Pendahuluan

Pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan desa merupakan urat nadi pembangunan di Indonesia. Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, pemerintah mengalokasikan berbagai jenis dana publik dengan tujuan, mekanisme, dan tata kelola yang berbeda. Tiga instrumen pendanaan yang paling sering muncul dalam pembicaraan publik adalah BOS (Bantuan Operasional Sekolah), DAK (Dana Alokasi Khusus), dan Dana Desa. Masing-masing memiliki karakteristik unik: BOS fokus pada biaya operasional pendidikan dasar/menengah; DAK diarahkan pada pembiayaan kegiatan tertentu yang menjadi prioritas nasional atau daerah; sedangkan Dana Desa memberi otonomi fiskal langsung ke pemerintahan desa untuk pembangunan lokal dan pemberdayaan masyarakat.

Memahami perbedaan antara ketiganya penting bagi pejabat pemerintah daerah, operator pendidikan, aparat desa, hingga masyarakat yang menjadi penerima manfaat. Ketidaktahuan bisa menyebabkan salah sasaran penggunaan anggaran, pelaporan yang keliru, atau bahkan masalah hukum dan akuntabilitas. Artikel ini memaparkan secara komprehensif perbedaan tujuan, sumber dan alokasi, mekanisme penyaluran, tata kelola, kewajiban pelaporan, ruang lingkup penggunaan dana, serta tantangan implementasi pada tingkat lapangan. Selain menjelaskan karakter masing-masing instrumen, artikel juga menguraikan bagaimana ketiganya saling melengkapi dalam kerangka pembangunan daerah dan nasional.

Setiap bagian dirancang agar dapat dibaca sendiri-sendiri: bila Anda guru yang ingin tahu aturan penggunaan BOS, kepala desa yang ingin memahami ruang kebijakan Dana Desa, atau perencana daerah yang mesti menggabungkan DAK ke dalam RKPD – bagian-bagian berikut memberi penjelasan praktis dan contoh aplikasi operasional. Tujuannya: membekali pembaca dengan pengetahuan yang cukup untuk merencanakan, menggunakan, memantau, dan mempertanggungjawabkan dana publik sesuai peraturan dan praktik tata kelola yang baik.

Apa itu BOS (Bantuan Operasional Sekolah)

BOS adalah mekanisme pembiayaan langsung yang dirancang untuk menutupi kebutuhan operasional sekolah agar layanan pendidikan dasar dan menengah dapat berlangsung tanpa beban biaya berlebih pada siswa. Konsep BOS muncul untuk mengurangi beban orang tua dan memastikan akses serta mutu pendidikan dasar-sekolah negeri dan seringkali sekolah swasta penerima-dapat beroperasi secara layak. Ciri utama BOS adalah sifatnya yang rutin, diarahkan ke unit penyelenggara layanan (sekolah), dan penekanan penggunaannya pada biaya non-personalia yang mendukung kegiatan belajar-mengajar.

Secara operasional, BOS biasanya menutup kebutuhan seperti pembelian materi ajar, alat tulis, pemeliharaan fasilitas sekolah, biaya kebersihan, kegiatan ekstrakurikuler, dan kebutuhan administrasi sekolah sehari-hari. BOS biasanya tidak dimaksudkan untuk membayar gaji guru PNS yang telah dibayar pemerintah pusat/daerah; namun dalam praktik terdapat beberapa pos yang memang bisa digunakan untuk mendukung tunjangan atau insentif non-formal tergantung peraturan setempat. Alokasi BOS sering dihitung berdasarkan jumlah siswa (per siswa per tahun), sehingga dana mengikuti jumlah peserta didik-mekanisme ini membantu meratakan alokasi ke sekolah dengan jumlah murid lebih besar.

Karakter BOS lain yang penting: ada syarat akuntabilitas dan pelaporan yang relatif standar-sekolah harus menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), menyimpan bukti pengeluaran, dan melaporkan realisasi secara periodik kepada dinas pendidikan. Publikasi penggunaan dana dan transparansi menjadi aspek penting untuk mencegah penyalahgunaan. Selain itu, BOS memberikan fleksibilitas kepada sekolah untuk menyesuaikan pengeluaran dengan kebutuhan lokal asalkan sesuai ketentuan nasional (misalnya larangan untuk membeli barang mewah atau penggunaan untuk kegiatan yang bukan bagian layanan pendidikan).

Kelebihan BOS termasuk peningkatan akses karena menurunkan biaya pendidikan keluarga serta memberikan otonomi operasional bagi sekolah. Kendalanya bisa muncul bila alokasi per siswa tidak adil antara daerah kaya dan miskin, atau bila kapasitas manajerial sekolah lemah-sehingga akuntabilitas dan penggunaan efektif menjadi tantangan. Oleh karena itu, keberhasilan BOS bergantung juga pada pendampingan manajerial, pelaporan yang ketat, dan pengawasan dari dinas pendidikan serta masyarakat.

Tujuan dan Ruang Penggunaan BOS

Tujuan utama BOS adalah meningkatkan aksesibilitas dan mutu pendidikan dengan menghilangkan penghalang biaya bagi siswa serta menyediakan sumber daya operasional bagi sekolah. Dengan demikian, BOS fokus pada operasional teknis penyelenggaraan proses belajar-mengajar: penyediaan bahan ajar, pengadaan alat peraga sederhana, pemeliharaan kelas, dan kegiatan pendukung yang langsung berdampak pada pembelajaran. BOS sering dirancang untuk mendorong kesetaraan-sekolah di daerah terpencil tetap mendapat alokasi berdasarkan jumlah siswa sehingga distribusi manfaat menjadi lebih merata.

Ruang penggunaan BOS biasanya diatur dalam peraturan teknis yang menjabarkan pos-pos yang diperbolehkan dan yang dilarang. Pos yang diizinkan umumnya mencakup kebutuhan pembelajaran, biaya administrasi sekolah, honorarium tenaga non-PNS yang terkait pembelajaran (dengan batasan), pengembangan profesi guru (dalam bentuk biaya pelatihan kecil), serta kegiatan yang memperkuat lingkungan belajar seperti kebersihan dan kesehatan sekolah. Sementara itu, penggunaan BOS dilarang untuk hal-hal seperti pembelian tanah, pembangunan gedung besar yang bersifat investasi jangka panjang (kecuali ada aturan berbeda), atau kegiatan yang terkait politik praktis.

Salah satu prinsip penting adalah fleksibilitas terarah: sekolah diberi ruang menyesuaikan pengeluaran terhadap kondisi lokal namun tetap harus berpegang pada aturan umum. Untuk itu mekanisme RKAS (Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah) menjadi instrumen tata kelola; RKAS ditetapkan oleh sekolah dengan partisipasi komite sekolah dan dilaporkan kepada dinas pendidikan. Transparansi RKAS membantu orang tua dan masyarakat mengetahui alur penggunaan dana.

Evaluasi penggunaan BOS juga biasanya melibatkan indikator kinerja: angka kehadiran siswa, rasio siswa terhadap fasilitas, pencapaian hasil belajar dasar, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah. Jika disertai pengawasan yang baik, BOS dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan dengan cepat. Tantangan muncul ketika akuntabilitas lemah-misalnya bukti pengeluaran tidak lengkap, atau interpretasi bebas atas pos yang diperbolehkan-maka risiko penyalahgunaan meningkat. Untuk itu pelatihan manajemen keuangan bagi kepala sekolah dan komite merupakan bagian penting untuk optimalisasi penggunaan BOS.

Apa itu DAK (Dana Alokasi Khusus)

DAK adalah instrumen fiskal transfer dari pusat ke daerah yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan tertentu yang menjadi prioritas nasional atau untuk menutup kesenjangan pelayanan dasar antar daerah. DAK berbeda dari dana umum (DAU) karena sifatnya berspesifikasi: dana ini ditujukan untuk sektor dan kegiatan yang terukur-misalnya pembangunan/rehabilitasi infrastruktur pendidikan atau kesehatan, penyediaan air minum dan sanitasi, peningkatan kapasitas layanan prioritas, atau pendanaan program dengan persyaratan teknis khusus. Intinya, DAK dipakai untuk fungsi-fungsi yang membutuhkan ketentuan teknis dan standardisasi nasional.

Secara mekanisme, DAK biasanya ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui perencanaan tahunan nasional yang mengidentifikasi prioritas sektor dan daerah sasaran berdasarkan indikator kebutuhan. Alokasi per daerah dapat mempertimbangkan variabel seperti jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, kesenjangan infrastruktur, dan kemampuan fiskal daerah. Karena DAK bersifat spesifik, pelaksanaan biasanya memerlukan rencana teknis, standar mutu, dan pelaporan khusus agar dana digunakan sesuai tujuan. Contoh kegiatan DAK antara lain pembangunan ruang kelas baru dengan spesifikasi tertentu, penyediaan alat kesehatan di puskesmas, atau proyek konektivitas jalan yang memenuhi standar nasional.

Karakter penting DAK adalah keterikatan pada tujuan tertentu dan pengawasan teknis oleh kementerian/lembaga terkait. Biasanya ada pedoman teknis yang harus dipenuhi: spesifikasi barang/jasa, ketentuan lelang, dan kriteria kelayakan penerima. Selain itu, DAK sering disertai mekanisme pemantauan yang lebih ketat, karena salah sasaran atau kualitas rendah akan menghambat pencapaian target nasional. Ini juga mengharuskan daerah menyediakan co-financing atau komitmen pemeliharaan pasca pembangunan sebagai syarat penyaluran atau penerimaan DAK.

Kelebihan DAK termasuk kemampuan memusatkan sumber daya untuk isu prioritas nasional dan menyamakan standar layanan antar daerah. Namun tantangan DAK meliputi birokrasi yang rumit, kebutuhan kapasitas teknis di daerah untuk memenuhi persyaratan, serta risiko penundaan penyaluran apabila dokumen pengajuan atau mekanisme lelang tidak siap. Oleh karena itu, perencanaan teknis yang matang dan koordinasi antara pusat-daerah diperlukan untuk memastikan DAK efektif.

Jenis DAK dan Mekanisme Penyaluran

DAK umumnya terbagi menjadi beberapa kategori sesuai tujuan dan bentuk dukungannya. Dua kategori utama yang sering digunakan adalah DAK Fisik (berbasis proyek/infrastruktur) dan DAK Non-Fisik (berbasis alokasi untuk kegiatan khusus seperti program peningkatan kapasitas, subsidi, atau pemberian bantuan tertentu). DAK Fisik biasanya mencakup proyek konstruksi dan pengadaan barang-misalnya rehabilitasi gedung sekolah, fasilitas air bersih, atau peralatan kesehatan-yang memerlukan spesifikasi teknis dan mekanisme pengadaan terstruktur. DAK Non-Fisik bisa berupa dukungan program, pelatihan, atau biaya operasional kegiatan prioritas.

Penyaluran DAK melibatkan beberapa tahap: perencanaan, penetapan alokasi (surat keputusan/keputusan teknis dari pusat), penandatanganan perjanjian/komitmen antar-instansi, sampai realisasi oleh daerah. Sebagai syarat penyaluran, daerah biasanya harus menyusun proposal teknis, pagu anggaran, dan rencana kerja yang sesuai pedoman kementerian/lembaga yang membiayai. Setelah penyaluran, pelaporan anggaran dan kinerja menjadi bagian wajib: laporan kemajuan fisik, keuangan, serta audit keuangan sehingga transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga.

Dalam beberapa kasus DAK juga menggunakan mekanisme tender terpadu melalui portal pengadaan nasional dan harus mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah yang berlaku. Karena itu, kapasitas pengelolaan proyek di tingkat daerah-termasuk perencanaan, pengadaan, manajemen kontrak, dan supervisi teknis-menjadi faktor penentu keberhasilan DAK. Bila daerah kekurangan kapasitas, bimbingan teknis dari kementerian/lembaga atau konsultan teknis kerap diperlukan.

Sebagai tambahan, DAK seringkali dilengkapi persyaratan pemeliharaan fasilitas yang dibangun: daerah harus menganggarkan biaya pemeliharaan dalam APBD atau menunjukkan komitmen perawatan. Tanpa komitmen ini, fasilitas yang dibangun lewat DAK rentan cepat rusak dan tidak berkelanjutan. Pengawasan oleh kementerian juga meliputi uji mutu pekerjaan dan inspeksi di lapangan guna menjamin bahwa hasil pembangunan memenuhi standar teknis yang telah ditetapkan.

Apa itu Dana Desa

Dana Desa adalah alokasi dana dari pemerintah pusat yang diberikan langsung kepada pemerintah desa (bukan kecamatan atau kabupaten) untuk membiayai pembangunan infrastruktur desa, pemberdayaan ekonomi masyarakat desa, dan kegiatan peningkatan kualitas hidup warga desa. Tujuan utamanya adalah mempercepat pembangunan di tingkat desa, mengurangi ketimpangan antarwilayah, serta memperkuat kapasitas desa untuk mengelola sumber daya lokal dan memajukan kesejahteraan masyarakat melalui pendekatan partisipatif.

Ciri khas Dana Desa adalah penyaluran langsung ke rekening desa dengan mekanisme penganggaran desa yang dikelola oleh pemerintahan desa (kepala desa bersama perangkat dan Badan Permusyawaratan Desa/BPD). Dana ini memberikan ruang bagi desa untuk merumuskan prioritas pembangunan sesuai kebutuhan lokal melalui Musyawarah Desa (Musdes) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) serta Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Dengan demikian, proses perencanaan bersifat partisipatif: warga dan berbagai kelompok masyarakat dilibatkan dalam menentukan prioritas program dan proyek.

Ruang penggunaan Dana Desa cukup luas namun tetap diatur oleh regulasi. Umumnya Dana Desa boleh dipakai untuk pembangunan fisik skala desa (jalan desa, irigasi kecil, sanitasi), pemberdayaan ekonomi (pelatihan, bantuan modal bergulir), peningkatan kapasitas governance desa (pelatihan aparatur desa), hingga program sosial yang mendukung perlindungan sosial tingkat lokal. Ada pula ketentuan alokasi porsi tertentu-misalnya persentase untuk pemberdayaan masyarakat atau kegiatan penanggulangan bencana-yang diatur dalam pedoman teknis.

Kelebihan Dana Desa adalah pendekatan bottom-up dan pemberian mandat pengelolaan kepada aparat desa sehingga proyek lebih relevan secara lokal. Namun kelemahannya muncul bila kapasitas perencanaan dan pengelolaan keuangan desa rendah-risiko penyalahgunaan, proyek tidak sesuai standar teknis, atau proyek yang tidak berkelanjutan akibat kurangnya pemeliharaan. Oleh karena itu pembinaan, asistensi teknis, dan pengawasan oleh pemerintah kabupaten/kota serta pemangku kepentingan penting untuk memastikan dana digunakan efektif dan akuntabel.

Perbedaan Utama Antara BOS, DAK, dan Dana Desa

Meski ketiganya adalah instrumen transfer fiskal dari pemerintah pusat ke lapisan bawah pemerintahan, perbedaan mendasar terletak pada tujuan, tingkat penerima langsung, fleksibilitas penggunaan, dan mekanisme pengendalian.

  • Pertama, tujuan: BOS secara spesifik mendukung operasional penyelenggaraan pendidikan; DAK bertujuan menyelesaikan prioritas sektoral yang memerlukan standar teknis nasional; Dana Desa fokus pada pembangunan dan pemberdayaan tingkat desa berbasis partisipasi masyarakat.
  • Kedua, tingkat penerima: BOS disalurkan ke sekolah (unit layanan), DAK disalurkan ke pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) untuk pelaksanaan proyek sektoral, sedangkan Dana Desa langsung ke pemerintah desa.
  • Ketiga, fleksibilitas penggunaan: BOS relatif fleksibel dalam lingkup operasional sekolah tetapi tetap dibatasi pos yang diperbolehkan; DAK lebih ketat karena bersifat spesifik dan sering memerlukan pemenuhan standar teknis; Dana Desa memberi fleksibilitas lokal yang besar karena sumbernya memang untuk menanggapi kebutuhan desa yang heterogen.
  • Keempat, mekanisme perencanaan: BOS biasanya mengikuti alokasi per siswa dan RKAS; DAK terkait pedoman teknis pusat dan sering membutuhkan proposal serta rencana teknis; Dana Desa menekankan perencanaan desa partisipatif (Musdes, RPJMDes, RKPDes).
  • Keempat, tata kelola dan pengawasan berbeda: BOS diawasi oleh dinas pendidikan dan komite sekolah serta publik; DAK diawasi lebih ketat oleh kementerian teknis terkait, inspektorat, dan auditor; Dana Desa diawasi oleh pemerintah kabupaten, inspektorat, serta masyarakat desa lewat Musyawarah dan BPD.

Akhirnya, dampak ekonomi dan sosial juga berbeda skala: BOS terfokus pada output pendidikan (kualitas belajar), DAK berpotensi mengubah infrastruktur dan kapasitas layanan sektoral, sedangkan Dana Desa menargetkan perubahan langsung pada kesejahteraan lokal dan pemberdayaan masyarakat. Memahami perbedaan ini membantu perencanaan terpadu agar ketiga instrumen saling melengkapi, bukan saling tumpang tindih.

Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pengawasan

Setiap instrumen memerlukan sistem tata kelola dan akuntabilitas yang sesuai karakternya. Untuk BOS, tata kelola berpusat pada sekolah sebagai unit pelaksana: penyusunan RKAS, partisipasi komite sekolah, pelaporan ke dinas pendidikan, dan audit. Transparansi publik seperti papan pengumuman penggunaan BOS dan laporan yang dapat diakses orang tua menjadi praktik baik untuk mencegah korupsi. Penguatan kapasitas kepala sekolah dan bendahara sekolah pada pengelolaan keuangan adalah elemen penting.

Untuk DAK, tata kelola melibatkan rantai komando yang lebih panjang: kementerian pusat menetapkan pedoman teknis, pemerintah daerah menyiapkan rencana dan mengelola lelang serta pelaksanaan proyek, sementara kementerian teknis melakukan supervisi. Akuntabilitas DAK menuntut dokumentasi teknis, kontrak yang jelas, pemeriksaan mutu fisik, dan audit keuangan. Kerangka pengawasan sering melibatkan audit eksternal atau pemeriksaan oleh lembaga pengawas untuk memastikan penggunaan sesuai spesifikasi.

Dana Desa menekankan tata kelola partisipatif: perencanaan lewat Musyawarah Desa, penganggaran publik, laporan realisasi yang dibacakan dalam forum desa, serta peran BPD sebagai representasi masyarakat dalam pengawasan. Selain itu, pemerintah kabupaten menyediakan pembinaan teknis dan pengawasan administratif. Mekanisme keterbukaan informasi (mis. papan informasi desa) serta pelaporan online ke sistem nasional membantu meningkatkan transparansi. Namun tingkat kerentanan terhadap penyalahgunaan di desa juga tinggi jika kapasitas administrasi lemah; itulah sebabnya pendampingan, audit internal, dan peran masyarakat sipil sangat penting.

Penguatan akuntabilitas untuk ketiga instrumen dapat meliputi: kapasitas pengelola keuangan, standar pelaporan terpadu, sistem monitoring berbasis IT, audit independen, serta mekanisme sanksi dan perbaikan. Peran masyarakat sebagai pengawas (social accountability) -misalnya melalui pengumuman publik, forum warga, dan akses data-adalah faktor penentu keberhasilan pengelolaan dana.

Tantangan dan Isu Implementasi di Lapangan

Di lapangan, sejumlah tantangan praktis sering muncul dan mempengaruhi efektivitas BOS, DAK, dan Dana Desa.

  • Pertama, kapasitas manajerial di tingkat penerima seringkali menjadi bottleneck: kepala sekolah atau aparatur desa tidak selalu memiliki keterampilan administrasi, perencanaan, pengadaan, dan pelaporan keuangan yang memadai. Hal ini menimbulkan risiko salah alokasi, keterlambatan realisasi, atau pelaporan tidak lengkap.
  • Kedua, koordinasi antar-instansi sering lemah: misalnya DAK sektor tertentu membutuhkan kerja sama lintas OPD namun koordinasi teknis di daerah tidak berjalan baik sehingga proyek tertunda.
  • Ketiga, ketidaksesuaian data bisa mempengaruhi alokasi-sekolah yang sebenarnya butuh mungkin tidak mendapatkan BOS adekuat jika data jumlah murid tidak terbarui; desa yang data kependudukannya tidak rapi mungkin kesulitan mengakses bantuan tambahan.
  • Keempat, pengawasan dan penegakan regulasi tidak selalu konsisten. Audit yang terlambat atau tidak efektif memunculkan celah penyalahgunaan.
  • Kelima, tantangan teknis seperti keterbatasan infrastruktur (akses internet untuk pelaporan elektronik), atau masalah pengadaan lokal (keterbatasan pasar, harga tinggi) menghambat realisasi kegiatan fisik.
  • Keenam, politisasi alokasi anggaran dapat menimbulkan tekanan politik lokal untuk memprioritaskan kegiatan yang populis tapi kurang bernilai ekonomi jangka panjang.
  • Terakhir, isu keberlanjutan menjadi penting: proyek infrastruktur yang dibangun lewat DAK atau Dana Desa memerlukan anggaran pemeliharaan; tanpa komitmen pendanaan pemeliharaan di APBD atau RKPDes, fasilitas rentan rusak.

Untuk BOS, isu sustainability berkaitan dengan ketergantungan sekolah pada dana pusat dan kemampuan menutup kebutuhan non-BOS di masa pandemi atau krisis fiskal.

Rekomendasi Praktis untuk Peningkatan Efektivitas

Untuk meningkatkan efektivitas ketiga instrumen, beberapa rekomendasi praktis dapat diterapkan.

  • Pertama, penguatan kapasitas: program pelatihan manajemen keuangan, perencanaan teknis, dan pengadaan harus rutin dilakukan untuk kepala sekolah, bendahara, aparatur desa, serta pejabat teknis di daerah.
  • Kedua, standarisasi dan simplifikasi prosedur: pedoman teknis yang jelas dan checklist administratif membantu percepatan proses penyaluran dan mengurangi kesalahan.
  • Ketiga, integrasi data dan digitalisasi: sistem informasi terintegrasi antara pusat, provinsi, kabupaten, dan unit pelaksana (sekolah/desa) memudahkan penyaluran alokasi berbasis data mutakhir.
  • Keempat, penguatan partisipasi masyarakat: transparansi penggunaan dana melalui papan informasi, portal pelaporan, dan forum musyawarah membuat pengawasan sosial menjadi efektif. Kelima, mekanisme pengawasan yang kuat: audit berkala, pemantauan independen, serta pemberian sanksi dan tindak lanjut bila ditemukan penyimpangan.
  • Keenam, perencanaan berbasis hasil: implementasikan pengukuran outcome sehingga alokasi dana diarahkan ke program yang terbukti menghasilkan manfaat.
  • Ketujuh, garansi keberlanjutan: syarat pemeliharaan untuk proyek DAK dan pemberian insentif bagi badan usaha lokal agar ikut merawat fasilitas membantu menjaga investasi.
  • Terakhir, kolaborasi antar-level pemerintahan: forum teknis reguler antara kementerian, provinsi, dan kabupaten memperbaiki sinkronisasi dan penyesuaian kebijakan.

Kesimpulan

BOS, DAK, dan Dana Desa adalah tiga instrumen penting dalam arsitektur fiskal Indonesia yang masing-masing melayani tujuan berbeda namun saling melengkapi: BOS pada kebutuhan operasional pendidikan, DAK pada prioritas sektoral dan infrastruktur dengan standar teknis, serta Dana Desa pada pembangunan dan pemberdayaan tingkat lokal serta otonomi desa. Perbedaan terletak pada tujuan, mekanisme penyaluran, tingkat penerima, fleksibilitas penggunaan, serta tata kelola dan pengawasan.

Agar ketiga instrumen ini efektif, dibutuhkan kapasitas perencanaan dan pengelolaan di tingkat penerima, integrasi data yang kuat, transparansi, partisipasi masyarakat, serta pengawasan yang konsisten. Tantangan nyata seperti kapasitas lemah, koordinasi antar-instansi, dan keberlanjutan proyek harus ditangani melalui kebijakan teknis dan upaya kapasitasi. Dengan langkah-langkah perbaikan praktis seperti penguatan SDM, digitalisasi, dan mekanisme akuntabilitas, BOS, DAK, dan Dana Desa dapat berfungsi optimal untuk mendorong pemerataan layanan dasar, membangun infrastruktur yang layak, dan memperkuat pembangunan berbasis komunitas.