Pendahuluan

Konflik lahan desa merupakan salah satu isu yang kerap menghiasi dinamika pembangunan dan tata kelola sumber daya agraria di Indonesia. Perubahan fungsi lahan, tuntutan kepentingan ekonomi, hingga perbedaan persepsi atas batas wilayah administrasi desa menciptakan ketegangan antara berbagai pihak yang memiliki klaim atas lahan. Dalam banyak kasus, konflik ini tidak hanya melibatkan masyarakat desa setempat, tetapi juga pemerintah desa, pemerintah kabupaten, Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta swasta dan investor. Tulisan ini akan membedah secara mendalam berbagai aspek terkait konflik lahan desa, mulai dari akar penyebab, pemangku kepentingan, kerangka hukum yang mengaturnya, hingga mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia. Dengan memahami aktor dan prosedur yang terlibat, diharapkan para pihak terkait dapat memilih jalur penyelesaian yang efektif dan berkeadilan.

Latar Belakang Konflik Lahan Desa

Konflik lahan di tingkat desa sering kali berakar pada sejarah penguasaan lahan yang kompleks dan berlapis. Sejak era kolonial Belanda, sebagian besar lahan pertanian di desa-desa diambil alih untuk perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur strategis. Setelah kemerdekaan, upaya redistribusi lahan melalui program agraria belum sepenuhnya merata dan menyentuh akar rumput. Banyak masyarakat desa yang masih mengolah lahan berdasarkan hak ulayat atau tradisional, namun belum memiliki sertifikat formal. Ketika investor atau pemerintah mulai melakukan pemetaan ulang dan sertifikasi lahan, muncul tumpang tindih hak atas lahan antara kepemilikan adat dan kepemilikan resmi. Ditambah lagi, perubahan peruntukan lahan desa dari pertanian menjadi non-pertanian tanpa koordinasi yang memadai antara pemerintah desa dan pemangku kepentingan terkait kerap memicu kebingungan dan perselisihan.

Lebih jauh, fragmentasi kepemilikan sering diperparah oleh dinamika politik lokal. Setiap pesta demokrasi desa kerap dimanfaatkan untuk mempertajam klaim politik melalui surat rekomendasi atau penetapan batas wilayah yang menguntungkan kubu tertentu. Hal ini menyebabkan perubahan batas administrasi desa yang acap kali tidak terverifikasi oleh BPN, sehingga peta desa yang dipakai untuk sertifikasi dan perencanaan pembangunan menjadi tidak akurat. Kondisi ini berkelindan dengan praktik praktik oknum pejabat yang menerima suap untuk menerbitkan sertifikat atas tanah yang sebenarnya masih dalam sengketa, sehingga status hukum lahan menjadi sarang korupsi dan manipulasi.

Dari sisi ekonomi, tekanan kebutuhan hidup mendorong masyarakat desa menjual sebagian kecil lahannya kepada tengkulak atau investor, seringkali dengan harga di bawah nilai pasar, akibat keterbatasan akses ke informasi dan bantuan hukum. Penjualan ini menciptakan pemilik lahan non-lokal yang kemudian mengklaim hak secara legal melalui sertifikat, meninggalkan masyarakat desa yang kehilangan akses ke sumber penghidupan mereka. Ketimpangan informasi ini juga dialami saat pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), di mana masyarakat kurang mendapat penyuluhan tentang konsekuensi jangka panjang dari sertifikasi individu dibanding sertifikasi kolektif.

Selain itu, faktor lingkungan turut memperumit konflik lahan. Konversi hutan desa untuk perkebunan skala besar sering menimbulkan kerusakan ekosistem dan mengganggu mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan sebagai sumber pangan, obat-obatan, dan budaya. Ketidakjelasan status lahan hutan desa-apakah masuk kawasan hutan produksi, hutan lindung, atau hutan adat-sering disalahgunakan untuk menerbitkan izin usaha perkebunan, kayu, atau tambang. Akibatnya, terjadi tumpang tindih antara izin usaha yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, dan BPN, yang semuanya mengacu pada peta dan data berbeda.

Dengan berbagai faktor sejarah, politik, ekonomi, dan lingkungan yang saling terkait, konflik lahan desa bukan semata persoalan administratif, melainkan merupakan manifestasi masalah structural dalam kebijakan agraria dan tata ruang nasional. Oleh karena itu, pendekatan penyelesaian juga harus bersifat holistik, mempertimbangkan keseimbangan antara keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, serta kepastian hukum.

Pemangku Kepentingan dalam Konflik Lahan Desa

Pertama-tama, masyarakat desa sebagai pemilik hak ulayat dan pengguna lahan sehari-hari memegang peran sentral dalam dinamika sengketa. Hak ulayat yang diwariskan secara lisan antar generasi sering kali menjadi satu-satunya landasan legitimasi bagi masyarakat lokal untuk mengklaim dan mempertahankan hak atas lahan, meskipun tidak tercatat secara formal. Kepedulian mereka terhadap lahan tidak semata soal kepemilikan material, melainkan juga soal identitas budaya, struktur sosial, dan sumber mata pencaharian jangka panjang. Peran pemangku adat-seperti kepala adat, tokoh agama, dan sesepuh-sangat vital dalam mengawali dialog, menyampaikan aspirasi, dan menjaga momentum kearifan lokal agar tidak ternodai oleh kepentingan eksternal.

Selanjutnya, pemerintah desa sebagai ujung tombak administrasi memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan tanah, menetapkan peta dasar desa, dan memfasilitasi musyawarah warga. Meskipun kewenangan ini bersifat administratif, draf peta desa dan surat keterangan menjadi dokumen rujukan dalam proses sertifikasi yang dilakukan oleh BPN. Kepala desa dan aparat desa lainnya sering kali berada di garis depan, berupaya menyeimbangkan tekanan dari warganya dengan tekanan dari tingkat pemerintahan di atasnya maupun kepentingan investor. Kapasitas sumber daya manusia dan ketiadaan anggaran memadai kerap menjadi hambatan utama bagi pemerintah desa untuk menjalankan fungsi fasilitatif dengan optimal.

Di tingkat kabupaten atau kota, Dinas Penataan Ruang, Dinas Pertanahan, dan Dinas Lingkungan Hidup memainkan peran teknis dan strategis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan izin penggunaan lahan. RTRW yang diterbitkan oleh pemerintah daerah memuat zonasi lahan pertanian, kawasan hutan, kawasan permukiman, dan zona pembangunan ekonomi, sehingga secara hukum menentukan aturan main mengenai alih fungsi lahan. Jika RTRW kurang partisipatif atau tidak merepresentasikan kondisi riil di desa, maka keputusan tata ruang dapat memunculkan tumpang tindih izin dan konflik baru.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai otoritas pendaftaran, pengukuran, dan sertifikasi lahan memiliki kewenangan tertinggi dalam menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Proses pendaftaran yang meliputi pengukuran lapangan, verifikasi administrasi, dan penerbitan sertifikat bisa selesai dalam hitungan bulan atau bertahun-tahun, tergantung pada kompleksitas klaim, konflik batas, dan intervensi pihak berkepentingan. BPN juga memiliki kewajiban melakukan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang, bila berjalan baik, dapat mengurangi sengketa dengan memberikan kepastian hukum kepada pemilik lahan. Tidak kalah penting, korporasi swasta dan investor membawa modal besar dan teknologi modern untuk mengembangkan lahan pertanian, perkebunan, properti, atau kawasan industri. Biasanya, mereka mengajukan perizinan melalui perantara atau pejabat desa, sehingga persetujuan warga seringkali diabaikan atau hanya diwakili oleh sebagian kecil tokoh masyarakat.

Dalam banyak kasus, perusahaan menawarkan skema kompensasi ekonomi-uang tunai atau pengembangan infrastruktur-namun tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan pascaprojekt. Model kemitraan yang tidak adil ini rentan menimbulkan kekecewaan, ketidakteraturan kepemilikan, dan potensi litigasi. Terakhir, lembaga masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan media lokal berperan sebagai pengawas dan pendamping. Mereka dapat menyediakan bantuan hukum, advokasi, pendampingan teknis peta, serta menyuarakan kasus-kasus penindasan atau pelanggaran HAM agraria ke tingkat nasional dan internasional. Kolaborasi antar-LSM dan akademisi juga menghasilkan riset dan data lapangan yang memperkaya proses dialog dan mediasi.

Kerangka Hukum dan Regulasi

Kerangka hukum agraria di Indonesia berpijak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan prinsip keadilan dan kemanfaatan lahan bagi kesejahteraan rakyat. UUPA secara eksplisit mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan ini memberi landasan hukum untuk mempertahankan hak kolektif desa meskipun tidak memiliki sertifikat individu.

Untuk melakukan pendaftaran dan sertifikasi formal, BPN menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). PTSL diharapkan mempercepat pendaftaran lahan secara masif dengan anggaran desa dan negara. Namun, implementasinya terkendala pendataan wilayah adat, koordinasi antar lembaga, dan resistensi warga yang belum memahami implikasi hukum jangka panjang sertifikat perorangan. Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 meletakkan dasar kewenangan pemerintah desa dalam mengelola aset desa, termasuk penetapan batas wilayah dan pengelolaan tanah kas desa. Melalui mekanisme musyawarah desa, konflik internal diharapkan dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Sayangnya, suara minoritas sering tertindas dalam forum ini, terutama jika ada tekanan politik atau finansial dari pihak berkepentingan.

Selain itu, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN (ATR/BPN) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hak Atas Tanah memberi petunjuk teknis prosedur pengukuran, pemetaan, serta penerbitan sertifikat hak atas tanah. Peraturan ini juga mengatur bentuk dan mekanisme sanggahan publik untuk mengajukan keberatan sebelum sertifikat diterbitkan.

Di ranah lingkungan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 17 Tahun 2018 tentang pedoman pemberian izin pelepasan kawasan hutan tampak tumpang tindih dengan izin BPN, terutama ketika lahan yang dimohonkan sertifikasi berada di area hutan adat atau hutan lindung. Konflik regulasi semacam ini mengakibatkan dualisme izin, di mana satu bidang lahan dapat memiliki lebih dari satu izin dari instansi berbeda, memperumit penegakan hukum. Dengan keberagaman regulasi yang saling bersinggungan, penting bagi pemangku kepentingan untuk memahami hierarki peraturan dan prosedur administratif yang tepat, agar penyelesaian konflik lahan desa tidak terjebak pada kekosongan hukum dan birokrasi tumpang tindih.

Penyelesaian konflik lahan desa tidak bisa dilepaskan dari payung hukum yang mengaturnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjadi dasar hukum agraria di Indonesia. UUPA mengakui adanya hak ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan sesuai kepentingan nasional. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memuat ketentuan mengenai prosedur dan kewenangan pendaftaran tanah. Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 memberikan wewenang kepada pemerintah desa dalam pengelolaan aset desa, termasuk lahan, serta mengatur mekanisme musyawarah desa untuk menyelesaikan perselisihan internal. Terakhir, Peraturan Menteri Desa PDTT dan Peraturan BPN mengatur teknis pelaksanaan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) dan pengakuan batas wilayah desa. Meski demikian, sinkronisasi antar produk hukum kerap terhambat birokrasi dan perbedaan interpretasi di lapangan.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lahan Desa

Penyelesaian sengketa lahan desa dapat ditempuh melalui beberapa mekanisme yang memiliki karakteristik, kelebihan, dan keterbatasan masing-masing. Pertama, musyawarah desa atau ”musdes” sebagai wujud praktik demokrasi partisipatif menjadi opsi paling awal dan terjangkau secara biaya. Dalam forum ini, kepala desa memanggil seluruh pihak bersengketa-termasuk perwakilan keluarga adat, tokoh masyarakat, serta perwakilan investor jika ada-untuk berdialog secara terbuka. Keberhasilan musdes sangat bergantung pada kredibilitas fasilitator, kepemimpinan kepala desa, serta keterlibatan pemangku adat yang mampu menyuntikkan landasan nilai tradisi. Namun, musdes kerap menghadapi kendala ketika salah satu pihak merasa suara mereka terpinggirkan atau terjadi dinamika politik desa menjelang pemilihan kepala desa.

Kedua, mediasi formal yang difasilitasi oleh Dinas Pertanahan kabupaten/kota atau oleh Badan Mediasi Agraria (BMA) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang merupakan jalur yang lebih terstruktur. Tahapan mediasi meliputi permohonan tertulis, penunjukan mediator profesional, serangkaian pertemuan tertutup, hingga perumusan kesepakatan tertulis yang mengikat secara moral. Mediasi ini bersifat sukarela dan lebih cepat dibanding proses administratif, dengan rata-rata penyelesaian 3-6 bulan jika partisipasi pihak konsisten. Kendati demikian, mediasi tidak memiliki kekuatan eksekutorial sehingga kesepakatan hanya efektif apabila pihak-pihak patuh.

Ketiga, upaya administratif melalui sanggahan atau keberatan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika masyarakat mengidentifikasi kesalahan prosedur dalam pendaftaran atau penerbitan sertifikat-seperti tidak dilibatkannya pihak yang berhak, peta yang keliru, atau pelanggaran dokumen-mereka dapat mengajukan keberatan dalam jangka waktu 90 hari setelah sertifikat diterbitkan. Proses ini melibatkan penelitian arsip BPN, verifikasi lapangan, serta sidang tindak lanjut sebelum penerbitan sertifikat baru atau pembatalan sertifikat bermasalah. Meskipun mekanisme ini memiliki payung hukum kuat, birokrasinya cukup panjang dan rentan penundaan akibat antrian berkas dan keterbatasan SDM di kantor wilayah BPN.

Keempat, litigasi perdata atau pidana di pengadilan negeri menjadi pilihan terakhir jika upaya di luar pengadilan gagal. Dalam gugatan perdata, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pembatalan sertifikat, ganti rugi materiil dan imateriil, serta restitusi tanah. Dalam kasus pidana, jika terbukti terjadi pemalsuan dokumen, korupsi pejabat, atau penipuan terhadap masyarakat desa, pelapor dapat mengajukan laporan tindak pidana agraria ke kepolisian atau kejaksaan. Proses pengadilan dapat memakan waktu bertahun-tahun, memerlukan biaya tinggi, dan sering kali memerlukan bukti saksi ahli, peta forensik, serta dokumen historis. Di sisi lain, kemenangan dalam litigasi memberikan putusan yang mengikat secara hukum dan membuka kemungkinan eksekusi paksa.

Kelima, inovasi alternatif seperti arbitrase agraria dan desa digital telah mulai diperkenalkan di beberapa wilayah. Arbitrase agraria memanfaatkan hak para pihak untuk memilih arbiter yang memiliki keahlian agraria, sehingga penyelesaian dapat lebih cepat (dalam 90 hari kerja) dan bersifat rahasia. Sementara desa digital menyediakan platform pemetaan partisipatif berbasis SIG (Sistem Informasi Geografis) dan sistem pengadukan online yang memudahkan pendataan sengketa serta memonitor status penyelesaian. Kedua inovasi ini masih memerlukan regulasi pelengkap dan peningkatan literasi digital di tingkat desa.

Secara umum, efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa lahan desa meningkat jika jalur nonlitigasi dipadukan dengan pendampingan hukum dan teknis peta, serta adanya jaminan penegakan keputusan (eksekusi). Kunci utamanya adalah keterpaduan antara dimensi kultural, administratif, dan yuridis, sehingga konflik dapat diselesaikan secara cepat, murah, dan berkeadilan.

Kesimpulan

Konflik lahan di tingkat desa mencerminkan kompleksitas peralihan kepemilikan lahan tradisional ke sistem agraria modern yang diatur secara formal. Penyelesaiannya memerlukan kolaborasi antara pemerintah desa, kabupaten, BPN, masyarakat adat, dan investor, dengan berlandaskan hukum yang jelas dan prosedur yang transparan. Musyawarah desa dan mediasi merupakan langkah awal yang esensial dalam mencari solusi berkeadilan, sementara upaya administratif dan litigasi menjadi opsi terakhir jika jalur damai tidak membuahkan hasil. Dengan percepatan pendaftaran lahan, peningkatan kapasitas, serta skema kemitraan yang adil, konflik lahan desa dapat diminimalkan, sehingga memberikan dasar yang kuat bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dan harmonis.