Pendahuluan

Aset daerah merupakan salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Dengan aset yang dikelola secara efektif dan efisien, pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas layanan, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataannya banyak aset daerah yang justru sering terlantar: bangunan dinas yang terbengkalai, lahan kosong tanpa pemanfaatan, serta kendaraan operasional yang mangkrak. Fenomena ini menimbulkan kerugian fiskal dan sosial yang signifikan. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas berbagai faktor penyebab keterlantaran aset daerah, mulai dari problematika regulasi, kelembagaan, pendanaan, hingga aspek manusia dan teknologi, serta memberikan rekomendasi strategis sebagai solusi.

Bagian 1: Kompleksitas Regulasi dan Kebijakan yang Tumpang Tindih

Regulasi pengelolaan aset daerah terbagi ke dalam tingkatan nasional dan daerah yang kerap kali berjalan terpisah tanpa keterkaitan efektif. Di tingkat nasional, selain Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, terdapat juga Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 yang menekankan digitalisasi data aset serta Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 mengenai Standar Pengelolaan Barang Milik Daerah. Namun, ketika peraturan tersebut diimplementasikan di lapangan, pemerintah daerah diharuskan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati/Walikota yang sering kali menambahkan syarat administratif baru. Perbedaan pasal dan lampiran antardokumen menyebabkan aparat di daerah harus melampaui tiga hingga empat tahap verifikasi untuk satu jenis aset-mulai dari penetapan status, penilaian kondisi, hingga penetapan rencana pemanfaatan-yang memakan waktu berbulan-bulan.

Lebih jauh, penetapan klasifikasi aset bergerak dan tak bergerak sering menjadi sumber kebingungan karena tumpang tindih kewenangan antara Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), serta Badan Pertanahan Nasional (BPN). Misalnya, prosedur hibah aset tak bergerak ke desa atau antar-OPD memerlukan persetujuan BPN, terutama untuk lahan sitaan eks-Keputusan Presiden, sementara permohonan pinjam-pakai kendaraan dinas harus melalui Dewan Pengawas BUMD jika kendaraan tersebut tercatat di laporan keuangan pendapatan perusahaan daerah. Tanpa pedoman operasional baku, pengajuan hibah atau peminjaman aset sering tertunda karena satu lembaga menunggu rekomendasi lembaga lain.

Tak hanya itu, aspek pemindahtanganan aset berupa lelang, tukar-menukar, atau alih fungsi menghadapi kendala regulasi persaingan usaha. Peraturan Menteri Keuangan tentang tata cara lelang barang milik negara/daerah menetapkan batasan nilai ambang lelang dan persyaratan dokumen yang sangat rinci. Sementara itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur BUMD pembiayaan menambah lapisan persyaratan bagi aset yang dijadikan jaminan kredit. Keberadaan dua regulator ini menciptakan zona abu-abu: aset yang sebenarnya sudah tidak produktif, namun tidak dapat dilelang karena persyaratan kredit masih berjalan-padahal nilai buku dan nilai pasar divergen jauh.

Di sisi lain, belum ada sistem evaluasi periodik yang mengintegrasikan data nasional dan daerah secara real time. SIMDA dan aplikasi serupa di pusat dan provinsi tidak saling terkoneksi, sehingga saat daerah A memperbarui data luas bangunan sekolah, pusat masih menggunakan data lama dari tiga tahun lalu. Efek domino-nya: alokasi bantuan revitalisasi gedung sering tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Dengan mekanisme auditing dan pelaporan yang hanya bersifat tahunan, celah penanganan aset kritis menjadi panjang dan memperbesar risiko terlantar sebelum evaluasi berikutnya.

Terakhir, revisi dan harmonisasi regulasi yang berlarut tidak hanya menyedot energi administratif, tetapi juga melemahkan akuntabilitas. Tanpa portfolio aset terpadu yang memuat status hukum, nilai aset, dan riwayat pemanfaatan, pejabat daerah sulit mempertanggungjawabkan keputusan, apalagi jika terjadi audit eksternal oleh BPK. Kondisi ini menciptakan zona nyaman bagi aparatur untuk menunda keputusan strategis seputar pemanfaatan atau pemindahtanganan aset-karena potensi risiko sanksi lebih tinggi daripada manfaat instan yang mungkin diperoleh.

Bagian 2: Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Teknis yang Terbatas

Kualitas pengelolaan aset daerah sangat bergantung pada kompetensi dan kapabilitas tim yang bertanggung jawab. Namun, di banyak daerah, unit pengelola aset terdiri dari pegawai umum dengan latar belakang yang beragam dan minim pendidikan formal di bidang manajemen aset. Kurangnya tenaga ahli seperti penilai aset (valuer), insinyur sipil, dan tenaga IT untuk mendukung sistem informasi aset menyebabkan proses verifikasi kondisi fisik, pembukuan nilai, hingga evaluasi siklus hidup aset berjalan tidak akurat.

Lebih jauh, belum adanya standar kompetensi dan sertifikasi profesional untuk manajer aset di tingkat daerah menimbulkan disparitas kinerja. Sementara Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah menerbitkan pedoman Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Barang Milik Negara, implementasinya belum merata-terutama di kabupaten-kabupaten kecil yang kesulitan memenuhi syarat formasi. Akibatnya, beban kerja staf pemerintahan daerah terfokus pada tugas administratif seperti pengisian buku aset, bukan pada analisis strategis seperti penjadwalan pemeliharaan, perencanaan penggantian aset, atau pengembangan model optimasi pemanfaatan aset.

Beban ganda (role overload) juga menjadi permasalahan utama. Dalam skala satu OPD, satu atau dua pegawai sering menangani ratusan hingga ribuan item aset, mulai dari lahan kosong hingga peralatan kantor. Ketidakseimbangan ini memicu kelelahan kerja (burnout), tingginya turnover, dan rendahnya motivasi untuk melakukan inovasi. Tanpa dukungan tim yang memadai, tugas krusial seperti inspeksi lapangan berkala dan penyiapan dokumen lelang elektronik sering tertunda-padahal kedua proses tersebut esensial untuk menghindari kerusakan aset yang tidak terdeteksi.

Untuk mengatasi kekurangan ini, beberapa daerah telah menjalin kemitraan dengan universitas dan lembaga pelatihan vokasi. Program magang dan praktikum lapangan memberi manfaat ganda: kampus menyediakan sumber daya manusia yang siap pakai, sedangkan pemerintahan daerah mendapatkan tenaga tambahan dengan gaji minimal. Namun, inisiatif ini perlu distandarisasi menjadi skema pelatihan berjenjang dan berkelanjutan, misalnya melalui sertifikasi profesi nilai aset atau pelatihan lanjutan mengenai SMART maintenance yang terintegrasi dengan SIMDA.

Lebih jauh, pembentukan unit kompetensi internal melalui center of excellence (CoE) aset daerah dapat menjadi terobosan. CoE ini berfungsi sebagai pusat pelatihan, dokumentasi best practice, dan mentoring antar-kabupaten. Dengan memanfaatkan teknologi blended learning-mengombinasikan modul e-learning dengan workshop tatap muka-pejabat dan staf aset dapat memperbarui kemampuan teknis dan managerial sesuai kebutuhan praktik terkini.

Terakhir, budaya organisasi yang mendukung peningkatan kapasitas sangat krusial. Dengan menetapkan Key Performance Indicators (KPI) yang mengukur ketepatan waktu pemeliharaan, akurasi data aset, dan inovasi pemanfaatan aset, manajemen daerah dapat memantau dan memberi reward bagi unit kerja berprestasi. Sistem remunerasi berbasis kinerja, misalnya insentif tunjangan kompetensi, dapat memacu pegawai untuk mengikuti sertifikasi profesional serta berkontribusi aktif dalam modernisasi pengelolaan aset.

Bagian 3: Pembiayaan dan Insentif yang Kurang Memadai

Pembiayaan menjadi aspek krusial dalam menjaga keberlanjutan aset daerah. Seringkali, anggaran untuk pemeliharaan rutin-termasuk perbaikan kecil, pengecatan ulang, dan pembersihan fasilitas-hanya dianggarkan di sisa waktu menjelang akhir tahun, ketika kompetisi antarsektor memuncak. Alhasil, perawatan preventif terabaikan dan aset menghadapi kerusakan yang lebih serius sehingga biaya rehabilitasi mendadak membengkak hingga tiga hingga lima kali lipat dibandingkan jika dilakukan tepat waktu.

Untuk revitalisasi aset besar-seperti gedung pertemuan, pasar, atau terminal transportasi-prosedur perencanaan anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) belum sepenuhnya mengakomodasi siklus hidup aset. OPD cenderung mengajukan pagu anggaran berdasarkan postes pendapatan dan tuntutan politis, bukan data kondisi aktual dan proyeksi degradasi. Akibatnya, program revitalisasi sering molor karena revisi anggaran di tengah tahun atau bahkan dilakukan secara bertahap tanpa keselarasan teknologi dan desain, sehingga bangunan yang disentuh pertama kali memerlukan perbaikan ulang saat giliran lantai atau bagian lain datang.

Selain masalah alokasi, kebijakan insentif bagi OPD yang berhasil mengoptimalkan aset masih bersifat ad hoc. Misalnya, apabila sebuah dinas berhasil meraih pendapatan melalui penyewaan aset, sebagian besar keuntungan justru masuk ke kas umum daerah tanpa proporsi tertentu untuk unit pengelola. Model bagi hasil yang tidak transparan melemahkan motivasi inovasi pengelolaan.

Padahal, beberapa daerah yang menerapkan kebijakan bagi hasil 70:30 (70% daerah, 30% unit pengelola) mencatat peningkatan serius dalam tingkat hunian gedung serba guna dan pendapatan sewa lahan hingga 150% dalam dua tahun terakhir. Untuk menanggulangi kendala ini, perlu diterapkan skema pembiayaan campuran (blended financing) yang memadukan dana APBD, skema pinjaman lunak (soft loan) dari lembaga pembiayaan pembangunan, dan partisipasi swasta melalui kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnership/PPP). Misalnya, investor swasta dapat membiayai revitalisasi pasar tradisional dengan imbal hasil sewa jangka menengah, sedangkan pemerintah daerah menyediakan keringanan pajak dan jaminan infrastruktur dasar.

Lebih jauh, pemberian insentif nonfinansial-seperti penghargaan daerah tertib aset atau sertifikat pengelolaan aset terbaik-dapat meningkatkan prestige unit kerja. Sertifikat ini dapat menjadi dasar kenaikan pangkat atau penambahan tunjangan operasional. Dengan menempatkan pengelolaan aset sebagai indikator dalam penilaian kinerja tahunan kepala daerah, insentif akan mengalir ke level OPD secara sistematis.

Bagian 4: Koordinasi Antar Lembaga dan Stakeholder yang Lemah

Aset daerah yang melibatkan banyak instansi dan komunitas memerlukan platform koordinasi yang adaptif dan inklusif. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak unit kerja yang bekerja dalam ‘silo’, tanpa pemahaman menyeluruh tentang peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Akibatnya, konflik kepentingan-misalnya antara target PAD Dinas Perhubungan yang bergantung pada retribusi parkir dan rencana Dinas PUPR untuk merelokasi area parkir-sulih menjadi kendala birokrasi yang berdampak pada aset jalan dan trotoar.

Beberapa daerah telah membentuk Tim Koordinasi Aset Daerah (TKAD) berbasis Peraturan Bupati/Wali Kota yang beranggotakan perwakilan OPD, BUMD, perwakilan DPRD, serta forum masyarakat. Namun, efektivitas TKAD sering berkurang karena pertemuan yang tidak rutin dan agenda yang minim follow-up. Rapat koordinasi perlu dilengkapi dengan pemantauan tindak lanjut (action tracking) dan sistem manajemen proyek berbasis daring, sehingga setiap keputusan dipantau progresnya hingga implementasi. Untuk mengintegrasikan pihak eksternal, forum konsultasi publik dapat diperluas dengan mekanisme e-participation-platform daring yang memungkinkan warga mengusulkan dan memantau proyek pemanfaatan aset. Fasilitas crowdmapping dapat dipakai untuk menandai asset idle di wilayah mereka, memberi deskripsi masalah, dan mengunggah foto kondisi terkini.

Dengan data real-time, pemerintah daerah dapat memprioritaskan perbaikan atau pemberdayaan aset berdasarkan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah daerah dan mitra swasta atau LSM perlu dibuat standard template-nya agar eksekusi proyek bersama lebih cepat. Dalam MoU, penting mencantumkan indikator kinerja khusus-seperti waktu serah terima aset, target pendapatan, dan standar kualitas pemeliharaan-beserta sanksi dan reward. Keberadaan pool data terpadu yang dapat diakses oleh semua pihak melalui portal aset daerah mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan perencanaan hingga serah terima.

Bagian 5: Kurangnya Penggunaan Teknologi dan Sistem Informasi

Transformasi digital tidak sekadar mengubah catatan manual menjadi basis data elektronik; ia juga mencakup penerapan teknologi canggih untuk monitoring kondisi aset secara preventif. Di banyak daerah, adopsi SIMDA masih sebatas pencatatan nilai dan status, tanpa modul pemeliharaan berbasis Internet of Things (IoT). Padahal, sensor getaran dan kelembapan dapat dipasang di jembatan, gedung sekolah, atau pasar di daerah rawan gempa dan kelembapan tinggi, memberikan peringatan dini sebelum kerusakan struktural meluas.

Selain itu, penggunaan Geographic Information System (GIS) untuk visualisasi lokasi aset belum menjadi praktik umum. Dengan peta digital, pengambil kebijakan dapat mengidentifikasi kawasan aset idle, mengetahui kepemilikan, dan merancang zonasi fungsi masa depan-misalnya area park and ride di pinggiran kota atau kawasan ekonomi kreatif di pusat kota. Integrasi data GIS dengan SIMDA memungkinkan analisis spasial, seperti korelasi antara lokasi aset dan kepadatan penduduk, sehingga potensi pemanfaatan lebih tepat sasaran.

Untuk mempercepat modernisasi, pemerintah daerah dapat memanfaatkan cloud computing dari penyedia lokal atau BUMN telekomunikasi untuk menekan biaya investasi infrastruktur server. Model Software-as-a-Service (SaaS) SIMDA juga dapat diunduh sebagai layanan berlangganan, dilengkapi pembaruan otomatis dan dukungan teknis. Hal ini mengurangi beban pemeliharaan dan risiko data loss.

Di sisi lain, resistensi pegawai terhadap teknologi sering muncul karena rendahnya digital literacy. Pelatihan e-SKM (elektronik Survey Kondisi Material) dan tutorial interaktif yang disertai SOP jelas perlu dikembangkan. Pendekatan change management-melalui coaching, mentoring, dan insentif penggunaan aplikasi-memastikan adopsi teknologi berlangsung berkelanjutan.

Terakhir, pemanfaatan dashboard Business Intelligence (BI) membantu manajemen memantau performance metrics aset: tingkat utilisasi, pendapatan per unit, biaya pemeliharaan per tahun, dan risk indicators. Dengan laporan visual real time, rapat evaluasi aset dapat fokus pada isu strategis, bukan sekadar validasi data. Dashboard BI ini dapat ditampilkan di ruang rapat atau portal internal OPD, memperkuat budaya keputusan berbasis bukti.

Kesimpulan

Singkatnya, banyaknya aset daerah yang terlantar bukan semata-mata kesalahan satu pihak, melainkan hasil tumpang tindih regulasi, keterbatasan SDM, anggaran yang kurang memadai, lemahnya koordinasi antarlembaga, minimnya adopsi teknologi, serta hambatan budaya organisasi. Setiap elemen tersebut saling terkait dan memperkuat satu sama lain. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu langkah terpadu:

  1. Harmonisasi kebijakan pusat dan daerah melalui revisi Perda dan sinkronisasi sistem data nasional.
  2. Peningkatan kapasitas SDM dengan pelatihan berkala dan rekrutmen profesional, serta penataan beban kerja yang proporsional.
  3. Alokasi anggaran khusus untuk pemeliharaan dan insentif bagi OPD yang berhasil mengoptimalkan aset.
  4. Pembentukan forum koordinasi lintas sektor yang melibatkan masyarakat dan swasta sejak tahap perencanaan.
  5. Percepatan implementasi SIMDA dan e-procurement, didukung infrastruktur IT memadai.
  6. Transformasi budaya organisasi melalui kepemimpinan visioner dan sistem reward berbasis kinerja.

Dengan komitmen bersama dan strategi holistik, aset daerah yang selama ini terlantar dapat diubah menjadi motor penggerak pembangunan lokal, meningkatkan PAD, dan memperkuat pelayanan publik. Investasi dalam sistem, manusia, dan budaya organisasi adalah kunci agar aset-aset strategis mampu memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan pemerintahan daerah.