Pendahuluan: Ketika Motivasi Kerja Berubah Arah
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang semakin terasa di berbagai instansi pemerintah: ASN yang bekerja bukan karena ingin memberikan pelayanan terbaik, melainkan karena mengejar tunjangan. Tunjangan kinerja (tukin), uang makan, honor kegiatan, hingga tambahan dari proyek sering menjadi motivasi utama sebagian ASN. Fenomena ini tidak muncul dalam sehari, tetapi tumbuh dari sistem yang kurang sehat, budaya kerja yang salah arah, serta kebiasaan birokrasi yang lebih memprioritaskan administrasi daripada dampak kerja nyata.
Artikel ini mencoba mengurai bagaimana fenomena ini terjadi, dampaknya terhadap kinerja aparatur dan pelayanan publik, serta apa yang bisa dilakukan agar ASN kembali bekerja dengan orientasi pelayanan, bukan sekadar mengejar tunjangan.
Budaya Kerja ASN yang Terjebak pada Hitung-hitungan Tunjangan
Di banyak kantor pemerintah, percakapan tentang tunjangan sering lebih ramai dibanding pembahasan program kerja. ASN sibuk menghitung besaran tukin, mencari kegiatan yang ada honornya, atau berharap ditempatkan di unit yang tukinnya tinggi. Tunjangan akhirnya menjadi ukuran “siapa yang lebih beruntung”, bukan “siapa yang paling bekerja keras”.
Budaya semacam ini membuat pegawai lebih fokus mencari peluang yang menguntungkan secara finansial, bukan peluang untuk berkontribusi. Mereka tidak menganggap pelayanan rakyat sebagai prioritas, tetapi mengutamakan kegiatan yang bisa menambah pendapatan.
Sistem Tunjangan yang Tidak Selalu Berbasis Kinerja Nyata
Salah satu penyebab fenomena ini adalah sistem tunjangan yang kadang tidak mencerminkan kualitas kinerja. Tukin sering diberikan secara otomatis selama pegawai hadir dan memenuhi absensi formal, bukan berdasarkan kontribusi nyata.
Laporan kinerja (SKP) pun sering dibuat asal untuk memenuhi kewajiban. Akibatnya, antara kinerja dan tunjangan tidak punya hubungan kuat. Ketika sistem tidak menilai kerja keras secara objektif, pegawai pun merasa tidak perlu memberikan kinerja terbaik. Yang penting hadir, yang penting sesuai aturan administrasi.
Fenomena “Berburu Honor” dalam Kegiatan
Tidak sedikit ASN yang lebih semangat mengikuti rapat, bimtek, workshop, seminar, atau perjalanan dinas yang memberikan honorarium. Bahkan ada yang mencari-cari kegiatan agar bisa memperoleh tambahan penghasilan.
Di sisi lain, pekerjaan inti di kantor justru terbengkalai. Rapat internal yang tanpa honor sering dianggap tidak penting. Pelayanan kepada masyarakat terabaikan karena pegawai sibuk menghadiri kegiatan berbayar.
Fenomena “berburu honor” ini menciptakan distorsi dalam prioritas kerja ASN.
Tunjangan Menjadi Tolak Ukur Keberhasilan Jabatan
Di banyak instansi, jabatan struktural atau fungsional sering dilihat dari besaran tunjangannya, bukan dari tanggung jawab atau dampak kerjanya. Pegawai lebih tertarik mengejar jabatan yang tukinnya besar, meski mereka tidak siap atau tidak kompeten mengemban peran tersebut.
Akibatnya, motivasi ASN untuk naik jabatan sering bukan karena ingin memimpin, melayani, atau membuat perubahan positif, tetapi semata-mata karena insentif finansial.
Penempatan Pegawai Tidak Berdasarkan Minat dan Kompetensi
Ketika orientasi ASN hanya pada tunjangan, instansi pun kesulitan menempatkan pegawai sesuai keahlian. Banyak yang meminta mutasi ke unit yang tukinnya besar, meski tidak memiliki kemampuan yang sesuai.
Fenomena ini menciptakan kondisi:
- Unit tertentu kelebihan pegawai
- Unit lain kekurangan tenaga
- Banyak pegawai berada di posisi yang tidak ia kuasai
- Kinerja organisasi menjadi tidak optimal
Semua ini terjadi karena motivasi finansial lebih dominan daripada profesionalisme.
Dampak pada Kinerja ASN dan Pelayanan Publik
Ketika motivasi utama pegawai adalah tunjangan, dampaknya terasa jelas pada kualitas pelayanan publik. Beberapa dampaknya antara lain:
- Pegawai tidak fokus pada peningkatan kompetensi, karena tidak memberikan keuntungan langsung.
- Pelayanan lambat, karena pekerjaan inti tidak menjadi prioritas.
- Inovasi minim, karena tidak ada dorongan untuk bekerja lebih keras dari standar minimal.
- Kepercayaan publik menurun, karena masyarakat merasakan layanan yang tidak serius.
Fenomena ini juga membuat organisasi pemerintah sulit mencapai target pembangunan karena kinerja ASN tidak mencerminkan kebutuhan pelayanan masyarakat.
Ketimpangan Tunjangan Memicu Kecemburuan Internal
Besaran tunjangan antar instansi tidak selalu adil. Ada instansi yang tukinnya sangat besar, sementara instansi lain sangat kecil. Perbedaan ini menimbulkan kecemburuan, demotivasi, dan keinginan ASN untuk pindah bukan berdasarkan kontribusi, tetapi berdasarkan besar kecilnya tunjangan.
Ketimpangan ini tanpa disadari memperkuat budaya “kejar tunjangan”, karena karier ASN tidak lagi fokus pada misi pelayanan, melainkan keuntungan finansial.
Minimnya Penghargaan Non-Finansial
Di banyak kantor pemerintah, penghargaan terhadap ASN yang berprestasi masih lemah. Pegawai yang bekerja keras sering tidak mendapat pengakuan, sementara pegawai yang hanya hadir dan ikut rapat tetap mendapat tunjangan sama.
Ketika penghargaan berbasis kinerja tidak diberikan, pegawai akhirnya mencari “penghargaan” yang bisa diukur dan dirasakan, yaitu tunjangan uang.
Atasan yang Tidak Memberikan Contoh Baik
Fenomena mengejar tunjangan sering diperparah oleh perilaku pimpinan. Ada pimpinan yang lebih aktif berburu honor daripada mengurus pekerjaan inti. Ada pula yang lebih sering mengatur kegiatan agar dirinya dapat bagian tunjangan tambahan.
Ketika pimpinan memberi teladan buruk, bawahan pun mengikuti. Budaya kerja yang seharusnya berorientasi pelayanan berubah menjadi budaya mengejar keuntungan pribadi.
Kurangnya Pemahaman tentang Esensi ASN sebagai Pelayan Publik
Sebagian ASN tidak lagi melihat dirinya sebagai pelayan masyarakat. Identitas ASN yang seharusnya berorientasi publik tergeser oleh orientasi finansial. Kesadaran bahwa gaji dan tunjangan berasal dari pajak rakyat semakin hilang.
Tanpa pemahaman mendalam tentang amanah jabatan, pegawai mudah terjebak dalam mentalitas “bagaimana saya mendapat keuntungan”, bukan “bagaimana saya memberi manfaat”.
Solusi: Menghubungkan Tunjangan dengan Kinerja Nyata
Salah satu langkah penting adalah memastikan tunjangan tidak diberikan secara otomatis, tetapi berdasarkan evaluasi kinerja yang terukur dan objektif.
Evaluasi harus benar-benar melihat:
- Output pekerjaan
- Kualitas hasil
- Dampak layanan
- Disiplin kerja
- Kreativitas dan inovasi
Ketika tunjangan benar-benar mencerminkan kontribusi, pegawai akan memiliki motivasi untuk bekerja lebih baik.
Memperkuat Sistem Monitoring Kinerja
Instansi perlu memiliki sistem monitoring yang tidak hanya berfokus pada kehadiran, tetapi pada hasil kerja. Tools seperti e-kinerja harus dipakai secara serius, bukan hanya formalitas administrasi.
Laporan kinerja harus diperiksa dengan teliti dan diberi umpan balik. Tanpa evaluasi, tidak ada dasar bagi perubahan budaya kerja.
Memberi Penghargaan Non-Finansial bagi ASN Berprestasi
Penghargaan tidak selalu berbentuk uang. Instansi dapat memberikan:
- Sertifikat penghargaan
- Kesempatan pelatihan
- Peluang tugas strategis
- Rekomendasi kenaikan jabatan
- Publikasi sebagai pegawai teladan
Pengakuan semacam ini dapat memperkuat motivasi intrinsik ASN dan mengurangi ketergantungan pada tunjangan sebagai satu-satunya sumber motivasi.
Mengurangi Kegiatan Seremonial Berbasis Honor
Pemerintah perlu mengevaluasi kegiatan yang berlebihan dan tidak efektif. Banyak rapat, workshop, dan kegiatan seremonial yang sebenarnya bisa diganti dengan mekanisme lain yang lebih produktif.
Jika honor kegiatan tidak lagi menjadi sumber tambahan utama, pegawai akan lebih fokus pada pekerjaan inti.
Pemimpin Harus Memberi Teladan Integritas
Perubahan budaya organisasi tidak mungkin terjadi jika pimpinan tidak memberi contoh. Pimpinan harus menunjukkan bahwa mereka bekerja untuk melayani masyarakat, bukan untuk mengejar honor.
Dengan teladan yang baik, bawahan akan lebih mudah mengikuti arah perubahan.
ASN Harus Kembali pada Jiwa Pelayanan Publik
Menjadi ASN adalah amanah besar. Gaji dan tunjangan yang diterima bukan sekadar hak, tetapi konsekuensi dari tanggung jawab kepada masyarakat. Fenomena mengejar tunjangan hanya membawa birokrasi jauh dari esensi pelayanan.
Jika ingin birokrasi menjadi lebih profesional, responsif, dan dipercaya publik, motivasi kerja ASN harus dibenahi. Tunjangan memang penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya alasan bekerja.
ASN harus kembali mengingat bahwa tugas mereka adalah melayani, memperbaiki, dan berkontribusi bagi kepentingan negara dan masyarakat. Dengan perubahan cara pandang ini, sistem pemerintahan Indonesia dapat melangkah menuju birokrasi yang lebih baik, modern, dan berintegritas.


