Dalam berbagai survei kepuasan masyarakat, salah satu keluhan paling sering muncul adalah mengenai pelayanan ASN yang dianggap tidak ramah. Banyak warga mengaku merasa dipersulit, diabaikan, atau mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan ketika berurusan dengan instansi pemerintah. Mulai dari nada bicara yang keras, tatapan tidak bersahabat, hingga sikap seolah-olah masyarakat adalah pihak yang “mengganggu” pekerjaan pegawai. Padahal, tugas ASN adalah melayani, bukan dilayani.
Fenomena pelayanan yang tidak ramah ini masih terjadi di banyak lembaga, baik pusat maupun daerah. Terlepas dari adanya ASN yang sangat profesional dan berintegritas, kenyataannya ada sebagian pegawai yang memberikan kesan buruk terhadap pelayanan publik secara keseluruhan. Ketika masyarakat membawa pengalaman negatif tersebut, kepercayaan kepada institusi pemerintah menjadi menurun.
Artikel ini membahas mengapa sikap tidak ramah masih banyak ditemukan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, serta bagaimana membangun budaya pelayanan yang lebih manusiawi dan bersahabat di lingkungan ASN.
Akar Masalah: Mentalitas Pelayanan yang Belum Terbangun
Salah satu masalah terbesar mengapa pelayanan ASN sering dianggap tidak ramah adalah karena mentalitas pelayanan belum sepenuhnya tertanam dalam diri banyak pegawai. Bekerja sebagai ASN masih dipandang sebagai profesi stabil dengan rutinitas administratif, bukan profesi pelayanan publik yang menuntut empati tinggi.
Dalam sistem birokrasi lama, pegawai sering ditempatkan sebagai pihak yang memiliki kewenangan, sementara masyarakat dianggap pihak yang membutuhkan. Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat sebagian pegawai merasa lebih tinggi daripada warga. Ketika mentalitas tersebut berkembang, sikap ramah yang seharusnya menjadi standar justru dianggap tidak penting.
Selain itu, banyak pegawai tidak mendapatkan pelatihan mendalam mengenai customer service, komunikasi interpersonal, dan pelayanan publik yang berorientasi pada kepuasan penerima layanan. Akibatnya, mereka melayani masyarakat secara apa adanya tanpa standar profesional.
Tekanan Kerja dan Kondisi Lingkungan yang Tidak Mendukung
Tidak ramahnya pelayanan ASN bukan semata-mata disebabkan sikap personal, tetapi juga dipengaruhi kondisi lingkungan kerja yang tidak ideal. Banyak pegawai bekerja di kantor yang penuh tumpukan berkas, ruang sempit, fasilitas terbatas, sistem aplikasi sering error, dan antrian panjang yang tidak terkelola dengan baik. Situasi ini sering membuat pegawai stres, lelah, dan kehilangan kesabaran.
Tekanan dari atasan yang meminta laporan cepat, target yang ketat, atau pekerjaan menumpuk karena kekurangan SDM juga menyebabkan pegawai sulit menjaga sikap ramah setiap saat. Ketika kondisi kerja tidak memberikan ruang kenyamanan, maka kualitas pelayanan ikut menurun.
Selain itu, sistem rotasi yang kurang tepat—misalnya pegawai yang tidak cocok dengan bidang pelayanan publik tetapi tetap ditempatkan di front office—dapat memperburuk suasana. Pegawai yang merasa tidak betah akan memberikan layanan seadanya.
Budaya Birokrasi yang Kaku dan Lambat Berubah
Birokrasi Indonesia masih membawa jejak budaya lama yang kaku dan hirarkis. Dalam budaya ini, aturan cenderung lebih dipentingkan daripada pengalaman pengguna layanan. Pegawai sering terpaku pada prosedur tanpa mempertimbangkan kenyamanan masyarakat. Ketika masyarakat bingung atau tidak paham proses, pegawai menjawab dengan nada tidak sabar, seolah-olah kesalahan ada pada yang datang meminta layanan.
Budaya ini tidak mendukung empati, fleksibilitas, dan pendekatan humanis. Pegawai lebih berfokus pada menyelesaikan tugas administratif daripada memberikan pelayanan yang bermakna. Ketika aturan dijadikan tameng, pegawai menjadi sulit berkomunikasi dengan lembut karena merasa yang penting adalah kepatuhan, bukan interaksi.
Masyarakat yang Beragam: Tantangan dalam Mengelola Emosi
Pelayanan publik melibatkan interaksi dengan masyarakat dari berbagai latar belakang pendidikan, karakter, dan kondisi emosional. Tidak jarang pegawai menghadapi pemohon yang marah, panik, bingung, atau tidak sabar. Situasi ini menuntut pegawai untuk memiliki kecerdasan emosional tinggi, sebuah kemampuan yang tidak semua ASN miliki atau kuasai dengan baik.
Ketika pegawai menghadapi masyarakat yang cerewet atau tidak memahami prosedur, mereka mungkin merasa terganggu. Jika tidak terlatih mengelola emosi, pegawai bisa merespons dengan nada tinggi atau ekspresi kesal. Meski reaksi tersebut wajar secara manusiawi, dalam dunia pelayanan, hal itu menjadi masalah besar.
Kurangnya pelatihan dalam menangani konflik atau menghadapi warga dengan berbagai kepribadian membuat pegawai mudah terpancing. Akibatnya, komunikasi menjadi tidak harmonis dan pengalaman negatif tercipta.
Kurangnya Sistem Pengawasan Layanan yang Ketat
Banyak instansi pemerintah belum memiliki sistem audit pelayanan yang memadai. Pengawasan sering hanya bersifat formalitas, seperti mengisi survei kepuasan yang jarang dianalisis secara mendalam. Tanpa pengawasan ketat, perilaku tidak ramah bisa terjadi tanpa konsekuensi. Pegawai merasa aman karena kecil kemungkinan mendapat teguran atau evaluasi personal.
Tidak adanya feedback real time—misalnya dari CCTV, sistem antrean digital, atau aplikasi pengaduan yang responsif—juga membuat masalah pelayanan sulit diperbaiki. Padahal, instansi swasta telah lama menggunakan tools seperti mystery shopper atau evaluasi berkala untuk meningkatkan standar pelayanan.
Ketika sistem pengawasan lemah, budaya pelayanan pun stagnan. Pegawai tidak merasa perlu memperbaiki sikap karena tidak ada dorongan sistemik yang memaksa mereka berubah.
Minimnya Penghargaan bagi ASN yang Melayani dengan Baik
Sering kali ASN yang melayani masyarakat dengan baik tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Di banyak tempat, indikator kinerja lebih fokus pada kelengkapan laporan, jumlah kegiatan, atau penyelesaian tugas administratif. Sikap ramah dan pelayanan prima jarang masuk dalam penilaian prestasi kerja.
Ketika tidak ada reward untuk perilaku positif, motivasi untuk bersikap ramah menjadi rendah. Pegawai akan merasa bahwa keramahan hanyalah pilihan personal, bukan bagian dari profesionalitas. Hal ini membuat budaya pelayanan yang baik sulit berkembang secara konsisten.
Sebaliknya, jika ada pegawai yang keras, jutek, atau tidak ramah, sering kali tidak ada sangsi berarti. Ketika perilaku negatif tidak diberikan konsekuensi, maka perilaku itu akan dianggap “normal”.
Ketidaksiapan Menghadapi Era Digital Pelayanan Publik
Digitalisasi pelayanan publik diharapkan dapat mempermudah masyarakat. Namun kenyataannya, transisi ke layanan digital membawa tantangan baru. Banyak pegawai masih belum mahir menggunakan aplikasi, sistem pelayanan daring sering bermasalah, dan SOP digital tidak tersosialisasi dengan baik.
Ketika pemohon datang membawa keluhan tentang sistem yang error, pegawai yang tidak siap sering kali merespons dengan sikap defensif atau tidak sabar. Mereka merasa terbebani dan akhirnya melampiaskan frustrasi kepada masyarakat dalam bentuk ketidaksopanan.
Situasi ini memperburuk citra pelayanan publik, karena masyarakat menganggap bahwa ASN tidak ramah sekaligus tidak kompeten dalam teknologi.
Membangun Budaya Pelayanan yang Lebih Humanis
Untuk mengatasi pelayanan publik yang tidak ramah, perubahan harus dilakukan dari berbagai sisi. Pertama, mentalitas pelayanan perlu dibangun sejak dini, mulai dari rekrutmen, pelatihan CPNS, hingga pengembangan kompetensi berkelanjutan. Pelayanan publik harus dipahami sebagai profesi yang membutuhkan empati, komunikasi efektif, dan kesabaran.
Kedua, lingkungan kerja harus diperbaiki. Ruang pelayanan yang nyaman, sistem antrean yang tertata, fasilitas lengkap, dan aplikasi yang stabil dapat mengurangi stres pegawai dan membantu mereka bersikap lebih ramah.
Ketiga, pimpinan harus memberi teladan. Jika pimpinan menunjukkan sikap ramah, sopan, dan melayani, pegawai akan meniru. Kepemimpinan yang humanis sangat penting untuk membentuk budaya pelayanan yang baik.
Keempat, sistem penghargaan dan sangsi harus diperkuat. Pegawai yang memberikan pelayanan prima harus diberikan apresiasi nyata, sementara perilaku tidak ramah perlu diberikan pembinaan atau konsekuensi agar tidak terulang.
Kelima, keterampilan soft skills seperti komunikasi, pengelolaan emosi, dan pemecahan masalah harus menjadi bagian dari pelatihan wajib ASN. Dengan soft skills yang kuat, pegawai lebih siap menghadapi berbagai karakter masyarakat tanpa kehilangan kesabaran.
Perubahan Persepsi: Masyarakat sebagai Mitra, Bukan Beban
Ini adalah poin kunci yang sering terlupakan. Pegawai harus melihat masyarakat bukan sebagai beban, tetapi sebagai mitra yang harus diperlakukan dengan hormat. Masyarakat adalah alasan keberadaan birokrasi. Tanpa masyarakat, tidak ada layanan publik yang harus diberikan.
Ketika ASN mulai melihat pemohon sebagai manusia yang membutuhkan bantuan, bukan sekadar pengguna layanan yang menyulitkan, maka empati akan muncul dengan sendirinya. Dengan demikian, perubahan budaya pelayanan dapat berjalan lebih mudah dan lebih tulus.
Pelayanan Publik yang Ramah Adalah Kewajiban, Bukan Pilihan
Pelayanan ASN yang tidak ramah bukan hanya masalah etika kerja, tetapi juga mencerminkan kualitas birokrasi secara keseluruhan. Untuk membangun kepercayaan publik, pegawai harus mampu memberikan pelayanan yang sopan, humanis, dan profesional. Masyarakat berhak mendapatkan perlakuan yang baik ketika mengurus keperluan mereka, dan ASN memiliki tanggung jawab moral serta profesional untuk memenuhinya.
Dengan membangun lingkungan kerja yang mendukung, meningkatkan kompetensi pegawai, memperkuat pengawasan, dan menanamkan mindset bahwa melayani adalah inti pekerjaan ASN, maka budaya pelayanan yang ramah dan bermartabat dapat terwujud.


