Fenomena promosi jabatan di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) sering kali menjadi bahan pembicaraan yang tidak pernah habis. Banyak orang bertanya-tanya: mengapa ada pegawai yang tampaknya tidak punya prestasi menonjol tetapi bisa naik jabatan begitu cepat? Mengapa pegawai yang bekerja keras justru sering tertinggal? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul bukan tanpa alasan. Di banyak instansi pemerintah, promosi masih dianggap sebagai wilayah abu-abu yang penuh dinamika, kepentingan, dan praktik yang belum sepenuhnya objektif.

Artikel ini membahas panjang lebar mengenai budaya promosi tanpa prestasi—sebuah masalah klasik yang terus muncul dalam birokrasi Indonesia. Dengan bahasa yang ringan dan contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tulisan ini mencoba mengurai akar masalah, dampak buruknya, hingga bagaimana kondisi ini sebenarnya bisa diperbaiki jika ada kemauan dari seluruh pihak.

Budaya Promosi yang Tidak Selalu Berdasarkan Kinerja

Dalam idealnya, promosi jabatan dilakukan untuk memberi penghargaan kepada pegawai yang berkinerja baik, mampu menyelesaikan tugas dengan kualitas tinggi, dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk memegang tanggung jawab lebih besar. Namun realitas di banyak kantor pemerintah menunjukkan hal sebaliknya.

Ada pegawai yang disiplin, bekerja cepat, serta menghasilkan inovasi, tetapi kariernya stagnan bertahun-tahun. Sementara di sisi lain, ada pegawai yang tidak menunjukkan keunggulan apa pun, namun tiba-tiba mendapatkan promosi. Situasi seperti ini membuat banyak ASN merasa bingung, bahkan frustasi. Mereka bertanya-tanya apakah kerja keras memang masih dihargai.

Fenomena ini terjadi karena budaya promosi dalam birokrasi sering kali dipengaruhi faktor non-kinerja. Misalnya kedekatan dengan pejabat, kemampuan “membuat senang” atasan, atau sekadar berada di lingkaran yang tepat pada waktu yang tepat. Inilah budaya promosi tanpa prestasi yang terus berlangsung.

Ketergantungan pada Faktor Kedekatan, Bukan Kompetensi

Salah satu akar masalah terbesar adalah kuatnya pengaruh kedekatan personal dalam proses promosi. Di beberapa tempat, yang dinilai bukan kemampuan seseorang dalam memimpin atau menyelesaikan pekerjaan, melainkan siapa yang ia kenal dan bagaimana ia menjaga hubungan dengan pejabat tertentu.

Pegawai yang sering membantu atasan dalam hal non-teknis, misalnya mengurus urusan pribadi atau selalu terlihat “loyal”, cenderung mendapatkan perhatian lebih. Sementara pegawai yang pendiam, fokus kerja, dan tidak pandai membangun relasi personal justru tidak terlihat kontribusinya.

Budaya seperti ini membuat instansi pemerintah kehilangan kesempatan besar untuk memilih orang-orang terbaik. Padahal, jabatan struktural mengharuskan seseorang memiliki kemampuan manajerial, berpikir strategis, serta memahami tugas teknis secara mendalam. Jika jabatan diisi oleh orang yang hanya dipilih karena kedekatan, instansi akan sulit berkembang.

Penilaian Kinerja yang Tidak Serius

Masalah lain yang memperparah kondisi adalah lemahnya sistem penilaian kinerja ASN. Walaupun sekarang sudah ada SKP dan berbagai instrumen evaluasi lainnya, pelaksanaannya di lapangan sering kali tidak berjalan efektif.

Celah yang paling sering muncul adalah SKP yang diisi asal-asalan. Banyak kasus SKP yang nilainya tinggi meskipun pegawai tersebut sebenarnya tidak menghasilkan output apa pun. Pegawai malas bisa mendapat nilai sangat baik, sementara pegawai rajin juga mendapat nilai sangat baik. Akhirnya, sistem penilaian kinerja tidak mampu membedakan siapa yang benar-benar berprestasi.

Karena sistemnya tidak akurat, promosi pun tidak dapat mengandalkan hasil penilaian kinerja tersebut. Ini menghasilkan promosi yang tidak berdasarkan data, tetapi berdasarkan selera dan interpretasi subjektif pejabat tertentu.

Dampak Buruk pada Motivasi Pegawai

Promosi tanpa prestasi membawa dampak psikologis yang besar terhadap para pegawai, terutama mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh.

Pegawai yang memiliki integritas dan etos kerja tinggi akan merasa kecewa ketika melihat rekan kerja yang kurang kontribusi justru lebih cepat naik jabatan. Perasaan tidak adil ini lama-lama membuat mereka kehilangan motivasi. Mereka berpikir, “Untuk apa bekerja keras jika tidak dihargai?”

Dalam jangka panjang, hal ini memicu budaya kerja seadanya. Pegawai akhirnya memilih bekerja sesuai standar minimal saja, tanpa inisiatif untuk berinovasi, karena mereka melihat prestasi tidak relevan terhadap karier. Kualitas pelayanan publik pun ikut menurun karena semangat kerja orang-orang terbaik terganggu oleh ketidakadilan sistemik.

Kualitas Pemimpin Menurun karena Promosi Salah Kaprah

Jika promosi dilakukan tanpa pertimbangan prestasi, maka orang-orang yang tidak kompeten berpotensi menempati posisi strategis. Dampaknya sangat besar terhadap jalannya organisasi.

Pemimpin yang tidak memiliki kemampuan manajerial akan sulit membuat keputusan tepat. Ia cenderung bingung memimpin tim, tidak tahu bagaimana mengelola konflik, dan bahkan gagal menyusun perencanaan yang matang. Akibatnya, instansi kehilangan arah dan hanya berjalan berdasarkan rutinitas.

Lebih buruk lagi, pemimpin yang tidak kompeten biasanya tidak percaya diri. Untuk menutupi kekurangannya, ia bisa menjadi otoriter, menekan bawahan, atau enggan mendengarkan masukan. Situasi ini menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, penuh ketakutan, dan jauh dari budaya kolaboratif.

Regenerasi ASN Terganggu

Promosi tanpa prestasi juga menghambat regenerasi ASN. Pegawai muda yang punya potensi sering kali tidak mendapat ruang untuk berkembang karena jabatan diisi oleh orang yang bahkan tidak memenuhi syarat kompetensi.

Generasi muda yang sudah dibekali kemampuan digital dan kreativitas akhirnya hanya menjadi pelaksana, sementara posisi strategis dikuasai oleh pegawai yang dipromosikan karena faktor kedekatan. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan stagnasi dan membuat instansi tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Padahal regenerasi sangat penting, terutama ketika banyak ASN senior memasuki masa pensiun. Jika jabatan diisi oleh mereka yang tidak layak, kinerja instansi pada masa depan akan semakin menurun.

Ketimpangan Beban Kerja dalam Struktur Organisasi

Fenomena promosi tanpa prestasi juga memicu ketimpangan beban kerja. Pegawai kompeten yang tidak dipromosikan biasanya tetap menjadi motor penggerak pekerjaan. Mereka menjadi tempat bergantung banyak pihak, bahkan sering kali mengerjakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh pejabat struktural.

Sementara pegawai yang dipromosikan tanpa kompetensi justru sering tidak memahami tugasnya. Mereka lebih banyak mengandalkan bawahan dan delegasi berlebihan. Hasilnya, pekerjaan menumpuk pada pegawai yang itu-itu saja, sementara jabatan struktural hanya menjadi simbol tanpa kontribusi nyata.

Ketimpangan ini menciptakan rasa tidak puas di kalangan pegawai yang bekerja keras, serta memperburuk kinerja organisasi secara keseluruhan.

Kurangnya Transparansi dalam Seleksi Jabatan

Masalah lain yang sering menjadi sorotan adalah minimnya transparansi dalam proses promosi. Banyak pegawai tidak mengetahui alasan mengapa seseorang dipromosikan. Tidak ada pengumuman terbuka, tidak ada penjelasan resmi, dan tidak ada evaluasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Proses promosi yang tertutup membuka ruang bagi kecurigaan internal. Pegawai berasumsi bahwa promosi dilakukan atas dasar “titipan” atau kepentingan tertentu. Kecurigaan ini menciptakan suasana kerja yang penuh prasangka, mengurangi rasa percaya di antara pegawai, dan membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman.

Padahal transparansi adalah kunci untuk memastikan bahwa promosi berjalan objektif dan adil.

Menghambat Inovasi dan Reformasi Birokrasi

Promosi tanpa prestasi juga merugikan upaya reformasi birokrasi yang selama ini terus didorong pemerintah. Pegawai yang tidak kompeten tetapi memegang jabatan cenderung enggan melakukan perubahan. Mereka lebih nyaman dengan rutinitas lama yang tidak menuntut inovasi atau kerja ekstra.

Orang-orang seperti ini biasanya takut mencoba hal baru karena khawatir gagal dan terlihat tidak mampu. Padahal birokrasi membutuhkan pemimpin yang berani mengambil keputusan, adaptif, dan mau mendorong perbaikan sistem.

Jika jabatan strategis diisi oleh orang-orang yang tidak berprestasi, reformasi birokrasi akan berjalan sangat lambat, bahkan bisa mandek. Indonesia akan sulit mengejar birokrasi modern yang efisien, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Bagaimana Seharusnya Promosi ASN Dilakukan?

Untuk mengatasi budaya promosi tanpa prestasi, ada beberapa langkah mendasar yang sebenarnya bisa dilakukan:

1. Memperkuat sistem penilaian kinerja

Penilaian harus berbasis output, bukan aktivitas. Pegawai yang tidak menghasilkan apa-apa tidak seharusnya mendapat nilai tinggi.

2. Seleksi jabatan harus terbuka dan transparan

Pengumuman harus jelas, proses harus terdokumentasi, dan penilaian harus bisa diaudit.

3. Semua jabatan harus memiliki standar kompetensi yang tegas

Promosi tidak boleh diberikan hanya karena kedekatan.

4. Membangun budaya apresiasi terhadap pegawai berprestasi

Pegawai yang inovatif dan bekerja keras harus mendapatkan ruang untuk naik jabatan.

5. Pengawasan independen

Adanya tim penilai objektif di luar lingkungan instansi dapat mengurangi subjektivitas.

Langkah-langkah ini tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Banyak instansi yang sudah mulai menerapkan seleksi terbuka dan promosi berbasis merit. Praktik-praktik baik ini perlu diperluas dan dijadikan standar nasional.

Saatnya ASN Mengakhiri Promosi Tanpa Prestasi

Promosi tanpa prestasi bukan sekadar isu kecil di dunia ASN. Ini adalah masalah besar yang berdampak langsung pada kualitas pelayanan publik, motivasi pegawai, dan masa depan birokrasi Indonesia. Jika jabatan diisi oleh orang yang tidak kompeten, masyarakatlah yang akan paling dirugikan.

Sudah saatnya instansi pemerintah berani berubah. Promosi harus diberikan kepada mereka yang benar-benar layak—bukan karena kedekatan, bukan karena relasi, dan bukan karena kepentingan tertentu. ASN yang berprestasi harus diberi ruang untuk berkembang, karena merekalah yang menjadi harapan untuk memperbaiki birokrasi di masa depan.

Reformasi birokrasi tidak akan berhasil jika promosi masih dilakukan tanpa memperhatikan prestasi. Perubahan dimulai dari menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. Tanpa itu, Indonesia akan terus terjebak dalam birokrasi yang lambat, tidak efisien, dan jauh dari harapan masyarakat.