Pendahuluan
Dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia, upaya meningkatkan kualitas layanan publik harus berjalan seiring dengan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan. Di sinilah peran dua entitas utama, yaitu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), menjadi sangat penting. Keduanya merupakan bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah, namun memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal orientasi layanan, fleksibilitas manajerial, dan kerangka regulasi.
SKPD berperan sebagai pelaksana program pembangunan daerah yang dananya bersumber murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di sisi lain, BLUD hadir sebagai bentuk inovasi tata kelola, memungkinkan unit layanan seperti rumah sakit, puskesmas, atau balai pelatihan untuk mengelola keuangan secara lebih fleksibel layaknya entitas bisnis-tanpa mengabaikan prinsip-prinsip nirlaba dan pelayanan publik.
Artikel ini akan membedah perbedaan mendasar antara pengelolaan keuangan BLUD dan SKPD, mulai dari dasar hukum, perencanaan anggaran, fleksibilitas keuangan, akuntansi, hingga pertanggungjawaban dan pengawasan. Pemahaman yang komprehensif akan menjadi kunci bagi pemerintah daerah dalam mendorong transformasi layanan publik berbasis efisiensi, kinerja, dan akuntabilitas.
I. Definisi dan Dasar Hukum
1.1 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
SKPD adalah perangkat organisasi daerah yang memiliki fungsi administratif dan teknis dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, berdasarkan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Setiap SKPD bertanggung jawab mengelola anggaran sesuai bidang tugasnya, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan sebagainya. Dalam konteks keuangan, SKPD tunduk sepenuhnya pada ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta diatur teknisnya melalui Permendagri No. 77 Tahun 2020.
Sebagai bagian dari sistem birokrasi, SKPD tidak memiliki keleluasaan dalam mengelola pendapatan sendiri, dan seluruh pemasukan atau pengeluaran harus terintegrasi ke dalam kas daerah. Hal ini menjadikan SKPD lebih berperan sebagai pelaksana program dibandingkan pengelola keuangan yang mandiri.
1.2 Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
BLUD adalah unit pelaksana teknis di lingkungan pemerintah daerah yang diberi fleksibilitas untuk menerapkan praktik pengelolaan keuangan yang menyerupai badan usaha. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Dasar hukum utamanya adalah PP No. 23 Tahun 2005 (diubah dengan PP No. 74 Tahun 2012) tentang Pengelolaan Keuangan BLU, yang kemudian diadaptasi untuk tingkat daerah melalui Permendagri No. 79 Tahun 2018 tentang BLUD.
Keberadaan BLUD memungkinkan pengelolaan keuangan yang tidak kaku, termasuk dalam menetapkan tarif layanan, menerima pembayaran langsung dari pengguna layanan, hingga penggunaan surplus untuk reinvestasi layanan. Ini menjadikan BLUD sebagai model transisi dari pola birokratis menuju pengelolaan berbasis kinerja dan hasil.
II. Mekanisme Penyusunan Anggaran
2.1 Anggaran SKPD
Penyusunan anggaran SKPD mengikuti siklus perencanaan pembangunan daerah yang ketat, dimulai dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dilanjutkan dengan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), lalu menjadi Rencana Kerja Anggaran SKPD (RKA-SKPD), sebelum ditetapkan dalam APBD. Mekanisme ini menjamin kontrol anggaran yang kuat, tetapi sering kali tidak responsif terhadap dinamika kebutuhan di lapangan.
Anggaran SKPD bersifat linier dan hanya dapat digunakan sesuai klasifikasi yang sudah ditentukan: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan seterusnya. Perubahan anggaran pun harus melalui proses revisi APBD yang memakan waktu dan energi administratif. Kelemahan ini sering menjadi hambatan dalam penyediaan layanan yang memerlukan respons cepat.
2.2 Anggaran BLUD
BLUD memiliki fleksibilitas dalam menyusun anggaran berdasarkan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) atau RK-BLUD, yang disusun berdasarkan proyeksi pendapatan layanan, kebutuhan operasional, serta dukungan subsidi dari APBD. Anggaran ini dapat langsung digunakan setelah ditetapkan tanpa harus menunggu perubahan APBD, selama berada dalam pagu dan sesuai dengan prinsip tata kelola yang sehat.
Salah satu keunggulan BLUD adalah kemampuan melakukan subsidi silang dan penyesuaian tarif layanan. Misalnya, tarif pelayanan dasar dapat disubsidi oleh pendapatan dari layanan premium atau dari pendapatan non-operasional lainnya. Ini memberi ruang bagi BLUD untuk menyusun strategi keberlanjutan tanpa sepenuhnya bergantung pada dana APBD.
III. Fleksibilitas dan Otonomi Keuangan
3.1 SKPD
SKPD tidak memiliki otonomi fiskal. Setiap belanja, meskipun bersifat operasional kecil, harus mengikuti prosedur yang ketat dan bersumber dari kas daerah. Ini mengakibatkan rendahnya fleksibilitas dalam menjalankan program secara dinamis. Misalnya, jika ada kebutuhan mendesak untuk pengadaan alat atau logistik pelayanan, maka SKPD harus menunggu persetujuan dan proses revisi anggaran yang memakan waktu.
Selain itu, SKPD tidak memiliki keleluasaan untuk mengelola pendapatan dari layanannya sendiri. Semua penerimaan daerah yang berasal dari SKPD-seperti retribusi dan hasil penjualan jasa-harus disetor penuh ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
3.2 BLUD
Sebaliknya, BLUD diberikan keleluasaan dalam menggunakan langsung pendapatan yang diperoleh dari layanan publik. Ini mencakup pembiayaan operasional, pengembangan kapasitas, hingga investasi fasilitas. Pendapatan yang diterima BLUD tidak perlu disetor ke kas daerah, namun tetap harus dilaporkan dan diaudit secara transparan.
Kelebihan lainnya, BLUD dapat melakukan kerja sama langsung dengan pihak ketiga, melakukan inovasi layanan, dan membuka ruang kemitraan dengan dunia usaha atau lembaga donor. Fleksibilitas ini menjadikan BLUD lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakat dan perubahan lingkungan operasional.
IV. Sistem Akuntansi dan Pelaporan
4.1 SKPD
SKPD menggunakan sistem akuntansi pemerintahan yang terintegrasi dalam SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) yang dikembangkan oleh Kemendagri. Pelaporan dilakukan berdasarkan Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual (SAK-PSAP).
Laporan keuangan SKPD mencakup Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Operasional (LO), serta Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Seluruh laporan ini disusun oleh Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) secara konsolidatif dan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
4.2 BLUD
BLUD wajib menyusun laporan keuangan secara mandiri dan terpisah dari pemerintah daerah, meskipun tetap harus mengonsolidasikan sebagian laporan untuk kepentingan APBD. BLUD menggunakan kombinasi PSAK (untuk laporan usaha) dan SAP (untuk konsolidasi keuangan daerah).
Jenis laporan keuangan BLUD meliputi:
- Laporan Realisasi Anggaran (LRA) BLUD
- Laporan Arus Kas (LAK)
- Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LCR)
- Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)
Penting dicatat bahwa BLUD harus menunjuk pejabat keuangan dan akuntansi secara internal dan memiliki sistem informasi akuntansi yang memungkinkan monitoring keuangan real-time, sesuai prinsip tata kelola yang transparan dan akuntabel.
V. Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Pertanggungjawaban dan pengawasan merupakan aspek krusial dalam tata kelola keuangan publik, baik pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Keduanya memiliki kerangka akuntabilitas yang berbeda, menyesuaikan karakteristik kelembagaan dan fleksibilitas operasionalnya.
5.1 SKPD: Laporan Keuangan yang Ketat dan Terstruktur
Sebagai bagian integral dari struktur pemerintahan daerah, SKPD diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan secara berkala, sesuai dengan sistem akuntansi pemerintah yang telah ditetapkan. Laporan ini kemudian menjadi bahan evaluasi bagi Inspektorat Daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Inspektorat berperan sebagai pengawas internal yang memeriksa kepatuhan terhadap regulasi dan efektivitas penggunaan anggaran, sementara BPK bertindak sebagai lembaga independen yang mengaudit laporan keuangan secara komprehensif.
SKPD yang terbukti tidak melaksanakan prosedur keuangan secara benar dapat dikenai sanksi administrasi, mulai dari teguran tertulis hingga penundaan pencairan anggaran di periode berikutnya. Dalam beberapa kasus yang berat, pelanggaran dapat ditindaklanjuti melalui mekanisme hukum, terutama jika ditemukan indikasi kerugian negara.
Sistem ini mendorong SKPD untuk menjalankan perencanaan dan pengeluaran anggaran secara hati-hati, serta mendokumentasikan seluruh transaksi dengan tertib. Akuntabilitas publik dituntut tinggi, seiring meningkatnya tuntutan transparansi dari masyarakat dan pemangku kepentingan.
5.2 BLUD: Akuntabilitas Ganda dan Fokus pada Kinerja Layanan
BLUD, meskipun memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran, tetap tunduk pada prinsip akuntabilitas publik. Pertanggungjawaban BLUD dilakukan melalui dua jalur utama: pertama, penyampaian laporan keuangan dalam kerangka APBD, dan kedua, pelaporan kinerja dan keuangan kepada DPRD dan BPK.
Dalam audit oleh BPK, fokus tidak hanya tertuju pada kepatuhan prosedural, tetapi juga pada aspek kinerja layanan-seperti efisiensi, efektivitas, dan capaian pelayanan terhadap masyarakat. Misalnya, rumah sakit BLUD akan dinilai dari aspek penggunaan dana untuk pelayanan kesehatan, keterjangkauan tarif, serta kepuasan pasien.
Sistem pelaporan BLUD memungkinkan pembanding antara biaya operasional dan outcome layanan, yang kemudian dijadikan dasar untuk evaluasi kinerja manajemen. Pendekatan ini memberi tekanan pada profesionalisme tata kelola dan mendorong unit layanan publik untuk bertindak lebih kompetitif, efisien, serta berorientasi pada hasil.
VI. Kinerja dan Evaluasi
Evaluasi kinerja menjadi instrumen vital untuk menilai keberhasilan pengelolaan anggaran dan dampaknya terhadap pelayanan publik. Baik SKPD maupun BLUD menggunakan indikator berbeda sesuai dengan karakter dan orientasi kelembagaan masing-masing.
6.1 Indikator Kinerja SKPD: Ukuran Output dan Outcome Program Daerah
Kinerja SKPD dinilai berdasarkan indikator output dan outcome yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) SKPD. Output mengacu pada produk langsung dari kegiatan, seperti jumlah pelatihan yang dilaksanakan, jumlah infrastruktur yang dibangun, atau jumlah layanan yang diberikan. Sementara outcome mencerminkan dampak dari output tersebut terhadap masyarakat, misalnya peningkatan indeks kepuasan publik atau berkurangnya angka pengangguran.
Selain itu, SKPD juga dievaluasi melalui indikator layanan publik, yang mencakup kecepatan layanan, transparansi proses, serta tingkat kepuasan pengguna. Penilaian ini penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah anggaran yang digunakan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
SKPD yang berhasil menunjukkan capaian tinggi biasanya mendapatkan insentif dalam bentuk alokasi anggaran yang lebih besar pada tahun berikutnya atau penghargaan kinerja dari pemerintah daerah.
6.2 Indikator Kinerja BLUD: Efisiensi dan Kepuasan Pengguna
Berbeda dari SKPD, BLUD cenderung menggunakan pendekatan berbasis biaya dan efisiensi layanan. Salah satu indikator utama adalah unit cost per layanan, yaitu biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk setiap jenis layanan yang diberikan. Misalnya, puskesmas BLUD akan menghitung rata-rata biaya per pasien yang berobat, atau rata-rata biaya operasional per layanan rawat jalan.
Indikator lain adalah cost recovery rate, yang menunjukkan persentase biaya operasional yang berhasil ditutup melalui pendapatan BLUD sendiri. Ini menjadi ukuran efisiensi sekaligus kemandirian finansial, terutama bagi BLUD yang dituntut untuk tidak bergantung sepenuhnya pada dana APBD.
Selain aspek finansial, indikator kepuasan pengguna menjadi parameter penting. Survei kepuasan pelanggan atau pasien dilakukan secara berkala untuk mengukur respons publik terhadap kualitas layanan. Evaluasi ini membantu manajemen BLUD dalam menyusun strategi peningkatan mutu layanan secara berkelanjutan.
VII. Tantangan Pengelolaan
Meskipun masing-masing entitas telah diberi kerangka operasional yang jelas, praktik di lapangan menunjukkan bahwa SKPD dan BLUD masih menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program.
7.1 SKPD: Birokrasi Kaku dan Sistem Pengadaan yang Kompleks
Salah satu tantangan utama SKPD adalah proses birokrasi yang panjang dan kurang responsif terhadap dinamika kebutuhan di lapangan. Pengambilan keputusan, mulai dari perencanaan hingga realisasi anggaran, harus melalui banyak tahapan dan persetujuan, yang sering kali menyebabkan keterlambatan pelaksanaan program.
Masalah lain adalah kompleksitas dalam proses pengadaan barang dan jasa. SKPD harus mengikuti aturan pengadaan yang ketat, mulai dari penyusunan dokumen, evaluasi penawaran, hingga penandatanganan kontrak. Meskipun tujuannya adalah untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, prosedur ini bisa menjadi penghambat bila tidak disertai kapasitas SDM yang memadai.
Keterbatasan akses terhadap teknologi dan minimnya pelatihan teknis juga memperburuk situasi, membuat banyak SKPD kesulitan mengimplementasikan sistem pengadaan elektronik (e-procurement) secara optimal.
7.2 BLUD: Kapasitas Manajerial dan Penetapan Tarif yang Adil
BLUD, meski lebih fleksibel, justru menghadapi tantangan dalam hal kapasitas sumber daya manusia, terutama di bidang akuntansi, keuangan, dan manajemen. Banyak BLUD masih kekurangan tenaga profesional yang memahami prinsip-prinsip keuangan berbasis accrual dan sistem pelaporan keuangan yang terintegrasi.
Di sisi lain, penetapan tarif layanan yang wajar sering kali menjadi dilema. BLUD harus menyeimbangkan antara kebutuhan menutup biaya operasional dengan prinsip keadilan sosial. Jika tarif terlalu rendah, pendapatan tidak cukup untuk mendukung layanan berkualitas; jika terlalu tinggi, masyarakat bisa merasa terbebani.
Tarif juga sering menjadi isu politik, terutama dalam layanan strategis seperti kesehatan atau pendidikan. Pemerintah daerah terkadang menekan BLUD untuk tidak menaikkan tarif, meskipun biaya operasional meningkat, sehingga berpengaruh pada keberlangsungan dan mutu layanan.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas SDM, dan dukungan regulasi yang adaptif sangat diperlukan agar baik SKPD maupun BLUD dapat menjalankan fungsi pelayanan publik secara optimal.
VIII. Studi Kasus: Perbandingan BLUD RSUD dan SKPD Kesehatan
8.1 RSUD sebagai BLUD
Ketika sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), pendekatan manajerial yang diterapkan menjadi jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) biasa. Salah satu bentuk fleksibilitas yang paling signifikan adalah dalam pengelolaan pendapatan yang berasal dari layanan kepada pasien, baik itu layanan rawat inap, rawat jalan, laboratorium, maupun tindakan spesialis.
BLUD dapat menggunakan pendapatan operasionalnya secara langsung tanpa harus melalui mekanisme panjang seperti revisi DPA atau persetujuan ulang dari DPRD. Hal ini memungkinkan rumah sakit untuk secara cepat merespons kebutuhan mendesak, seperti kekurangan obat, kebutuhan pembelian alat medis baru, atau pelatihan darurat bagi tenaga kesehatan. Misalnya, jika terjadi lonjakan kasus DBD di suatu wilayah, RSUD BLUD dapat segera melakukan pengadaan cairan infus dan antibodi tanpa harus menunggu penganggaran formal.
Lebih jauh, surplus pendapatan yang diperoleh-misalnya dari klaim BPJS, asuransi swasta, dan pembayaran langsung pasien-dapat direinvestasikan ke dalam peningkatan layanan, seperti modernisasi ruang IGD, renovasi bangsal, atau peningkatan kapasitas sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS). BLUD juga memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran khusus guna pelatihan tenaga medis, magang dokter spesialis, hingga studi banding antar-RSUD.
Kemampuan untuk melakukan manajemen SDM dan keuangan yang lebih mandiri menjadikan BLUD sebagai model ideal untuk layanan publik yang berorientasi pada kualitas pelayanan, efisiensi waktu, dan inovasi berkelanjutan.
8.2 Dinas Kesehatan (SKPD)
Berbeda dari BLUD, Dinas Kesehatan sebagai SKPD memiliki keterikatan anggaran yang sangat ketat. Semua kegiatan dan pengeluaran harus sesuai dengan rencana kerja anggaran tahunan yang telah disetujui oleh DPRD. Setiap revisi anggaran, bahkan yang kecil sekalipun, memerlukan proses administratif yang panjang dan sering kali memperlambat respons terhadap situasi mendesak.
SKPD kesehatan umumnya mengelola program-program publik yang bersifat non-komersial, seperti penyuluhan gizi, program imunisasi nasional, pemberantasan penyakit menular, penanggulangan stunting, dan program kesehatan ibu dan anak. Karena sifatnya yang berbasis pelayanan publik murni dan bukan pelayanan jasa, pendapatan yang dihasilkan relatif kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kendala besar yang dihadapi oleh SKPD adalah tidak diperbolehkannya reinvestasi langsung dari pendapatan operasional. Jika dinas memperoleh dana dari pelatihan atau kerjasama, misalnya, dana tersebut harus disetor ke kas daerah terlebih dahulu dan baru bisa digunakan setelah proses penganggaran ulang di tahun berikutnya. Hal ini menghambat inisiatif lokal untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan secara cepat dan mandiri.
Di sisi lain, SKPD tetap memegang peranan penting dalam sistem kesehatan daerah karena berfungsi sebagai regulator dan koordinator antar-fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit BLUD, Puskesmas, dan klinik swasta. Tanpa SKPD, arah pembangunan kesehatan daerah bisa menjadi tidak terintegrasi dan sulit dikendalikan.
Rekomendasi Kebijakan
1. Peningkatan Kapasitas SDM BLUD dan SKPD melalui Pelatihan Keuangan
Baik BLUD maupun SKPD menghadapi kompleksitas dalam pengelolaan anggaran. Untuk itu, diperlukan pelatihan rutin bagi SDM pengelola anggaran, khususnya dalam aspek penyusunan rencana bisnis dan anggaran (RBA), penghitungan biaya satuan layanan, manajemen arus kas, serta akuntabilitas pelaporan keuangan publik. Pemahaman yang baik terhadap regulasi dan fleksibilitas keuangan akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan program dan penggunaan dana.
2. Penyederhanaan Regulasi Pengadaan di SKPD
SKPD sangat membutuhkan dukungan regulasi yang lebih adaptif, terutama dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk kegiatan yang bersifat darurat atau berskala kecil. Mekanisme pengadaan yang panjang dan kaku membuat program pelayanan masyarakat rentan tertunda. Revisi terhadap Perpres PBJ atau Permendagri terkait dapat membuka ruang akselerasi belanja operasional, khususnya untuk kebutuhan prioritas seperti vaksinasi, edukasi, atau tanggap bencana.
3. Dukungan Sistem IT Terintegrasi untuk BLUD
Untuk mempermudah perencanaan dan pelaporan keuangan, BLUD perlu didukung dengan sistem IT yang terintegrasi dengan SIMDA Keuangan, e-Planning, dan e-Budgeting daerah. Sistem ini harus mampu mendukung fungsi akuntansi akrual, manajemen aset, hingga pelaporan kinerja berbasis output dan outcome. Dengan sistem digital yang andal, transparansi dan akuntabilitas keuangan BLUD dapat ditingkatkan, sekaligus mempercepat proses pengambilan keputusan.
4. Keterlibatan DPRD dalam Pengawasan Kinerja BLUD
Meskipun BLUD memiliki fleksibilitas, pengawasan politik tetap penting untuk menjamin bahwa penggunaan dana publik tetap sesuai dengan tujuan pelayanan. DPRD dapat dilibatkan dalam monitoring dan evaluasi secara periodik, termasuk dalam pembahasan laporan kinerja BLUD, audit keuangan, dan efektivitas layanan. Perlu ada mekanisme pelibatan non-intervensif agar pengawasan berjalan seimbang tanpa menghambat otonomi manajerial BLUD.
Kesimpulan
Perbedaan antara BLUD dan SKPD dalam pengelolaan keuangan bukan sekadar perbedaan administratif, tetapi mencerminkan dua pendekatan dalam manajemen pelayanan publik. BLUD, dengan fleksibilitas anggaran dan manajemen berbasis kinerja, sangat cocok untuk layanan yang bersifat komersial dan memerlukan respons cepat serta inovasi layanan. Sementara SKPD lebih tepat untuk program yang bersifat non-komersial, regulatif, dan preventif.
Kunci optimalisasi sistem kesehatan daerah bukanlah memilih salah satu model, tetapi bagaimana menyinergikan keduanya. BLUD dapat menjadi pelaksana teknis layanan yang efisien dan responsif, sementara SKPD menjadi pengarah kebijakan, pengendali mutu, dan penghubung antar-aktor. Dengan penguatan kapasitas, penyempurnaan regulasi, dan pemanfaatan teknologi, pemerintah daerah dapat menciptakan sistem kesehatan yang efektif, berkelanjutan, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat.