Fenomena “kerja tapi tidak bekerja” di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah realitas yang sering dibicarakan masyarakat, tetapi jarang dibahas secara terbuka di lingkungan birokrasi. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang hadir di kantor, duduk di meja kerja, bahkan terlihat sibuk, tetapi sebenarnya tidak menghasilkan output apa pun yang berarti. Kegiatan yang dilakukan hanya sekadar memenuhi kewajiban hadir, tanpa kontribusi nyata terhadap tujuan organisasi.

Artikel ini mengupas secara naratif, sederhana, dan panjang lebar mengenai mengapa fenomena ini terjadi, bagaimana dampaknya bagi pelayanan publik, dan apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk mengatasinya. Tulisan ini bertujuan membuka mata bahwa masalah “kerja tapi tidak bekerja” bukanlah sekadar soal malas, tetapi soal sistem, budaya, dan cara kerja birokrasi yang memiliki akar lebih dalam.

Menghadiri Kantor tetapi Tidak Menghasilkan Output

Fenomena ini terlihat jelas dalam banyak instansi pemerintah. ASN hadir tepat waktu, absen, duduk di meja, membuka komputer, berpindah dokumen, dan berjalan ke sana-sini—seolah-olah sedang sangat sibuk. Namun ketika ditanya apa output yang dihasilkan hari itu, jawabannya sering kabur.

Ada yang membuka file yang sama sepanjang hari tanpa memulai apa pun. Ada yang ikut rapat tanpa memahami tujuannya. Ada pula yang sekadar menunggu instruksi tanpa inisiatif menjalankan tugas yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.

Kegiatan seperti ini terlihat seperti bekerja, tetapi tidak memberikan hasil nyata. Inilah yang disebut “kerja tapi tidak bekerja”. Dalam jangka panjang, budaya seperti ini membuat organisasi berjalan lambat, bahkan stagnan.

Budaya Menunggu Perintah yang Menghambat Inisiatif

Salah satu penyebab terbesar fenomena ini adalah budaya kerja birokrasi yang menekankan hierarki secara berlebihan. Banyak ASN terbiasa menunggu perintah dari atasan sebelum melakukan apa pun. Mereka takut mengambil keputusan, khawatir salah, atau terbiasa bekerja hanya ketika diarahkan.

Budaya ini menghilangkan inisiatif. Pegawai yang sebenarnya memahami pekerjaannya menjadi pasif karena sistem tidak memberi ruang bagi kreativitas. Mereka memilih tetap aman dengan menunggu instruksi daripada terlibat aktif.

Akibatnya, banyak pekerjaan sederhana tertunda. Tugas yang seharusnya bisa selesai dalam hitungan jam menjadi berlarut-larut karena semua orang menunggu perintah yang tidak kunjung datang.

Pekerjaan yang Tidak Terukur dan Tidak Teralokasikan dengan Jelas

Di banyak instansi, pembagian tugas tidak diatur dengan tegas. Ada pegawai yang kebanjiran pekerjaan, sementara pegawai lainnya hanya memegang tugas yang sangat sedikit. Ketika tugas tidak diberikan secara merata, sebagian pegawai menjadi tidak punya pekerjaan yang jelas.

Pegawai yang tidak memiliki tugas terstruktur akhirnya hanya mengisi waktu kerja dengan aktivitas yang tidak penting: berselancar di internet, berbincang-bincang, atau merevisi dokumen lama berulang kali.

Karena tidak ada indikator kinerja harian atau mingguan, sulit mengukur apakah seseorang benar-benar bekerja atau hanya terlihat sibuk. Ketidakjelasan tugas ini menciptakan ruang besar bagi munculnya fenomena “kerja tapi tidak bekerja”.

Minimnya Pengawasan terhadap Output, Bukan Aktivitas

Dalam banyak birokrasi, pengawasan pegawai lebih fokus pada aktivitas fisik seperti kehadiran, bukan pada hasil kerja. Selama pegawai hadir, duduk di meja, dan tampak beraktivitas, mereka dianggap sudah menjalankan tugas.

Padahal kehadiran tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas. Banyak ASN hadir setiap hari tetapi tidak menghasilkan apa pun yang berdampak pada organisasi.

Ketika pengawasan hanya berbasis aktivitas, bukan output, pegawai tidak terdorong untuk bekerja efektif. Mereka hanya melakukan apa yang cukup untuk terlihat bekerja, bukan benar-benar menyelesaikan pekerjaan.

Terlalu Banyak Rapat yang Tidak Perlu

Fenomena “kerja tapi tidak bekerja” juga disebabkan oleh budaya rapat yang berlebihan. Banyak rapat diadakan tanpa agenda yang jelas, tanpa target, dan sering berulang membahas hal yang sama.

Pegawai yang menghadiri rapat berjam-jam merasa sudah bekerja keras, padahal rapat tersebut tidak menghasilkan keputusan atau tindak lanjut apa pun. Bahkan sebagian rapat hanya menjadi forum formalitas yang tidak berkaitan dengan pekerjaan utama.

Rapat yang tidak produktif menguras waktu dan energi, sehingga hari kerja habis tanpa menghasilkan output. Ini membuat pegawai terjebak dalam rutinitas kerja yang hanya terlihat sibuk tetapi tanpa hasil nyata.

Sistem Administratif yang Berulang dan Tidak Efisien

Birokrasi yang masih menggunakan prosedur panjang dan berulang membuat banyak ASN menghabiskan waktu melakukan tugas-tugas administratif yang sebenarnya bisa disederhanakan.

Contohnya:

  • Mengisi formulir yang sama berulang kali
  • Mencetak dokumen untuk kemudian dipindai kembali
  • Menunggu tanda tangan pejabat yang sering tidak berada di tempat
  • Mengulang proses verifikasi yang sebenarnya tidak perlu

Aktivitas administratif yang repetitif menciptakan kesibukan yang tidak produktif. Pegawai sibuk sepanjang hari, tetapi output yang dihasilkan tidak signifikan.

Kurangnya Pelatihan untuk Meningkatkan Efisiensi Kerja

Tidak sedikit ASN yang sebenarnya ingin bekerja dengan baik, tetapi tidak tahu bagaimana caranya karena kurangnya pelatihan. Kemampuan menggunakan teknologi, mengelola waktu, merencanakan pekerjaan, dan menulis laporan sering kali tidak dimiliki oleh sebagian pegawai.

Ketika pegawai tidak memiliki keterampilan dasar tersebut, mereka bekerja lambat. Banyak waktu habis untuk memahami tugas sederhana. Mereka akhirnya hanya melakukan pekerjaan sebisanya, bukan seharusnya.

Kurangnya pelatihan ini berkontribusi pada fenomena “kerja tapi tidak bekerja”, karena pegawai tidak mampu memaksimalkan waktu kerja dengan baik.

Lingkungan Kerja yang Tidak Mendukung Produktivitas

Lingkungan kerja memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas. Banyak kantor pemerintah yang suasananya justru tidak mendukung efektivitas: terlalu banyak interaksi sosial yang tidak terkontrol, tamu yang datang tanpa tujuan jelas, atau rekan kerja yang mengajak berbicara panjang lebar meskipun jam kerja.

Pegawai kesulitan fokus pada pekerjaan utama karena lingkungan kantor mendorong budaya santai dan tidak terstruktur. Pada akhirnya, hari kerja habis dengan aktivitas sosial, bukan penyelesaian tugas.

Dampak Fenomena “Kerja Tapi Tidak Bekerja” terhadap Pelayanan Publik

Fenomena ini berdampak besar pada kualitas pelayanan publik. Ketika banyak ASN tidak benar-benar bekerja, proses pelayanan menjadi lambat. Dokumen menumpuk, izin lambat diproses, perencanaan tidak selesai tepat waktu, dan masyarakat menjadi korban.

Fenomena ini juga menyebabkan:

  • Kinerja instansi tidak berkembang
  • Beban kerja pegawai tertentu menjadi berlebih
  • Inovasi mandek
  • Program pemerintah berjalan tidak efektif

Jika budaya ini dibiarkan, birokrasi akan sulit menjadi modern dan profesional seperti yang diharapkan.

Pegawai Kompeten Menjadi “Mesin Kerja” dan Merasa Tidak Adil

Dalam kondisi “kerja tapi tidak bekerja”, pegawai yang kompeten dan rajin sering kali menjadi tumpuan utama. Mereka yang benar-benar bekerja harus menutupi kekurangan rekan-rekannya yang tidak produktif.

Akibatnya:

  • Mereka mengalami kelelahan kerja
  • Mereka merasa tidak dihargai
  • Mereka frustrasi melihat pegawai tidak produktif tetap mendapat gaji yang sama
  • Mereka akhirnya menurunkan kualitas kerja untuk menyeimbangkan beban

Pegawai yang tadinya unggul bisa kehilangan motivasi dan akhirnya ikut terjebak dalam budaya kerja minimalis.

Mengapa Fenomena Ini Sulit Diperbaiki?

Fenomena ini sulit diatasi karena beberapa faktor:

  1. Budaya kerja lama yang sudah mengakar
  2. Sistem kepegawaian yang fokus pada kehadiran, bukan hasil
  3. Kurangnya mekanisme evaluasi harian atau mingguan
  4. Minimnya sanksi untuk pegawai yang tidak produktif
  5. Tidak ada standar kerja yang jelas dalam banyak unit

Selama faktor-faktor ini tidak diperbaiki, fenomena ini akan terus berulang.

Bagaimana Mengatasinya?

Ada beberapa langkah yang sebenarnya bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini:

1. Mengubah fokus evaluasi dari aktivitas ke output

Pegawai harus dinilai dari hasil, bukan dari lamanya mereka duduk di kantor.

2. Membagi tugas dengan jelas dan terukur

Setiap pegawai harus tahu apa yang harus diselesaikan setiap hari atau setiap minggu.

3. Membangun budaya kerja yang mendorong inisiatif

Pegawai tidak boleh hanya menunggu instruksi.

4. Pelatihan kemampuan teknis dan manajerial

Pegawai perlu ditingkatkan kompetensinya agar bisa bekerja dengan lebih efisien.

5. Mengurangi rapat yang tidak produktif

Rapat harus memiliki tujuan yang jelas dan dilaksanakan secara efisien.

6. Menerapkan teknologi dengan benar

Sistem digital harus mempermudah pekerjaan, bukan menambah kerumitan.

Penutup: Mengembalikan Makna “Bekerja” dalam Birokrasi

Fenomena “kerja tapi tidak bekerja” bukan sekadar keluhan masyarakat, tetapi masalah serius yang menghambat kinerja pemerintah dan merugikan publik. ASN perlu mengembalikan makna bekerja sebagai menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, bukan sekadar hadir di kantor.

Perubahan pola pikir, perbaikan sistem, dan lingkungan kerja yang mendukung produktivitas adalah kunci untuk mengatasi fenomena ini. Jika birokrasi berhasil keluar dari budaya kerja palsu ini, pelayanan publik bisa meningkat pesat dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan pulih.

Sudah saatnya ASN tidak hanya bekerja secara fisik, tetapi juga memberikan nilai nyata bagi organisasi dan masyarakat yang dilayani.