Pendahuluan

Dalam era desentralisasi fiskal saat ini, desa memegang peranan penting sebagai ujung tombak pembangunan nasional. Keberhasilan program pembangunan di tingkat desa sangat bergantung pada seberapa baik pemerintah desa mengelola keuangannya. Sayangnya, masih banyak desa yang menghadapi tantangan serius berupa lemahnya sistem keuangan, kurangnya transparansi, rendahnya akuntabilitas, serta minimnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam hal pengelolaan anggaran. Untuk itu, dibutuhkan sistem keuangan desa yang akuntabel-yakni sistem yang menjamin setiap rupiah yang diterima dan dibelanjakan tercatat rapi, dapat dipertanggungjawabkan secara formal maupun publik, serta mampu mendukung perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan data keuangan yang valid. Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana merancang dan membangun sistem keuangan desa yang akuntabel, mulai dari landasan hukum, proses penganggaran partisipatif, mekanisme pencatatan dan pelaporan, digitalisasi, pengawasan internal dan eksternal, penguatan kapasitas SDM, hingga transparansi dan partisipasi masyarakat, lengkap dengan studi kasus dan rekomendasi kebijakan.

1. Landasan Hukum dan Kerangka Regulasi

Untuk menciptakan sistem keuangan desa yang akuntabel, keberadaan landasan hukum yang kokoh dan menyeluruh merupakan prasyarat mutlak. Tanpa regulasi yang jelas dan mengikat, pengelolaan keuangan rawan mengalami penyimpangan, multitafsir, dan kehilangan arah akuntabilitas. Oleh karena itu, kerangka regulasi pengelolaan keuangan desa telah dirancang dengan sedemikian rupa untuk menjamin pelaksanaan yang tertib, transparan, dan bertanggung jawab.

Dasar utama regulasi tersebut adalah Undang‑Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan desa kewenangan untuk mengelola anggaran dan sumber daya lokal secara mandiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini menegaskan bahwa desa bukan lagi objek pembangunan, melainkan subjek yang berhak menentukan arah kebijakannya sendiri, termasuk dalam hal perencanaan dan pengelolaan keuangan.

Regulasi ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 yang menjadi peraturan pelaksana UU Desa, serta PP No. 47 Tahun 2015 sebagai revisinya. Keduanya menjabarkan bagaimana desa harus menyusun APBDes, menetapkan program prioritas, serta melaksanakan dan mempertanggungjawabkan penggunaan Dana Desa dan sumber pembiayaan lainnya secara sistemik.

Lebih teknis lagi, Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 menjadi rujukan utama pengelolaan keuangan desa. Peraturan ini merinci siklus keuangan desa yang mencakup empat tahap utama: perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, serta pelaporan dan pertanggungjawaban. Dalam perkembangannya, Permendagri ini diperbarui dengan Permendagri No. 64 Tahun 2020, yang memperkuat aspek digitalisasi, simplifikasi laporan, dan penyesuaian terhadap kebutuhan transparansi publik.

Selain itu, desa juga diwajibkan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang dikembangkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, terutama SAP berbasis kas menuju akrual untuk entitas desa. SAP memberikan standar teknis pencatatan dan pelaporan keuangan yang baku, guna menjamin keseragaman dan kelayakan audit.

Tidak kalah penting, Peraturan Menteri Keuangan (PMK)-khususnya yang mengatur juknis Dana Desa dan pelaporannya-juga menjadi elemen penting dalam kerangka regulasi. PMK ini biasanya diperbaharui setiap tahun untuk menyesuaikan dengan kebijakan fiskal nasional.

Dengan mengintegrasikan semua regulasi tersebut secara konsisten, desa memiliki fondasi hukum yang kuat dalam mengelola keuangan, meminimalkan ruang abu-abu hukum, serta membuka jalan bagi proses audit dan pengawasan yang sahih dan profesional.

2. Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif

Tahapan perencanaan merupakan pangkal dari semua aktivitas pengelolaan keuangan desa. Tanpa perencanaan yang matang dan partisipatif, risiko terjadinya ketidaksesuaian antara kebutuhan masyarakat dan belanja desa akan sangat tinggi. Oleh karena itu, prinsip partisipatif menjadi keharusan dalam semua tahap perencanaan dan penganggaran desa.

Setiap desa diwajibkan menyusun dokumen strategis jangka menengah, yaitu RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) yang berlaku selama 6 tahun, dan dokumen tahunan RKPDes (Rencana Kerja Pemerintah Desa). Penyusunan dokumen ini melibatkan mekanisme musyawarah berjenjang, dimulai dari Musyawarah Dusun (Musdus) hingga Musyawarah Desa (Musdes). Di sinilah ruang partisipasi masyarakat dibuka seluas-luasnya, agar perencanaan pembangunan tidak elitis atau hanya didasarkan pada kepentingan kelompok tertentu.

Melalui forum Musdes, seluruh elemen warga-tokoh adat, perempuan, pemuda, petani, kelompok rentan, serta pendamping lokal-diberi ruang untuk mengemukakan usulan dan menilai prioritas pembangunan. Proses ini tidak hanya menyerap aspirasi, tetapi juga mendorong warga merasa memiliki (sense of ownership) terhadap program-program yang direncanakan.

Setelah aspirasi dihimpun dan diformulasikan dalam RKPDes, desa menyusun APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) yang merupakan implementasi konkret dari rencana tersebut dalam bentuk anggaran. Dalam APBDes, setiap pendapatan desa (baik dari transfer pusat, provinsi, maupun PADes) dan belanja diklasifikasikan secara jelas: belanja bidang pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, pembinaan kemasyarakatan, serta penanggulangan bencana atau keadaan darurat.

Model anggaran partisipatif ini mencegah konsentrasi anggaran hanya pada pembangunan fisik, dan memastikan porsi yang proporsional untuk pemberdayaan masyarakat dan pelayanan sosial. Dengan cara ini, desa tidak hanya membangun jalan dan infrastruktur, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga melalui pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi lokal.

3. Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan

Ketika APBDes sudah disahkan, tantangan berikutnya adalah bagaimana memastikan pelaksanaan anggaran tercatat secara rapi, valid, dan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi pemerintah. Proses pencatatan dan pelaporan merupakan elemen kunci dalam membangun sistem keuangan yang tidak hanya akuntabel secara administratif, tetapi juga secara substantif.

Mekanisme pencatatan dimulai dari penyusunan dokumen transaksi, seperti Surat Permintaan Pembayaran (SPP), kuitansi, nota pembelian, atau dokumen pengadaan barang/jasa. Semua transaksi harus memiliki jejak administrasi yang sah, tidak boleh ada pembayaran tanpa bukti atau pengeluaran tanpa persetujuan.

Desa kemudian mencatat transaksi tersebut ke dalam Buku Kas Umum (BKU) dan buku pembantu, seperti Buku Pembantu Pajak, Buku Bank, dan Buku Pembantu Panjar. Untuk menghindari kesalahan pencatatan atau manipulasi, proses ini sebaiknya dilakukan setiap hari atau setidaknya mingguan, bukan menumpuk di akhir bulan.

Pelaporan kemudian dilakukan secara periodik, mencakup Laporan Realisasi APBDes, Neraca Desa, dan Laporan Arus Kas. Laporan ini harus ditandatangani oleh kepala desa dan bendahara, serta diverifikasi oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa juga wajib menyampaikan laporan tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota melalui Camat, sesuai tahapan waktu yang ditentukan.

Lebih jauh, hasil pelaporan ini perlu dipublikasikan kepada masyarakat secara terbuka-baik melalui media cetak seperti baliho, majalah desa, maupun media digital seperti situs web desa atau media sosial resmi. Hal ini penting untuk menumbuhkan budaya keterbukaan dan mendorong pengawasan publik terhadap pelaksanaan APBDes.

4. Digitalisasi Sistem Keuangan

Di era 4.0, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan cara kerja manual dan dokumen fisik sebagai satu-satunya sarana pencatatan keuangan. Justru, ketergantungan pada sistem manual membuka ruang besar bagi keterlambatan, kesalahan pencatatan, hingga penyalahgunaan anggaran. Oleh sebab itu, digitalisasi sistem keuangan desa merupakan strategi prioritas untuk menciptakan pengelolaan keuangan yang cepat, efisien, dan transparan.

Digitalisasi dapat diwujudkan melalui implementasi sistem informasi seperti e-Desa, Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang dikembangkan BPKP, serta modul keuangan dalam SIPLah Desa. Aplikasi ini memungkinkan desa melakukan perencanaan anggaran, input transaksi, pencetakan laporan, hingga pelacakan realisasi anggaran secara otomatis.

Agar implementasi berjalan efektif, desa harus memastikan infrastruktur TIK mencukupi: tersedia komputer atau laptop yang layak, printer, jaringan internet yang stabil, serta sumber daya manusia yang menguasai teknologi informasi. Pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab untuk mendukung pelatihan intensif kepada operator desa agar tidak hanya mampu menjalankan sistem, tetapi juga memahami prinsip keuangan yang mendasari proses tersebut.

Digitalisasi ini tidak hanya mempercepat kerja administrasi, tetapi juga meningkatkan integritas data, karena semua proses memiliki log history, tidak mudah dimanipulasi, dan dapat diaudit secara digital. Selain itu, data keuangan desa dapat diakses publik melalui dashboard online atau portal transparansi, yang menampilkan anggaran, realisasi, serta dokumen pengadaan yang relevan.

Langkah-langkah ini menjadi tonggak penting dalam membangun ekosistem keuangan desa yang berbasis data dan teknologi. Dalam jangka panjang, digitalisasi akan memperkuat posisi desa dalam jejaring keuangan nasional dan mempercepat transformasi menuju tata kelola desa modern yang kredibel dan berkelanjutan.

5. Penguatan Kapasitas SDM

Keandalan sebuah sistem, sekuat apa pun regulasi dan teknologinya, tetap akan sangat ditentukan oleh faktor manusia yang menjalankannya. Dalam konteks keuangan desa, kualitas dan integritas Sumber Daya Manusia (SDM)-terutama kepala desa, sekretaris desa, bendahara, dan staf administrasi keuangan-menjadi faktor kunci dalam membangun sistem yang akuntabel, efektif, dan berkelanjutan.

Pemerintah daerah bersama Kementerian Desa dan BPKP perlu menyusun program pelatihan berjenjang dan tematik yang mencakup berbagai aspek penting dalam siklus keuangan desa. Pelatihan dasar meliputi penyusunan RKPDes dan APBDes yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan riil masyarakat. Di level teknis, SDM desa perlu dibekali pemahaman tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) untuk desa, termasuk bagaimana mencatat, menyajikan, dan membaca laporan keuangan secara tepat. Pelatihan juga harus mencakup keterampilan auditing internal, pengendalian intern, serta penggunaan aplikasi digital keuangan seperti Siskeudes, e‑Desa, dan SIPLah Desa.

Metode pelatihan sebaiknya bersifat campuran: kombinasi antara workshop klasikal, praktik lapangan, dan pendampingan onsite (on-the-job coaching) oleh mentor atau pendamping desa yang berpengalaman. Selain itu, untuk menjangkau wilayah terpencil dan mengurangi biaya, desa juga bisa mengakses modul e-learning atau pelatihan daring yang difasilitasi oleh Kemendagri, BPKP, atau LSM pemerhati tata kelola desa.

Lebih lanjut, desa dapat membentuk Satuan Tugas Pengawasan Keuangan Desa (Satgas P2KD) yang melibatkan unsur lintas pihak: BPD sebagai representasi legislatif desa, tokoh masyarakat yang memiliki kredibilitas tinggi, serta perwakilan organisasi sipil yang ada di wilayah tersebut. Satgas ini berfungsi sebagai mata dan telinga masyarakat, melakukan verifikasi lapangan, memantau progres penggunaan anggaran, serta melaporkan jika ada indikasi penyimpangan. Dengan penguatan kapasitas SDM seperti ini, desa akan memiliki pondasi kelembagaan yang mumpuni untuk mengelola keuangannya secara mandiri dan akuntabel.

6. Pengawasan Internal dan Eksternal

Sistem pengawasan merupakan benteng utama dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan, atau inefisiensi dalam pengelolaan keuangan desa. Untuk menjamin akuntabilitas, desa harus menjalani dua jenis pengawasan: pengawasan internal oleh lembaga negara tingkat daerah, dan pengawasan eksternal oleh lembaga independen negara serta partisipasi warga.

Pengawasan internal dilaksanakan oleh Inspektorat Daerah melalui mekanisme audit berkala terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan anggaran, termasuk bukti transaksi, laporan realisasi kegiatan, dan hasil fisik di lapangan. Audit internal ini tidak semata-mata bertujuan mencari kesalahan, tetapi berperan penting dalam memberikan rekomendasi perbaikan, menyempurnakan SOP, serta mendorong kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.

Sementara itu, pengawasan eksternal dilakukan oleh BPKP atau BPK, terutama jika desa menerima dana transfer dalam jumlah besar. Audit eksternal berfokus pada kepatuhan terhadap SAP, efisiensi penggunaan anggaran, serta ketepatan peruntukan belanja. Desa yang mampu menyajikan laporan lengkap, tepat waktu, dan sesuai standar berpeluang besar memperoleh opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)-yang bukan hanya menjadi simbol reputasi, tetapi juga syarat penting untuk memperoleh insentif fiskal atau pendanaan tambahan di masa mendatang.

Di luar itu, pengawasan juga bisa bersumber dari masyarakat desa sendiri. Masyarakat berhak menjadi pengawas sosial terhadap pelaksanaan program-program desa melalui forum-forum warga, Musdes, serta mekanisme aduan terbuka. Pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Anggaran atau Forum Warga Cermat APBDes dapat menjadi kanal tambahan untuk memperkuat transparansi dan kontrol horizontal. Dengan model pengawasan berlapis ini, desa tidak hanya diaudit oleh pihak atas, tetapi juga terus dikawal dari dalam dan bawah.

7. Transparansi dan Partisipasi Masyarakat

Salah satu prinsip utama dalam tata kelola keuangan yang baik adalah transparansi. Tanpa keterbukaan, partisipasi masyarakat akan stagnan dan kontrol sosial sulit diwujudkan. Karena itu, desa perlu secara aktif menyediakan akses informasi kepada publik serta membuka ruang partisipasi warga dalam setiap tahapan siklus keuangan desa.

Transparansi bisa diwujudkan melalui portal desa atau website resmi yang menampilkan dokumen penting seperti APBDes, Laporan Realisasi, progres kegiatan, dan hasil audit dalam bentuk yang mudah dibaca, seperti infografik, tabel visual, atau video penjelasan singkat. Bagi desa yang belum memiliki infrastruktur digital memadai, informasi keuangan bisa dipublikasikan melalui papan informasi di balai desa, masjid, atau tempat umum lain yang strategis.

Partisipasi masyarakat juga harus difasilitasi secara aktif melalui Forum Pertanggungjawaban Tahunan Desa, di mana kepala desa dan perangkat menyampaikan laporan kinerja dan laporan keuangan secara langsung kepada warga. Warga harus diberi ruang untuk bertanya, mengkritik, dan memberikan usulan perbaikan secara terbuka. Hal ini tidak hanya menumbuhkan kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan iklim demokrasi partisipatif di tingkat akar rumput.

Selain itu, desa dapat menyelenggarakan survei kepuasan masyarakat yang menilai persepsi warga terhadap kualitas pelayanan publik, keterbukaan informasi, dan efektivitas penggunaan anggaran. Survei ini dapat menjadi alat evaluasi internal, serta dasar dalam menyusun prioritas anggaran tahun berikutnya.

Dengan transparansi informasi dan keterlibatan warga yang tinggi, sistem keuangan desa tidak lagi menjadi domain sempit elit birokrasi, tetapi menjadi milik bersama yang diawasi dan dikelola oleh seluruh komunitas desa secara inklusif.

8. Studi Kasus: Desa Sidomukti Menerapkan e‑Desa

Penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas dan digitalisasi tidak lagi menjadi sekadar wacana, tetapi telah diimplementasikan oleh berbagai desa dengan hasil nyata. Salah satu contoh inspiratif adalah Desa Sidomukti di Kabupaten A, yang pada tahun 2021 memutuskan untuk melakukan transformasi digital sistem keuangannya secara menyeluruh melalui aplikasi e‑Desa.

Dengan dukungan dana dari APBDes dan bantuan teknis dari Dinas PMD setempat, Desa Sidomukti mengintegrasikan modul keuangan, pengadaan, dan pelaporan dalam satu platform digital. Semua transaksi-mulai dari pencairan dana, pembelian barang, hingga honorarium kegiatan-dicatat secara real-time oleh bendahara desa dan dapat dipantau oleh kepala desa serta BPD kapan saja.

Untuk memperkuat aspek transparansi, pemerintah desa membuka portal publik desa yang menyajikan dashboard keuangan dalam bentuk grafik dan angka interaktif. Warga desa bisa mengakses informasi dari gawai mereka masing-masing: berapa sisa anggaran, program mana yang belum berjalan, serta siapa pelaksana kegiatan. Ini tidak hanya meningkatkan literasi fiskal warga, tetapi juga membangun kepercayaan kolektif yang tinggi.

Hasil dari penerapan sistem ini sangat signifikan. Dalam dua tahun berturut-turut, Desa Sidomukti mendapat opini WTP dari BPKP, program padat karya meningkat 30% karena efisiensi distribusi anggaran, dan partisipasi warga dalam forum Musdes mencapai lebih dari 80%-angka yang sebelumnya hanya berkisar di bawah 40%. Studi kasus ini menunjukkan bahwa jika desa memiliki visi, dukungan teknologi, dan keterlibatan publik yang solid, sistem keuangan yang akuntabel bukanlah sesuatu yang utopis.

9. Rekomendasi Kebijakan

Untuk memperkuat sistem keuangan desa yang akuntabel secara menyeluruh dan berkelanjutan, intervensi kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah sangat diperlukan. Kebijakan ini tidak hanya bersifat korektif terhadap permasalahan yang selama ini dihadapi, tetapi juga transformatif-yakni mendorong percepatan modernisasi tata kelola dan peningkatan kapasitas kelembagaan desa.

a. Standarisasi Aplikasi Keuangan Desa

Salah satu tantangan dalam digitalisasi keuangan desa adalah keberagaman aplikasi yang digunakan. Beberapa desa masih menggunakan sistem manual, sementara lainnya mengembangkan aplikasi lokal dengan dukungan terbatas. Hal ini mengakibatkan inkonsistensi format laporan, sulitnya interoperabilitas data antar desa dan pemerintah kabupaten, serta lemahnya sistem audit digital. Oleh karena itu, pemerintah pusat melalui Kemendagri, BPKP, dan Kemendesa perlu mendorong pengembangan dan adopsi satu platform nasional keuangan desa yang terstandarisasi, gratis, dan terintegrasi, misalnya mengembangkan versi lanjutan dari Siskeudes dengan fitur cloud, mobile-accessible, dan modul pelaporan otomatis. Platform ini harus mudah diakses oleh desa dengan infrastruktur terbatas dan dilengkapi dengan layanan bantuan teknis.

b. Dana Insentif Reformasi Keuangan Desa

Untuk mendorong desa berkompetisi secara sehat dalam mewujudkan sistem keuangan yang tertib, transparan, dan inovatif, pemerintah pusat dapat memberikan Dana Insentif Reformasi Keuangan Desa (DIRKD). Dana ini diberikan kepada desa-desa yang telah mendapat opini WTP dua tahun berturut-turut, menunjukkan partisipasi warga tinggi dalam forum pertanggungjawaban, serta mempublikasikan laporan secara terbuka. Dana insentif dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur digital desa, menambah pelatihan SDM, atau mengembangkan sistem pelaporan otomatis. Skema berbasis kinerja seperti ini tidak hanya mendorong akuntabilitas, tetapi juga menumbuhkan budaya apresiasi dan kompetisi sehat antar desa.

c. Program Sertifikasi Bendahara Desa

Kunci tata kelola keuangan desa yang baik terletak pada kompetensi bendahara desa. Saat ini, sebagian besar bendahara masih mengandalkan pengalaman lapangan tanpa pelatihan formal yang memadai. Oleh karena itu, Kemendagri bersama BKN dan KemenPAN-RB perlu menyusun skema sertifikasi nasional bendahara desa. Sertifikasi ini mencakup kompetensi dasar dalam akuntansi pemerintahan, pelaporan keuangan, penggunaan aplikasi keuangan digital, dan etika pelayanan publik. Sertifikasi bersifat wajib dan menjadi syarat pengangkatan serta perpanjangan masa tugas. Selain itu, pelatihan ulang atau refresher training harus diberikan minimal setiap dua tahun untuk mengikuti perkembangan regulasi dan teknologi terbaru.

d. Fasilitasi Akses Pembiayaan Mikro untuk Desa

Sebagian program pembangunan desa yang bersifat strategis jangka menengah-seperti pembangunan sentra ekonomi desa, jaringan air bersih, atau infrastruktur TIK-memerlukan pendanaan di luar APBDes. Sayangnya, banyak desa kesulitan mengakses pembiayaan mikro yang sesuai kebutuhan. Pemerintah daerah dan pusat perlu menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan mikro, koperasi, dan lembaga pembiayaan syariah untuk menyediakan pinjaman bergulir bagi desa. Skema ini harus disertai mekanisme pengawasan ketat agar tidak membebani APBDes di masa depan, dan penggunaannya tetap diarahkan untuk program prioritas yang memberi manfaat jangka panjang.

e. Forum Nasional Tata Kelola Desa

Berbagai inovasi tata kelola keuangan desa perlu dipertemukan dalam satu ruang berbagi dan belajar. Untuk itu, dibutuhkan pembentukan Forum Nasional Tata Kelola Keuangan Desa, di bawah koordinasi Kementerian Desa atau BPKP, yang berfungsi sebagai wadah berbagi praktik baik (best practices), inkubasi inovasi digital, dan advokasi kebijakan reformasi keuangan desa. Forum ini dapat menyelenggarakan konferensi tahunan, lomba transparansi keuangan desa, dan diskusi tematik yang mempertemukan pemerintah desa, akademisi, praktisi teknologi, dan pendamping masyarakat. Dengan demikian, tata kelola keuangan desa tumbuh tidak hanya dari atas, tetapi juga dari bawah dan antar sesama pelaku.

10. Kesimpulan

Membangun sistem keuangan desa yang akuntabel bukanlah tugas sederhana yang hanya mengandalkan satu pendekatan atau kebijakan. Ia merupakan upaya multidimensi yang menuntut sinergi antara aspek hukum, kelembagaan, teknologi, dan partisipasi sosial. Dengan landasan regulasi yang kuat seperti UU Desa dan Permendagri tentang pengelolaan keuangan desa, setiap desa memiliki pijakan normatif untuk menyusun dan menjalankan anggaran secara tertib, transparan, dan bertanggung jawab.

Langkah awal dimulai dari perencanaan partisipatif yang menjamin kebutuhan warga terserap dalam dokumen RPJMDes dan RKPDes, dilanjutkan dengan penganggaran yang proporsional, serta pencatatan dan pelaporan transaksi sesuai standar akuntansi berbasis kas. Implementasi sistem digital seperti e‑Desa dan Siskeudes menjadi alat penting untuk meningkatkan efisiensi dan memperkuat kepercayaan publik melalui keterbukaan informasi.

Namun keberhasilan sistem tidak bisa dilepaskan dari kualitas SDM desa yang terlatih, jujur, dan profesional, serta dukungan dari lembaga pengawas internal dan eksternal yang menjamin adanya koreksi dan perbaikan berkelanjutan. Tidak kalah penting, partisipasi masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial-melalui forum publik, pengaduan terbuka, dan survei kepuasan-menjadi elemen penyeimbang yang menjaga transparansi.

Studi kasus Desa Sidomukti menunjukkan bahwa integrasi antara digitalisasi, pelaporan terbuka, dan keterlibatan warga mampu meningkatkan kinerja keuangan desa secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa dengan visi yang kuat dan dukungan ekosistem, desa bisa mengelola keuangannya secara mandiri dan profesional, layaknya entitas publik yang sehat.

Seluruh rekomendasi kebijakan yang telah dibahas diharapkan menjadi peta jalan untuk reformasi keuangan desa di masa depan-dari desa tertinggal hingga desa mandiri. Jika tata kelola keuangan desa dijalankan secara akuntabel, maka dana desa akan menjadi motor pembangunan inklusif yang nyata, memperkuat fondasi demokrasi lokal, dan membawa Indonesia menuju pembangunan yang berkeadilan dari pinggiran.