Pendahuluan

Kecerdasan buatan – atau sering disingkat AI – semakin menyentuh banyak aspek kehidupan publik. Dari layanan administrasi yang mempermudah pengurusan izin, sampai sistem analisis data yang membantu perencanaan daerah, teknologi ini menawarkan keuntungan nyata. Namun di balik janji efisiensi tersebut ada persoalan serius: bagaimana menjamin privasi warga, siapa bertanggung jawab ketika keputusan otomatis merugikan orang, dan bagaimana mencegah penyalahgunaan data. Bagi DPRD, persoalan itu bukan sekadar soal teknologi: ini masalah hukum, etika, dan tata kelola publik yang harus diatur agar manfaatnya maksimal dan risikonya terkendali.

Tulisan ini disusun untuk membantu anggota DPRD, staf sekretariat, dan pembaca umum memahami secara praktis apa yang perlu diperhatikan ketika sebuah daerah mulai memakai AI. Tujuan utama bukan mengeksplorasi algoritma teknis, melainkan memberikan panduan aturan dan langkah nyata agar kebijakan daerah tetap melindungi warga sekaligus membuka ruang bagi inovasi yang bermanfaat.

Di bagian-bagian berikut saya akan menjelaskan mengapa DPRD harus peduli, risiko utama yang perlu diwaspadai, peran DPRD sebagai legislator, pengawas, dan fasilitator, serta langkah-langkah konkret yang dapat diambil dalam 6-12 bulan ke depan. Setiap bagian dibuat panjang dan mudah dipahami, sehingga bisa langsung menjadi bahan diskusi di rapat-rapat komisi, hearing dengan OPD, atau saat penyusunan naskah perda. Intinya sederhana: DPRD perlu bersikap proaktif – membuka pintu inovasi namun juga memasang pagar aturan yang jelas agar hak warga terlindungi.

Gambaran singkat: AI dan konstelasi regulasi di tingkat daerah

Kecerdasan buatan bukan barang baru, tapi kehadirannya yang massif – lewat layanan online, aplikasi pencekalan, sistem rekomendasi, dan chatbot – memaksa pembuat kebijakan bergerak cepat. Di tingkat nasional, ada pembicaraan dan inisiatif untuk merumuskan kerangka regulasi AI. Di tingkat daerah, realitasnya beragam: beberapa OPD mulai bereksperimen dengan sistem otomasi sederhana, sementara banyak daerah lain masih berhadapan dengan masalah dasar seperti data yang berantakan dan sumber daya manusia yang terbatas.

Penting dipahami bahwa regulasi AI tidak harus selalu berupa perda besar yang kompleks. Di banyak kasus, yang diperlukan adalah aturan praktis dan pedoman internal OPD yang menjamin prinsip-prinsip dasar: transparansi, akuntabilitas, perlindungan data, dan hak warga untuk mengajukan keberatan. Perda yang terlalu kaku malah berisiko menghambat inovasi lokal, sementara ketiadaan aturan membuka celah penyalahgunaan. DPRD perlu melihat konteks lokal: kapasitas teknis OPD, kebutuhan layanan publik, serta kerawanan terhadap pelanggaran hak warga.

Secara struktural, pendekatan yang bersifat bertahap sering lebih efektif. Mulai dari audit internal: inventarisasi data, sistem yang sudah dipakai, dan vendor yang terlibat; lalu susun pedoman penggunaan yang menuntut dokumentasi sederhana (apa tujuan sistem, data apa dipakai, siapa pengelola). Dari sana, bila ada aplikasi yang memengaruhi hak warga (misalnya penentuan penerima bantuan, verifikasi identitas otomatis), baru dipertimbangkan aturan yang lebih formal seperti perda atau peraturan bupati/walikota. Model bertahap ini menyeimbangkan perlindungan dengan ruang untuk eksperimen yang aman.

Mengapa DPRD harus peduli – dampak langsung pada fungsi publik

Alasan DPRD perlu memperhatikan AI sederhana tetapi mendasar. Pertama, DPRD bertanggung jawab atas pembuatan perda dan pengawasan pelaksanaannya; jika penggunaan AI merugikan warga di tingkat layanan, DPRD yang akan dipanggil untuk menjelaskan. Kedua, AI bisa mengubah cara keputusan administratif dibuat – dari verifikasi data hingga penetapan penerima manfaat – sehingga tanpa aturan yang jelas ada risiko salah sasaran dan diskriminasi algoritmik yang sulit dilacak. Ketiga, AI memerlukan data yang sering bersifat sangat pribadi; pengaturan tentang penyimpanan, akses, dan penghapusan data menjadi ranah hukum yang harus diatur agar tidak terjadi kebocoran.

Dari sisi peluang, DPRD juga harus melihat manfaat: AI dapat mempercepat layanan, membantu analisis anggaran berbasis data, dan memudahkan monitoring program. Contohnya, sistem sederhana untuk merangkum aspirasi publik atau memetakan titik-titik rusak infrastruktur dapat memperbaiki kualitas legislasi dan pengawasan. Jadi sikap bijak DPRD bukan “melarang semua AI” atau “membiarkan bebas”, melainkan memberi ruang bagi pemanfaatan yang transparan, diaudit, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam praktiknya, DPRD perlu peka terhadap dua hal: apakah sebuah sistem AI yang diperkenalkan benar-benar meningkatkan pelayanan atau sekadar menimbulkan kesan modernitas tanpa hasil nyata; dan apakah ada mekanisme untuk warga mengetahui dasar keputusan otomatis serta mengajukan banding. Bila dua hal ini tidak ada, penggunaan AI berpotensi menimbulkan masalah hukum dan politik yang panjang bagi pemerintahan daerah.

Risiko utama yang harus diwaspadai DPRD

Ada beberapa jenis risiko yang kerap muncul saat AI diaplikasikan pada layanan publik. Pertama, risiko privasi: AI sering membutuhkan data besar yang bisa mencakup identitas, riwayat layanan, bahkan data kesehatan. Tanpa batasan akses dan proteksi, data itu bisa bocor atau disalahgunakan. Kedua, bias algoritmik: bila data latih berisi ketidakadilan historis, maka keputusan otomatis dapat memperkuat ketimpangan, misalnya menolak bantuan kepada kelompok tertentu berdasarkan data yang cacat. Ketiga, ketergantungan pada vendor: banyak solusi AI dikembangkan oleh pihak swasta. Jika kontrak tidak mengatur hak akses data, audit, dan kemampuan mengganti vendor, pemerintah daerah bisa kehilangan kontrol atas layanan publiknya.

Keempat, masalah transparansi: beberapa sistem AI bekerja sebagai “kotak hitam” – orang tidak tahu bagaimana input berubah menjadi output. Hal ini problematik bila keputusan otomatis berdampak hak warga. Kelima, kapasitas teknis: OPD yang tidak punya SDM memadai sulit mengawasi atau menilai risiko sebuah teknologi. Akibatnya, keputusan adopsi sering didorong oleh pihak ketiga tanpa kontrol memadai. Keenam, tanggung jawab hukum: bila sebuah keputusan otomatis merugikan warga, siapa yang dimintai pertanggungjawaban – OPD, vendor, atau pembuat kebijakan? Pertanyaan ini sering tidak jelas tanpa aturan.

Semua risiko ini nyata dan saling terkait. Oleh karena itu, DPRD perlu menempatkan prinsip pencegahan: proyek pilot terukur, syarat dokumentasi, audit independen untuk sistem yang memengaruhi hak warga, dan mekanisme pengaduan yang jelas. Tanpa langkah-langkah praktis tersebut, peluang inovasi akan mudah tergelincir menjadi persoalan administratif dan hukum.

Peran DPRD sebagai legislator: merumuskan aturan yang proporsional

Sebagai badan legislasi daerah, DPRD memiliki peran utama menyusun perda atau peraturan daerah yang mengatur pemanfaatan teknologi baru, termasuk AI. Perda tidak harus menjadi dokumen teknis panjang; yang penting adalah memasukkan prinsip-prinsip dasar: definisi ruang lingkup (apa yang dimaksud AI dalam konteks daerah), kewajiban transparansi, hak warga untuk informasi dan koreksi, mekanisme audit, aturan tanggung jawab, serta ketentuan perlindungan data pribadi.

Langkah yang bijak adalah merumuskan perda yang bersifat prinsipil dan memberikan mandat kepada kepala daerah atau OPD untuk mengatur teknis lewat peraturan pelaksana. Cara ini mencegah perda ketinggalan teknologi dan memungkinkan penyesuaian cepat tanpa harus melalui proses legislasi panjang. Misalnya, perda bisa mewajibkan setiap sistem otomatis yang memengaruhi hak publik untuk:

  • Didaftarkan ke sekretariat daerah.
  • Memiliki ringkasan publik yang mudah dipahami (tujuan, data yang dipakai, dampak yang mungkin terjadi).
  • Menjalani audit eksternal periodik.

Selain itu, perda dapat menetapkan kewajiban kontrak saat membeli layanan AI: hak pemerintah untuk mengakses data, ketentuan pengembalian data saat kontrak berakhir, serta klausul audit. Hal-hal ini sering terlewat dalam kontrak standard yang disodorkan vendor. DPRD perlu bekerjasama dengan badan hukum daerah saat meninjau materi perda agar bahasa aturan praktis dan dapat ditegakkan. Intinya: perda harus memberi payung hukum yang proporsional-melindungi warga tanpa menutup ruang inovasi.

Peran DPRD sebagai pengawas: dari hearing sampai audit lapangan

Fungsi pengawasan DPRD tak kalah penting. Pengawasan bisa berbentuk hearing reguler dengan OPD, kunjungan lapangan, meminta laporan dampak, atau memanggil vendor bila ada indikasi masalah. Yang perlu ditekankan adalah bentuk pengawasan yang terukur dan berbasis bukti. Misalnya, minta OPD menyampaikan laporan ringkas tentang proyek AI: tujuan, data yang digunakan, siapa akses, indikator kinerja, dan aduan yang masuk.

Selain hearing, DPRD sebaiknya mendorong atau menuntut audit independen untuk sistem kritis. Audit ini tidak harus bersifat teknis penuh; audit kepatuhan terhadap prinsip (transparansi, akuntabilitas, perlindungan data) sudah sangat bernilai. DPRD juga bisa meminta contoh kasus uji atau simulasi untuk melihat bagaimana sistem bekerja dalam praktik sebelum disebarluaskan ke publik. Jika ditemukan masalah, DPRD dapat merekomendasikan perbaikan prosedur, penundaan implementasi, atau bahkan pembatalan kontrak sampai isu terselesaikan.

Di ranah pengawasan, komunikasi dengan warga penting. DPRD bisa membuka saluran laporan bagi warga yang terdampak, misalnya layanan pengaduan sederhana yang dikelola sekretariat DPRD. Pengawasan yang efektif bukan hanya soal memanggil pihak terkait, tetapi juga memastikan ada tindak lanjut dan transparansi hasil pengawasan kepada publik.

Peran DPRD sebagai fasilitator: membangun kapasitas dan jejak audit lokal

DPRD tidak hanya membuat aturan dan mengawasi; peran fasilitator juga krusial. Di banyak daerah, masalah utama bukan hanya kurangnya aturan, tetapi lemahnya kapasitas teknis aparat pemerintah. DPRD bisa memfasilitasi program pelatihan singkat bagi anggota DPRD, sekretariat, dan staf OPD tentang dasar-dasar AI, implikasi hak asasi, dan cara meninjau kontrak teknologi. Pelatihan ini tidak perlu teknis mendalam – yang penting adalah memberi kemampuan menilai risiko dan menanyakan klausul penting dalam kontrak.

Selain pelatihan, DPRD dapat mendorong kerja sama dengan universitas lokal dan komunitas teknologi untuk menyediakan layanan audit independen atau konsultasi. Model kemitraan semacam ini murah dan membangun ekosistem lokal yang mampu melakukan pemeriksaan berkala. DPRD juga dapat memfasilitasi pilot proyek yang bersifat transparan: anggaran kecil untuk uji coba chatbot informasi layanan atau sistem pencarian dokumen hukum, dengan evaluasi publik setelah masa uji.

Langkah lain yang bermanfaat adalah mendorong praktik “data stewardship” di OPD: petunjuk sederhana tentang tata kelola data, backup, dan penghapusan ketika masa simpan habis. Fasilitasi DPRD yang bersifat praktis ini membantu menciptakan kondisi di mana adopsi teknologi berlangsung aman dan berkelanjutan, bukan sekadar proyek terisolasi yang hilang saat kontrak berakhir.

Langkah konkret DPRD dalam 6-12 bulan ke depan

Agar upaya tidak hanya menjadi wacana, berikut urutan langkah praktis yang DPRD dapat ambil segera:

  1. Pemetaan awal: Minta OPD membuat inventaris sistem otomatis yang sudah dipakai, data yang terlibat, dan vendor yang bekerja sama. Dokumen singkat ini jadi dasar kebijakan.
  2. Sosialisasi internal: Adakan seminar internal satu hari untuk anggota DPRD dan sekretariat tentang konsep AI, risiko, dan peran legislatif-dengan bahasa sederhana.
  3. Tim kajian lintas-fraksi: Bentuk tim kecil yang mengkaji kebutuhan perda atau pedoman teknis, melibatkan pakar hukum dan TI dari perguruan tinggi.
  4. Pilot terkontrol: Dukung satu proyek pilot non-kritis (mis. chatbot informasi layanan) dengan syarat dokumentasi dan evaluasi.
  5. Draft pedoman OPD: Berdasarkan temuan, susun pedoman SOP penggunaan AI yang bisa diadopsi OPD sebelum perda formal dibuat.
  6. Konsultasi publik: Buka ruang konsultasi untuk menerima masukan warga agar kebijakan tidak muncul dari dokumen tertutup.
  7. Audit dan monitoring: Tetapkan mekanisme audit independen untuk sistem yang memengaruhi hak warga, dengan laporan ke DPRD.

Langkah-langkah ini bertujuan menciptakan siklus belajar: mulai dari peta, uji, evaluasi, lalu skala. Dengan model bertahap, risiko bisa diminimalkan sementara manfaat nyata tetap dicoba.

Contoh kasus sederhana dan pelajaran yang bisa diambil

Bayangkan sebuah OPD menguji coba sistem otomatis untuk menyortir permohonan bantuan sosial berdasarkan data administrasi. Tujuannya baik: mempercepat verifikasi dan mengurangi antrean. Namun setelah berjalan, sejumlah keluarga terlewat karena data mereka tercatat tidak lengkap di database lama. Warga yang terdampak bingung mencari titik pengaduan dan tidak tahu siapa bertanggung jawab. Kasus semacam ini mengajarkan beberapa hal:

  1. Data lama sering bermasalah sehingga perlu verifikasi manual sebagai bagian dari proses;
  2. Setiap sistem otomatis harus menyediakan mekanisme klarifikasi manusia (human review) sebelum keputusan final;
  3. Ada kebutuhan jelas untuk komunikasi ke publik tentang cara kerja sistem dan jalur pengaduan.

Pelajaran praktis dari contoh ini adalah bahwa penggunaan AI dalam layanan publik harus dibarengi langkah mitigasi: verifikasi data manual pada tahap awal, pemberian masa percobaan, dan jalur banding yang mudah diakses warga. DPRD dapat mendesak penerapan syarat-syarat ini sebelum menyetujui pengadaan atau pemanfaatan lebih lanjut.

Rekomendasi kebijakan 

Sebagai rangkuman praktis untuk DPRD: pertama, prioritaskan perlindungan hak warga-setiap inisiatif AI yang memengaruhi hak publik harus memuat dokumentasi, audit, dan mekanisme pengaduan. Kedua, jangan membuat perda kaku yang menghambat inovasi; lebih baik perda prinsipil yang memberi mandat pada kepala daerah/OPD untuk membuat aturan teknis yang fleksibel. Ketiga, pastikan kontrak dengan vendor memuat klausul akses data, hak audit, dan kewajiban pengembalian data saat kontrak berakhir. Keempat, fasilitasi kapasitas lokal lewat pelatihan dan kolaborasi dengan akademia. Kelima, jalankan pilot yang terukur sebelum skala penuh.

Penutup

AI adalah alat – bukan tujuan. DPRD mempunyai peran ganda yang penting: membuka ruang bagi inovasi yang dapat meningkatkan layanan publik, dan pada saat yang sama menjaga pagar hukum agar hak warga tidak terganjal otomatisasi. Dengan pendekatan bertahap, transparan, dan berbasis bukti, DPRD bisa menjadikan teknologi sebagai sahabat publik, bukan sumber masalah baru.