Nepotisme di lembaga pemerintah sudah lama menjadi topik pembicaraan yang tidak pernah benar-benar padam. Meskipun berbagai aturan, mekanisme pengawasan, dan kampanye transparansi sudah digelar, praktik memilih orang yang “punya hubungan dekat” masih terus terjadi. Nepotisme seperti bayangan lama yang selalu mengikuti setiap upaya reformasi birokrasi. Ia muncul dalam bentuk yang kadang halus, kadang terang-terangan, tetapi hasil akhirnya tetap sama: keputusan tidak lagi dibuat berdasarkan kompetensi melainkan kedekatan.
Permasalahan ini bukan hanya soal etika, tetapi juga soal efektivitas pemerintahan. Ketika posisi strategis diisi oleh orang yang tidak kompeten, maka kualitas pelayanan publik pasti menurun. Ketika pejabat lebih sibuk menjaga loyalitas keluarga atau kroni daripada meningkatkan kapasitas kerja, maka organisasi akan mandek. Dalam narasi panjang ini, kita akan membahas bagaimana nepotisme tumbuh, apa dampaknya, mengapa ia sulit diberantas, dan apa yang bisa dilakukan untuk menguranginya.
Mengapa Nepotisme Muncul di Lembaga Pemerintah?
Nepotisme bukan sekadar fenomena sosial tetapi juga refleksi dari budaya kerja dan karakter birokrasi itu sendiri. Banyak lembaga pemerintah dibangun dengan struktur yang hierarkis, formal, dan penuh batasan. Dalam situasi seperti itu, rasa aman menjadi kebutuhan penting. Pejabat yang ingin merasa aman dalam jabatannya sering kali mencari orang-orang yang ia percaya, biasanya orang terdekat. Di titik inilah pintu nepotisme terbuka.
Ada juga faktor budaya, dimana keberpihakan kepada keluarga dianggap sesuatu yang wajar. Di masyarakat yang masih sangat menjunjung hubungan kekerabatan, memprioritaskan keluarga tidak selalu dianggap salah. Namun ketika budaya ini dibawa ke ruang birokrasi yang harusnya objektif, profesional, dan berbasis merit, muncullah masalah besar.
Selain itu, nepotisme juga tumbuh karena pengawasan yang lemah. Banyak proses rekrutmen, mutasi, promosi, atau penempatan jabatan tidak dilakukan secara transparan. Di balik pintu tertutup, keputusan bisa berubah hanya karena ada satu telepon dari orang “berpengaruh”. Tanpa mekanisme audit yang kuat, tanpa keberanian untuk menolak tekanan, nepotisme akan terus menemukan jalannya.
Dampak Nepotisme terhadap ASN dan Lembaga Pemerintah
Banyak orang menganggap nepotisme hanya masalah moral, tetapi kenyataannya jauh lebih luas. Dampaknya merembet ke kualitas SDM, mutu pelayanan, dan bahkan motivasi pegawai lain. Ketika seseorang dipromosikan bukan karena kompetensinya, pegawai lain akan merasa usahanya sia-sia. Mereka menjadi apatis, tidak lagi bersemangat mengejar prestasi. Dalam jangka panjang, budaya organisasi ikut rusak.
Lebih parah lagi, lembaga pemerintah menjadi tidak efektif. Sebuah jabatan yang seharusnya diisi oleh tenaga ahli justru diberikan kepada orang yang tidak memenuhi kualifikasi. Akibatnya, keputusan yang diambil sering tidak tepat, program yang dijalankan setengah matang, bahkan anggaran menjadi tidak tepat sasaran.
Untuk publik, dampaknya terasa dalam bentuk layanan yang lambat, tidak profesional, dan tidak solutif. Ketika pejabat dipilih karena hubungan, publik secara tidak langsung ikut menanggung akibatnya. Ini menjadi lingkaran masalah yang terus berputar.
Nepotisme dan Keruntuhan Meritokrasi
Meritokrasi adalah konsep dimana seseorang mendapatkan posisi atau penghargaan berdasarkan prestasi, kemampuan, dan kinerja. Sistem ini sudah lama didorong dalam reformasi birokrasi ASN. Namun ketika nepotisme masih hidup, meritokrasi tidak akan pernah tumbuh. Kedua konsep ini saling bertentangan, seperti air dan minyak yang tidak mungkin bisa bercampur.
Pegawai yang punya kemampuan tinggi sering kalah oleh pegawai yang punya kedekatan dengan pimpinan. Mereka yang sebenarnya layak naik jabatan terpaksa tetap diam di posisi lama, sementara orang yang kurang kompeten melompat naik hanya karena hubungan darah atau kedekatan emosional. Akhirnya sistem menjadi tidak sehat. Progress yang seharusnya dicapai ASN dalam membangun lembaga profesional menjadi tersendat karena aturan tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam jangka panjang, ini membuat banyak ASN berbakat memilih keluar atau tidak lagi berusaha. Mereka belajar bahwa kerja keras tidak selalu dihargai. Hal ini berbahaya karena merusak motivasi kolektif dan mematikan semangat pembaruan dari dalam birokrasi itu sendiri.
Nepotisme yang Halus dan yang Terang-Terangan
Nepotisme di lembaga pemerintah tidak selalu tampak jelas. Dalam banyak kasus, ia muncul dengan cara-cara yang sangat halus. Misalnya ketika seorang pejabat memberi tugas-tugas ringan kepada kerabatnya agar terlihat berkinerja baik, sementara pegawai lain diberi beban berat. Atau ketika seorang kerabat diberikan kesempatan pelatihan bergengsi yang seharusnya diberikan kepada ASN yang benar-benar kompeten.
Nepotisme versi yang lebih terang-terangan tampak ketika proses rekrutmen atau promosi tiba-tiba berubah tanpa alasan jelas. Ada nama yang muncul di daftar calon pejabat tanpa pernah mengikuti seleksi. Ada testimoni dari pegawai yang mengaku sudah lolos tahap akhir, tetapi posisinya diberikan kepada orang lain yang ternyata punya hubungan dengan pejabat tertentu.
Meskipun wujudnya bermacam-macam, akar masalahnya tetap sama: ada pihak yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Konsekuensi Jangka Panjang Jika Nepotisme Dibiarkan
Jika nepotisme terus dibiarkan, bukan hanya kualitas ASN yang akan menurun tetapi juga kualitas lembaga pemerintah secara keseluruhan. Pada level makro, hal ini dapat menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat mulai merasa bahwa pemerintah tidak dikelola secara profesional. Ketika kepercayaan publik runtuh, maka legitimasi lembaga juga ikut melemah.
Selain itu, nepotisme berpotensi melahirkan korupsi. Ketika seseorang mendapatkan jabatan bukan karena prestasi, tetapi karena hubungan, ia sering merasa berhutang budi kepada pemberi jabatan. Hutang budi ini bisa berujung pada praktik balas jasa, baik dalam bentuk proyek, anggaran, maupun kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dari sinilah celah korupsi muncul dan menjadi lebih sulit diberantas.
Konsekuensi lainnya adalah rendahnya inovasi. Mereka yang menduduki posisi penting tetapi tidak kompeten biasanya tidak punya keberanian untuk mencoba hal baru. Mereka lebih suka mempertahankan status quo demi menjaga keamanan diri. Birokrasi pun menjadi stagnan dan tertinggal dibandingkan tuntutan zaman.
Peran Atasan dalam Menyuburkan atau Menghentikan Nepotisme
Atasan memiliki peran besar dalam menentukan apakah sebuah lembaga menjadi lahan subur bagi nepotisme atau justru menjadi contoh integritas. Banyak kasus nepotisme muncul karena atasan membiarkan hal tersebut terjadi. Ketika pejabat memberi ruang bagi praktik yang tidak sehat, pegawai lain akan dengan cepat memahami bahwa kedekatan lebih penting daripada kinerja.
Namun, jika pejabat berani menerapkan prinsip objektif, tegas menolak intervensi keluarga, dan menjaga proses seleksi tetap transparan, maka budaya kerja akan berubah. Pegawai menjadi lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerja terbaik karena merasa bahwa usaha mereka dihargai. Lembaga juga menjadi lebih hidup, profesional, dan fokus pada pelayanan masyarakat.
Sayangnya, tidak semua pejabat punya keberanian tersebut. Banyak yang menyerah pada tekanan politik atau tekanan sosial. Mereka merasa aman ketika orang terdekat ada di sekitar mereka. Padahal pemimpin yang baik harus mampu menjaga jarak antara urusan pribadi dan urusan organisasi.
Suara ASN yang Diam dan Tidak Berdaya
Banyak ASN sebenarnya menyadari bahwa nepotisme adalah masalah besar, tetapi tidak semua berani bersuara. Mereka takut dianggap melawan atasan. Beberapa bahkan khawatir karier mereka terganggu jika dianggap tidak sejalan dengan kepentingan orang-orang berpengaruh.
Akibatnya, banyak kasus nepotisme terjadi dalam diam. Pegawai hanya mengeluh di ruang-ruang pribadi, tapi tidak pernah sampai menjadi laporan resmi. Bahkan ketika ada laporan, mekanisme penanganannya tidak selalu berjalan mulus. Ada laporan yang dibekukan, ada yang tidak ditindaklanjuti, dan ada yang justru membuat pelapor berada dalam posisi sulit.
Fenomena diamnya pegawai ini turut memperkuat praktik nepotisme. Ketika tidak ada perlawanan, pelaku merasa bebas. Para pejabat yang tidak profesional merasa tidak ada risiko. Ini semakin menyulitkan upaya perubahan.
Reformasi Birokrasi dan Upaya Melawan Nepotisme
Pemerintah sebenarnya telah membuat berbagai aturan untuk melawan nepotisme. Seleksi terbuka, uji kompetensi, sistem merit, digitalisasi rekrutmen, semuanya dirancang untuk menutup celah perilaku nepotis. Namun aturan yang baik tidak akan berjalan jika tidak diiringi komitmen pelaksana di lapangan. Dalam banyak kasus, aturan yang kuat pun bisa dilumpuhkan oleh manipulasi atau intervensi dari orang-orang berpengaruh.
Transformasi digital sebenarnya punya potensi besar untuk mengurangi nepotisme. Ketika proses seleksi dilakukan dengan sistem yang tercatat, dapat diaudit, dan terbuka untuk publik, maka praktik kecurangan menjadi lebih sulit dilakukan. Namun digitalisasi pun tidak menjamin jika mentalitas para pelaku tidak berubah.
Upaya lain adalah memperkuat pengawasan internal dan eksternal. Lembaga seperti inspektorat harus diberi ruang lebih besar untuk melakukan audit proses rekrutmen dan mutasi. Komisi ASN juga harus diberi kewenangan lebih tegas untuk menindak kasus-kasus yang terbukti melanggar prinsip merit sistem.
Membangun Budaya Organisasi yang Profesional
Nepotisme tidak bisa diberantas hanya dengan regulasi. Ia harus ditangani melalui perubahan budaya organisasi. Setiap lembaga pemerintah harus menanamkan nilai objektivitas, transparansi, dan integritas. Pemimpin harus menjadi role model. Pegawai yang berprestasi harus diberi apresiasi. Lembaga harus mendorong kompetisi sehat bukan berdasarkan kedekatan tetapi berdasarkan kontribusi nyata.
Budaya profesional juga akan terbentuk jika lembaga memprioritaskan pengembangan SDM. Pelatihan berkualitas, mentoring oleh tenaga ahli, dan kesempatan pengembangan karier harus diberikan kepada mereka yang menunjukkan kemampuan, bukan kepada mereka yang sekadar dekat dengan pucuk pimpinan.
Ketika organisasi berjalan berdasarkan prestasi, pegawai akan merasa bangga menjadi bagian dari lembaga tersebut. Mereka tidak perlu mencari “orang dalam” karena tahu bahwa kerja keras akan membawa hasil.
Harapan untuk Birokrasi yang Lebih Bersih
Nepotisme adalah masalah yang nyata, menyakitkan, dan merusak. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi. Banyak lembaga pemerintah yang mulai berbenah dan berani mengambil langkah berani untuk menciptakan birokrasi yang profesional. Ada contoh-contoh baik dari daerah-daerah yang menerapkan seleksi terbuka secara transparan dan berani menolak tekanan.
Perubahan memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Selama ada kemauan, kepemimpinan yang kuat, dan dukungan masyarakat, nepotisme bisa dipersempit bahkan dihapuskan. ASN harus menjadi profesi yang dihargai karena integritas dan kompetensinya. Lembaga pemerintah harus menjadi tempat bekerja yang adil, profesional, dan terbuka.
Jika suatu hari nanti posisi diberikan kepada yang paling layak, bukan yang paling dekat, maka di situlah kita bisa mengatakan bahwa birokrasi Indonesia benar-benar sedang maju ke arah yang lebih baik.


