat.
Misalnya, barang elektronik mungkin lebih murah di kota besar karena persaingan toko yang ketat. Namun di daerah terpencil, barang yang sama bisa lebih mahal karena biaya pengiriman tinggi. Demikian pula, harga material konstruksi sangat dipengaruhi lokasi pabrik dan akses distribusi.
Risiko harga terkait lokasi muncul ketika penyusun HPS menggunakan harga dari kota besar untuk pengadaan di wilayah terpencil. HPS menjadi tidak wajar karena tidak memperhitungkan biaya distribusi dan logistik. Tender bisa gagal karena penyedia tidak dapat memenuhi harga HPS.
Mengelola risiko lokasi memerlukan pemahaman terhadap kondisi geografis dan pasar lokal. Penyusun HPS harus melakukan survei harga di lokasi pekerjaan atau wilayah terdekat yang relevan. Jika harga dari kota besar digunakan, penyusun harus menambahkan biaya distribusi berdasarkan jarak dan kondisi transportasi.
Risiko Harga Akibat Kualitas Barang yang Berbeda
Harga tidak dapat dipisahkan dari kualitas barang. Risiko harga muncul ketika penyusun HPS membandingkan harga barang dengan kualitas berbeda. Misalnya, harga laptop dengan spesifikasi dasar tentu berbeda dari laptop high-end. Jika penyusun HPS mengambil harga barang murah sebagai pembanding untuk barang berkualitas tinggi, HPS menjadi terlalu rendah dan tidak wajar.
Risiko ini sangat umum dalam pengadaan alat elektronik, peralatan medis, dan material konstruksi. Banyak penyusun HPS tidak memahami bagaimana spesifikasi teknis memengaruhi harga. Mereka hanya mengumpulkan harga tanpa menganalisis apakah spesifikasi barang pembanding sepadan. Akibatnya, penyedia memberikan penawaran jauh lebih tinggi dari HPS karena barang yang diminta sebenarnya jauh lebih mahal.
Untuk mengelola risiko ini, penyusun HPS harus memastikan bahwa survei harga dilakukan untuk barang dengan spesifikasi yang benar-benar setara. Setiap perbedaan kecil dalam spesifikasi harus diperhatikan—jenis prosesor, kapasitas penyimpanan, kualitas layar, standar keamanan, sertifikasi, dan sebagainya.
Risiko Harga dari Penggunaan Sumber Harga yang Tidak Kredibel
Sumber harga yang tidak kredibel merupakan risiko besar dalam penyusunan HPS. Jika penyusun HPS mengambil harga dari toko kecil yang tidak memiliki bukti transaksi resmi, auditor dapat mempertanyakan keabsahan harga tersebut. Risiko lebih besar muncul jika penyusun hanya mengambil harga dari marketplace yang harganya sering tidak mencerminkan pasar.
Risiko harga juga muncul ketika penyusun hanya mengambil harga dari satu penyedia saja. HPS menjadi bias dan tidak mencerminkan harga pasar yang sesungguhnya. Untuk menghindari risiko ini, penyusun HPS harus menggunakan berbagai sumber harga, seperti distributor resmi, toko fisik, marketplace, serta dokumen pengadaan tahun sebelumnya.
Keberagaman sumber harga mengurangi risiko bahwa HPS akan dianggap tidak wajar. Selain itu, penyusun HPS harus memastikan bahwa bukti survei harga tersimpan dengan baik, seperti screenshot, penawaran resmi, atau faktur pembanding.
Risiko Harga Akibat Tidak Memperhitungkan Faktor Waktu
Salah satu risiko terbesar dalam menyusun HPS adalah faktor waktu. Harga yang diperoleh dari survei pada bulan Januari mungkin tidak relevan ketika tender dilakukan pada bulan Oktober. Ketika proses pengadaan membutuhkan waktu lama, HPS harus diperbarui agar tetap sesuai.
Risiko harga terkait waktu juga muncul ketika HPS disusun di akhir tahun, tetapi pekerjaan dilakukan di tahun berikutnya. Banyak barang mengalami kenaikan harga di awal tahun karena penyesuaian pabrik atau perubahan kebijakan fiskal. Jika HPS tidak memperhitungkan kenaikan harga tahunan, penyedia akan kesulitan memenuhi kontrak.
Mengelola risiko waktu memerlukan strategi pembaruan HPS secara berkala. Penyusun HPS harus memahami kapan harga berubah, bagaimana tren kenaikan harga, dan berapa persen kenaikan yang realistis untuk diprediksi.
Risiko Harga Akibat Perubahan Regulasi
Regulasi dapat memengaruhi harga secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, perubahan tarif impor dapat membuat harga barang elektronik naik. Perubahan aturan perpajakan dapat mengubah struktur harga barang tertentu. Regulasi baru terkait SNI juga dapat meningkatkan biaya karena penyedia harus mematuhi standar baru.
Penyusun HPS yang tidak mengikuti perkembangan regulasi berisiko menyusun HPS yang tidak valid. Ketika regulasi baru berlaku, penyedia harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak dihitung dalam HPS. Akibatnya, penyedia memberikan penawaran jauh lebih tinggi dari HPS.
Mengelola risiko regulasi memerlukan kemampuan membaca tren kebijakan dan memahami bagaimana dampaknya terhadap harga. Penyusun HPS harus rutin membaca peraturan terbaru, mengikuti update kementerian, serta berdiskusi dengan pelaku pasar.
Risiko Harga Akibat Gangguan Supply Chain
Dunia saat ini sangat terhubung. Harga barang di Indonesia sering dipengaruhi oleh kondisi global. Gangguan supply chain seperti perang, pandemi, atau krisis energi dapat membuat harga barang tertentu naik dengan cepat. Misalnya, harga baja dan semen dapat melonjak karena gangguan pasokan global. Harga komponen elektronik bisa naik karena pabrik di luar negeri tutup.
Jika penyusun HPS tidak memahami dinamika pasar global, risiko harga menjadi sangat tinggi. HPS dapat menjadi terlalu rendah sehingga penyedia tidak mampu menyediakan barang sesuai kontrak. Untuk mengelola risiko ini, penyusun HPS harus mengikuti berita ekonomi global, memahami tren harga komoditas, dan menyesuaikan HPS berdasarkan kondisi terbaru.
Cara Mengelola Risiko Harga Secara Efektif
Mengelola risiko harga bukan pekerjaan sekali selesai. Ini adalah proses berkelanjutan. Ada beberapa langkah utama untuk mengelola risiko harga agar HPS tetap wajar dan kredibel.
Pertama, gunakan berbagai sumber harga. Semakin banyak sumber harga, semakin kecil risiko bahwa satu sumber akan membuat HPS bias. Penyusun HPS harus membandingkan harga dari toko fisik, distributor, marketplace, serta referensi historis.
Kedua, pastikan kualitas barang pembanding setara. Barang dengan spesifikasi berbeda memberikan risiko harga yang besar. Penyusun HPS harus memahami spesifikasi barang agar dapat membandingkan harga secara adil.
Ketiga, sesuaikan harga dengan lokasi. Harga di kota besar tidak dapat langsung dipakai untuk daerah terpencil. Biaya distribusi, ketersediaan barang, dan akses logistik harus diperhitungkan.
Keempat, pertimbangkan tren harga dan inflasi. Penyusun HPS harus memperkirakan kenaikan harga yang mungkin terjadi selama proses pengadaan. Jika tender dilakukan di akhir tahun, HPS harus memperhitungkan potensi kenaikan harga.
Kelima, lakukan update berkala terhadap HPS. Jika proses pengadaan molor, survei harga harus diperbarui agar HPS tetap relevan.
Keenam, simpan seluruh bukti survei harga. Foto, screenshot, penawaran resmi, faktur, dan dokumen pendukung lainnya harus disimpan dengan baik sebagai bukti bahwa survei harga dilakukan secara benar.
Ketujuh, lakukan analisis kewajaran harga. Penyusun HPS harus memeriksa apakah harga yang dipilih masuk akal jika dibandingkan dengan pembanding lainnya. Dengan analisis kewajaran, risiko harga dapat diminimalkan.
Penutup
HPS tidak boleh hanya menjadi dokumen formalitas. Ia harus mencerminkan biaya riil di pasar agar proses pengadaan berjalan dengan lancar. Mengelola risiko harga adalah bagian penting dari proses penyusunan HPS. Ketika risiko harga diabaikan, HPS menjadi tidak akurat, tender gagal, dan auditor akan mempertanyakan prosesnya.
Dengan memahami risiko harga dan menerapkan strategi mitigasi yang tepat, penyusun HPS dapat menghasilkan dokumen yang kredibel, wajar, dan dapat dipertanggungjawabkan. HPS yang baik adalah fondasi pengadaan yang baik. Sebaliknya, HPS yang buruk dapat mengacaukan seluruh proses pengadaan.


