Pendahuluan
Aset sekolah dan puskesmas adalah komponen vital dalam pembangunan sumber daya manusia dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Sekolah berfungsi sebagai sarana utama pendidikan sejak jenjang dasar hingga menengah, sementara puskesmas menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan publik. Kedua jenis fasilitas ini membutuhkan bangunan, tanah, peralatan pendukung, dan infrastrukturnya sendiri-semuanya menuntut investasi besar baik dari segi anggaran maupun manajemen. Namun ketika kita berbicara tentang “kepemilikan” aset, kerap muncul pertanyaan: apakah sekolah dan puskesmas benar‑benar “milik” pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, atau bahkan masyarakat setempat? Artikel ini akan mengupas secara komprehensif status hukum, pembagian kewenangan, tanggung jawab pengelolaan, serta isu‑isu yang kerap timbul dalam penentuan kepemilikan aset sekolah dan puskesmas di Indonesia.
1. Kerangka Hukum dan Regulasi Kepemilikan Aset Publik
Kepemilikan aset publik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konstruksi hukum tata kelola negara yang membedakan antara entitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Aset publik mencakup segala bentuk barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang masing-masing dikategorikan sebagai Barang Milik Negara (BMN) dan Barang Milik Daerah (BMD). Namun dalam praktiknya, garis demarkasi ini kerap tidak jelas, terutama saat menyangkut aset pelayanan dasar seperti sekolah dan puskesmas.
Berdasarkan Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, seluruh barang yang dibeli atau diperoleh dari beban APBN, termasuk hasil perolehan dari hibah atau perjanjian kerja sama internasional, dikategorikan sebagai BMN. BMN dikuasai oleh negara dan dikelola oleh kementerian/lembaga yang memperoleh alokasi anggaran untuk penyediaan barang tersebut. Di sisi lain, Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pendelegasian urusan kepada daerah, termasuk bidang pendidikan dasar dan kesehatan dasar, yang konsekuensinya menghasilkan pengadaan aset-aset publik dengan pembiayaan dari APBD.
Regulasi turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, menetapkan bahwa baik BMN maupun BMD harus dikelola melalui proses perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penghapusan, hingga pengawasan dan pengendalian. Regulasi ini diperkuat dengan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 yang memberikan panduan teknis pengelolaan barang milik daerah secara sistematis, termasuk klasifikasi, pencatatan, pelaporan, hingga pengawasan.
Namun, dalam tataran implementasi, banyak pembangunan dan pengadaan barang dilakukan secara kolaboratif antara pusat dan daerah, baik dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID), hingga kerja sama multiyears atau sharing budget. Hal ini menyebabkan munculnya ambiguitas status aset, khususnya ketika pengelolaan dilakukan oleh pemerintah daerah namun status hukum barang tersebut masih berada dalam kategori BMN. Akibatnya, muncul ketidakseimbangan antara tanggung jawab administratif dengan otoritas legal, yang pada akhirnya berdampak pada efektivitas pemeliharaan dan optimalisasi pemanfaatan aset.
Tidak hanya itu, seringkali terdapat aset sekolah atau puskesmas yang dibangun di atas tanah milik pemerintah desa, yayasan, atau masyarakat adat, yang belum disertifikatkan atas nama instansi pemerintah. Hal ini menyebabkan sengketa kepemilikan yang rumit dari sisi legal formal, menghambat proses sertifikasi dan pelaporan aset. Oleh karena itu, memahami kerangka hukum ini menjadi penting sebagai pijakan untuk menentukan siapa pemilik sesungguhnya dari aset sekolah dan puskesmas, dan siapa pula yang memegang tanggung jawab atas pemeliharaan dan pemanfaatannya.
2. Klasifikasi Aset Sekolah: Siapa Pemiliknya?
2.1. Aset Fisik: Tanah dan Bangunan
Bangunan sekolah merupakan salah satu aset publik yang paling luas cakupannya di Indonesia. Hampir di setiap desa terdapat minimal satu unit SD atau SMP, dan di setiap kecamatan terdapat SMA atau SMK negeri. Aset bangunan ini umumnya dibangun dengan biaya besar melalui proyek pengadaan konstruksi. Namun, tidak semua pembangunan ini dilakukan secara seragam oleh pemerintah kabupaten/kota. Ada yang dibangun menggunakan DAK Fisik Bidang Pendidikan dari APBN, ada pula yang menggunakan APBD murni, bahkan tak sedikit yang dulunya merupakan bangunan swadaya masyarakat yang dihibahkan kepada pemerintah.
Karena sumber pembiayaan berbeda, status kepemilikannya pun dapat beragam. Gedung sekolah yang dibangun dengan APBD daerah umumnya didaftarkan sebagai BMD dan dicatat dalam sistem manajemen aset daerah oleh BPKAD. Namun ketika rehabilitasi besar dilakukan oleh pemerintah pusat-misalnya pembangunan ruang kelas baru oleh Kementerian PUPR atau Kemendikbudristek melalui dana APBN-maka status bangunannya adalah BMN, kecuali telah dilakukan proses serah terima dan pencatatan ulang.
Masalah sering muncul ketika proses serah terima ini tidak dijalankan dengan baik. Gedung sekolah menjadi ‘tak bertuan’ secara hukum: dikelola oleh sekolah, tetapi tidak dapat dibiayai pemeliharaannya melalui APBD karena tidak tercatat sebagai aset daerah. Belum lagi jika bangunan berdiri di atas tanah yang belum bersertifikat atau masih atas nama perorangan, maka timbul potensi sengketa lahan yang bisa berujung pada penyegelan sekolah oleh pihak ketiga.
2.2. Aset Non-Fisik: Peralatan dan Inventaris
Barang inventaris sekolah meliputi segala peralatan penunjang proses pembelajaran, mulai dari meja dan kursi siswa, papan tulis, perangkat komputer, printer, alat peraga, hingga peralatan laboratorium. Sebagian besar pengadaan barang ini dibiayai dari dana BOS Reguler dan BOS Afirmasi yang berasal dari APBN. Karena itu, meskipun digunakan oleh sekolah negeri yang dikelola oleh Pemda, barang-barang tersebut sebenarnya adalah BMN.
Namun dalam praktiknya, tanggung jawab pemeliharaan dan penggantian kerusakan justru berada di tangan kepala sekolah dan dinas pendidikan kabupaten/kota. Ini menimbulkan konflik logistik dan tanggung jawab: siapa yang harus mengganti komputer rusak jika statusnya BMN tetapi dikelola oleh Pemda?
Di sisi lain, lemahnya sistem pencatatan inventaris di tingkat sekolah dan kabupaten menyebabkan banyak peralatan hilang, rusak, atau tidak diketahui keberadaannya karena tidak pernah dilakukan audit fisik secara berkala. Sebagian besar sekolah belum memiliki tenaga khusus pengelola aset, dan masih mencatat barang secara manual, sehingga sulit untuk mengidentifikasi kondisi riil aset non-fisik mereka.
2.3. Perpustakaan dan Laboratorium Khusus
Fasilitas pendukung seperti perpustakaan digital, laboratorium IPA, atau studio seni sering diperoleh dari hibah kementerian, proyek kerja sama luar negeri, atau donasi swasta. Fasilitas semacam ini biasanya bersifat temporer dan tidak melalui mekanisme pengadaan reguler, sehingga kepemilikan formalnya jarang diklarifikasi dengan baik. Di sisi lain, meskipun status kepemilikan sah atas nama kementerian atau mitra, operasionalnya dilakukan sepenuhnya oleh pihak sekolah.
Konsekuensi dari ketidakjelasan ini adalah sulitnya menentukan siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan, pengawasan, atau pelaporan kerusakan. Tak jarang aset seperti perpustakaan digital menjadi mangkrak karena koneksi internet putus atau perangkatnya rusak, sementara tidak ada anggaran dari APBD untuk memperbaikinya karena tidak tercatat sebagai BMD.
3. Klasifikasi Aset Puskesmas: Tanggung Jawab Siapa?
3.1. Bangunan Utama Puskesmas
Puskesmas adalah fasilitas layanan kesehatan tingkat pertama yang dibangun untuk melayani masyarakat di tingkat kecamatan atau kelurahan. Umumnya, pembangunan gedung puskesmas dilakukan oleh Pemda dengan menggunakan APBD dan dicatat sebagai BMD. Namun, dalam kurun waktu satu dekade terakhir, pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian PUPR telah mengalokasikan DAK Fisik untuk membangun atau merehabilitasi puskesmas secara masif, terutama untuk memenuhi standar akreditasi.
Bangunan yang dibiayai dari DAK Fisik awalnya berstatus BMN. Setelah pembangunan selesai, dilakukan proses serah terima kepada Pemda, agar gedung tersebut dapat dicatat sebagai BMD dan dikelola sepenuhnya oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Tetapi, banyak kasus menunjukkan bahwa proses serah terima tidak disertai dokumentasi yang lengkap. Alhasil, ketika terjadi kerusakan atau kebutuhan renovasi, pemerintah daerah enggan mengalokasikan anggaran karena status kepemilikannya tidak jelas.
Beberapa puskesmas bahkan dibangun di atas lahan yang belum memiliki sertifikat, atau masih atas nama masyarakat desa, yang membuat status hukum bangunannya tergantung pada kebijakan lokal. Hal ini memperumit pencatatan dalam laporan keuangan dan membuka celah terjadinya klaim lahan oleh pihak luar.
3.2. Sarana dan Peralatan Medis
Peralatan medis puskesmas seperti mesin X-ray, autoclave, tensimeter digital, inkubator bayi, hingga alat tes laboratorium mini kerap diperoleh dari program revitalisasi puskesmas Kementerian Kesehatan. Karena pengadaan dilakukan secara terpusat, statusnya adalah BMN. Namun, perawatan dan kalibrasi rutin tetap dibebankan kepada Pemda.
Ketimpangan ini menyebabkan banyak alat menjadi rusak dan tidak bisa digunakan karena tidak ada anggaran pemeliharaan dari APBD. Belum lagi persoalan kurangnya tenaga teknis di daerah untuk mengoperasikan peralatan medis berteknologi tinggi, yang menyebabkan aset berharga tersebut terbengkalai.
3.3. Kendaraan Operasional Puskesmas
Ambulans dan kendaraan operasional merupakan bagian penting dalam mendukung pelayanan puskesmas, terutama dalam program rujukan dan kunjungan rumah. Kendaraan ini bisa diperoleh dari APBD atau dari DAK Kesehatan. Bila pembelian berasal dari APBD, maka kendaraan tersebut adalah BMD dan dicatat dalam SIMDA. Namun jika diperoleh dari program pusat, statusnya BMN yang memerlukan pengawasan dari kementerian terkait.
Masalah muncul ketika ambulans rusak dan membutuhkan perbaikan besar. Pemerintah daerah enggan membiayai karena merasa bukan aset mereka, sementara pusat tidak memiliki mekanisme teknis untuk memperbaiki langsung kendaraan tersebut. Inilah sebabnya mengapa banyak ambulans di puskesmas hanya diparkir tanpa digunakan karena tidak terawat atau tak laik jalan.
4. Mekanisme Serah Terima dan Pemindahtanganan
Salah satu aspek krusial dalam tata kelola aset sekolah dan puskesmas adalah kejelasan mengenai status hukum kepemilikan dan pengelolaan melalui mekanisme serah terima (handover). Ketidakjelasan mekanisme ini sering kali menjadi sumber utama konflik tanggung jawab dalam hal pemeliharaan, pengawasan, dan pelaporan keuangan. Dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, proses penyerahan aset yang dibangun melalui dana APBN kepada pengelolaan daerah harus dilakukan secara formal dan terdokumentasi, dengan menggunakan Berita Acara Serah Terima (BAST) sebagai instrumen hukumnya.
BAST bukan sekadar lembar administratif, melainkan dokumen resmi yang menyatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan suatu aset telah dialihkan dari instansi pusat (misalnya Kementerian PUPR, Kemendikbudristek, atau Kemenkes) kepada unit pemerintah daerah yang berwenang. Dalam praktik terbaik, BAST harus mencantumkan informasi teknis seperti spesifikasi fisik aset (bangunan, tanah, peralatan), lokasi lengkap dengan koordinat geografis, nilai perolehan dan nilai buku terakhir, kondisi terkini (baik/fair/rusak), serta catatan historis pemeliharaan jika ada. BAST juga wajib disertai dengan dokumentasi foto kondisi fisik aset dan legalitas tanah (sertifikat atau alas hak).
Tanpa keberadaan BAST yang sah, timbul kekosongan yuridis yang membuat kebijakan teknis menjadi tumpul: Pemda tidak bisa memasukkan aset ke dalam Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA BMD), sementara pusat juga tidak lagi mengalokasikan anggaran karena dianggap telah menyerahkan pengelolaan. Hal ini menyebabkan munculnya aset “tak bertuan”, yang secara fisik ada, namun tidak tercatat secara formal dalam laporan keuangan pusat maupun daerah-sebuah anomali yang merugikan publik.
Selain serah terima vertikal dari pusat ke daerah, terdapat pula proses pemindahtanganan atau pemanfaatan aset kepada pihak ketiga. Contoh paling umum adalah penyewaan ruang kosong di sekolah untuk kegiatan pelatihan oleh lembaga kursus swasta, atau kerja sama pengelolaan apotek puskesmas dengan koperasi pegawai atau BUMDes. Dalam kasus seperti ini, diperlukan persetujuan dari DPRD dan harus didahului oleh penilaian independen terhadap nilai aset atau nilai sewa yang wajar, guna mencegah potensi mark-up, konflik kepentingan, atau praktik koruptif.
Pemindahtanganan ini wajib disertai dengan perjanjian kerja sama (MoU) yang mencakup hak dan kewajiban para pihak, masa berlaku, skema bagi hasil (jika ada), serta sanksi atas pelanggaran perjanjian. Selain itu, seluruh transaksi harus dicatat dalam sistem akuntansi pemerintah dan disesuaikan dalam laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi publik. Dengan mekanisme formal ini, aset negara dapat tetap produktif dan bernilai tambah tanpa kehilangan status hukumnya.
5. Isu Umum dan Tantangan di Lapangan
Meskipun telah tersedia perangkat hukum dan teknis yang cukup memadai, realisasi pengelolaan aset sekolah dan puskesmas masih dihadapkan pada berbagai tantangan faktual di lapangan. Tantangan ini bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan lintas sektor serta kolaborasi multi-level antara pusat, daerah, dan masyarakat.
5.1. Duplikasi Data dan Ketidakjelasan Status
Fenomena yang kerap terjadi adalah duplikasi pencatatan aset, di mana satu bangunan sekolah atau puskesmas tercatat dalam dua sistem yang berbeda: satu di pusat (misalnya di bawah Kemendikbudristek atau Kemenkes), dan satu lagi di daerah (melalui BPKAD). Ketika dilakukan audit atau inventarisasi, sering kali ditemukan selisih jumlah dan nilai aset karena ketidaksinkronan ini. Implikasi terbesarnya adalah kebingungan mengenai siapa yang berwenang merawat, memperbaiki, atau bahkan menertibkan penggunaan aset tersebut.
Hal ini diperburuk oleh lemahnya integrasi sistem informasi, di mana SIMDA di tingkat daerah belum terhubung dengan SIMAK-BMN di pusat. Akibatnya, potensi penganggaran ganda atau sebaliknya, tidak ada penganggaran sama sekali menjadi keniscayaan.
5.2. Pemeliharaan yang Terabaikan
Masalah pemeliharaan aset menjadi titik kritis dalam diskursus pengelolaan. Banyak sekolah dan puskesmas, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), mengalami kerusakan struktural, keausan peralatan, dan kerusakan sistem sanitasi akibat tidak adanya anggaran perawatan yang memadai. Ketika aset tersebut berstatus BMN, Pemda merasa tidak memiliki kewajiban langsung untuk membiayai pemeliharaan, karena belum ada serah terima formal. Sementara itu, kementerian yang bersangkutan tidak lagi menyediakan anggaran karena aset dianggap telah diserahkan.
Situasi ini menimbulkan dilema birokrasi, di mana kerusakan kecil tidak segera ditangani, lalu berkembang menjadi kerusakan besar yang menuntut renovasi mahal. Pada akhirnya, pelayanan publik terganggu, dan citra pemerintah menjadi negatif di mata masyarakat.
5.3. Sengketa Kepemilikan Tanah
Persoalan lahan adalah isu laten yang tidak bisa diabaikan. Banyak sekolah dan puskesmas berdiri di atas tanah yang secara historis dimiliki oleh desa, yayasan pendidikan, atau tokoh masyarakat yang menghibahkan secara informal. Namun karena tidak ada sertifikat resmi atas nama pemerintah, maka secara hukum lahan tersebut rentan terhadap klaim ulang, penyerobotan, atau konflik batas.
Kasus-kasus penyegelan sekolah oleh ahli waris atau perorangan yang merasa memiliki tanah menjadi berita yang kerap muncul di media. Ketidakjelasan status tanah ini juga menghambat ekspansi fisik fasilitas, pengajuan sertifikasi bangunan, dan pencairan anggaran untuk rehabilitasi, karena tidak ada legalitas formal atas lokasi pembangunan.
5.4. Ketidaksesuaian Regulasi dengan Praktik
Meskipun regulasi nasional telah tersedia, implementasinya di daerah sering tidak selaras dengan kondisi nyata. Regulasi tentang pengelolaan barang milik daerah masih menggunakan pendekatan linier dan birokratis, sementara model pembiayaan pembangunan fasilitas saat ini sudah semakin kompleks, melibatkan pendanaan kolaboratif dan lintas institusi. Misalnya, satu puskesmas bisa saja dibangun dengan DAK fisik dari pusat, dilengkapi alat kesehatan hibah dari mitra asing, dan memiliki ambulans dari APBD provinsi. Regulasi yang kaku tidak mampu mengakomodasi fleksibilitas ini.
6. Langkah‑Langkah Penyelesaian dan Rekomendasi
Untuk menjawab seluruh tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai aktor, baik di tingkat pusat maupun daerah. Solusi harus bersifat sistemik, lintas sektor, dan berorientasi pada hasil yang berkelanjutan.
6.1. Penyelarasan Data Nasional dan Daerah
Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan kementerian sektoral perlu membangun satu portal aset nasional yang dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. Sistem ini harus mampu menyinkronkan data BMN dan BMD secara real-time, termasuk riwayat pengelolaan, nilai perolehan, lokasi, dan status hukum. Pemerintah daerah harus memiliki kewajiban untuk memperbarui data aset miliknya secara berkala, agar tidak terjadi tumpang tindih atau duplikasi.
Penguatan integrasi antara SIMAK-BMN (pusat) dan SIMDA BMD (daerah) juga harus menjadi prioritas, dengan dukungan pelatihan dan sertifikasi petugas pengelola aset di semua OPD.
6.2. Penguatan Serah Terima Formal
Setiap proyek pembangunan atau pengadaan oleh pemerintah pusat harus mensyaratkan BAST sebagai dokumen wajib sebelum proyek dinyatakan selesai. Kementerian yang bertanggung jawab harus menyiapkan BAST dengan baik dan menyerahkannya kepada Pemda disertai seluruh dokumen pendukung. Tanpa BAST, maka pengelolaan aset menjadi ilegal secara administratif. Mekanisme ini juga harus menjadi indikator dalam penilaian kinerja kementerian dan pemerintah daerah.
6.3. Alokasi Anggaran Pemeliharaan Khusus
APBD diharapkan menyisihkan alokasi khusus untuk perawatan aset pusat yang dikelola daerah. Pemerintah pusat melalui Kemenkeu juga dapat membuat Dana Bantuan Aset Khusus (DBAK) yang difokuskan pada aset yang telah dialihkan ke daerah namun status hukumnya masih BMN. Dana ini diberikan sebagai bentuk tanggung jawab atas aset nasional yang digunakan untuk layanan publik lokal.
6.4. Clarification of Land Titles
Kolaborasi erat antara Pemda, BPN, dan pemerintah desa diperlukan untuk mensertifikatkan seluruh tanah tempat berdirinya sekolah dan puskesmas. Program PTSL harus diprioritaskan pada fasilitas publik, dengan bantuan hukum gratis untuk validasi dokumen. Bila perlu, dibuatkan perda percepatan sertifikasi aset pendidikan dan kesehatan.
6.5. Model Kerja Sama Berkelanjutan
Guna mengurangi beban APBD dan memastikan keberlanjutan aset, Pemda dapat menggagas skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) mini, terutama untuk pengembangan puskesmas rawat inap. Di bidang pendidikan, CSR perusahaan juga bisa dimobilisasi untuk membangun laboratorium sekolah atau pelatihan vokasi, dengan pengelolaan yang diawasi publik.
6.6. Pengawasan dan Audit Berbasis Kinerja
BPKP perlu melakukan audit kinerja dengan pendekatan berbasis risiko (risk-based audit), dengan fokus pada aset bernilai tinggi atau yang memiliki tingkat kerusakan kritis. DPRD juga perlu memperkuat fungsi pengawasan melalui panitia khusus (pansus) aset, yang tidak hanya memantau pemanfaatan, tapi juga menyusun rekomendasi perbaikan. Laporan hasil audit dan tindak lanjutnya wajib diumumkan ke publik untuk meningkatkan transparansi.
Kesimpulan
Hakikat kepemilikan aset sekolah dan puskesmas di Indonesia tidak hanya terletak pada label “BMN” atau “BMD”, melainkan pada kepastian tanggung jawab dan kesinambungan pengelolaannya. Regulasi tegas, sinkronisasi data nasional‑daerah, alokasi anggaran pemeliharaan yang memadai, serta sertifikasi tanah menjadi pilar utama menjawab pertanyaan “Milik siapa sebenarnya?”. Dengan langkah-langkah sistemik dan kolaboratif antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta mitra masyarakat, aset pendidikan dan kesehatan akan terjaga fungsinya secara optimal, memberikan layanan prima, dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.