Pendahuluan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan pilar utama sistem pemerintahan daerah di Indonesia. DPRD hadir dalam dua tingkatan-kabupaten/kota dan provinsi-untuk menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan atas pemerintahan eksekutif di wilayahnya. Meskipun keduanya berbagi tugas pokok yang sama, terdapat sejumlah perbedaan mendasar antara anggota DPRD kota (atau kabupaten) dengan anggota DPRD provinsi. Perbedaan tersebut menyangkut aspek yuridis, kewenangan, lingkup tugas, mekanisme kerja, hingga hubungan dengan pemerintah eksekutif setempat. Memahami seluk‑beluk perbedaan ini penting bagi masyarakat agar dapat lebih tepat menyalurkan aspirasi dan memahami cara kerja wakil rakyat di tingkat yang sesuai.
1. Landasan Hukum dan Kewenangan Formal
1.1 Dasar Hukum Pembentukan
Anggota DPRD, baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi, diangkat dan diberi mandat berdasarkan ketentuan konstitusional yang dituangkan dalam Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini secara tegas menetapkan keberadaan DPRD sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki kedudukan sejajar dengan kepala daerah, bukan berada di bawahnya, sehingga memberikan legitimasi kuat bagi lembaga legislatif daerah dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam praktik implementasinya, ketentuan tersebut diperkuat dan diperjelas lebih lanjut melalui sejumlah peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, yang mengatur teknis pelaksanaan tugas dan hak-hak anggota DPRD.
Untuk mengatur aspek administratif dan hubungan kerja antar lembaga daerah, Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 turut diberlakukan, yang memberikan kerangka kerja yang rapi antara eksekutif dan legislatif. Sementara itu, untuk DPRD provinsi, eksistensi dan ruang lingkup kerjanya juga merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP Nomor 18 Tahun 2016 mengenai perangkat daerah, yang memperjelas fungsi koordinasi lintas wilayah administratif. Penekanan utamanya adalah pada bagaimana DPRD provinsi berperan dalam harmonisasi kebijakan antar kabupaten/kota, yang merupakan karakteristik pembeda mendasar dengan DPRD tingkat kota atau kabupaten yang lebih lokal cakupannya.
Selain itu, terdapat aturan sektoral lain seperti PP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan dan Permendagri 33 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran, yang menjabarkan ruang lingkup keputusan DPRD di level teknis. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun fungsi DPRD pada semua tingkat serupa secara umum, terdapat distingsi yurisdiksi yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam kerangka hubungan pemerintahan berjenjang.
1.2 Kewenangan Legislasi
Fungsi utama DPRD, baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi, adalah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan program-program pembangunan daerah. Dalam konteks ini, DPRD kota lebih berperan menyusun regulasi yang berkaitan erat dengan kebutuhan administratif dan sosial masyarakat di tingkat mikro. Contohnya, Perda yang dihasilkan bisa mencakup retribusi pasar tradisional, penataan pedagang kaki lima, pengelolaan sampah rumah tangga, atau pengaturan zonasi perumahan di wilayah kelurahan.
Sebaliknya, DPRD provinsi memiliki ruang lingkup yang lebih strategis dan luas, karena wilayah yurisdiksinya mencakup banyak kabupaten/kota. Oleh karena itu, peraturan yang mereka susun berorientasi pada sinkronisasi antarwilayah dan kebijakan makro daerah, seperti pengelolaan transportasi publik antarkota, alokasi sumber daya alam lintas batas, atau perumusan Perda terkait pendidikan menengah dan vokasi yang dikelola oleh provinsi. Dalam hal ini, DPRD provinsi bertindak layaknya “navigator koordinatif” untuk menyatukan berbagai kepentingan daerah di bawah satu kebijakan terintegrasi.
Tantangan yang dihadapi dalam penyusunan legislasi juga berbeda. DPRD kota/kabupaten lebih sering bersentuhan langsung dengan aspirasi warga secara individu, sementara DPRD provinsi harus mempertimbangkan berbagai kelompok kepentingan antar daerah dan dampak lintas sektor. Oleh karena itu, proses harmonisasi, uji publik, dan pembahasan lintas komisi jauh lebih kompleks di tingkat provinsi, menuntut koordinasi intensif antar pemangku kepentingan.
2. Pemilihan dan Perwakilan
2.1 Daerah Pemilihan dan Kuota Kursi
Proses pemilihan anggota DPRD diatur dalam kerangka pemilu legislatif yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak. Namun, struktur daerah pemilihan (dapil) dan jumlah kursi yang diperebutkan sangat berbeda antara DPRD kota/kabupaten dan DPRD provinsi. Pada DPRD kota/kabupaten, pembentukan dapil lebih terkonsentrasi dan biasanya mencerminkan pembagian wilayah kecamatan, sehingga cakupan wilayah kampanye dan pelayanan konstituen menjadi lebih terfokus dan personal. Kursi yang tersedia pun ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah, dengan rata-rata satu dapil memiliki 6 hingga 12 kursi.
Sementara itu, DPRD provinsi memiliki dapil yang mencakup wilayah lebih luas, karena satu dapil bisa terdiri dari gabungan dua atau lebih kabupaten/kota. Dengan luas geografis yang lebih besar dan jumlah penduduk yang lebih heterogen, calon legislatif di tingkat provinsi harus mampu menjangkau basis pemilih yang lebih beragam, menguasai isu-isu makro lintas daerah, serta memiliki strategi kampanye yang menyasar komunitas urban, semi-urban, hingga pedesaan secara simultan. Inilah sebabnya mengapa partai politik seringkali menempatkan kader-kader seniornya di dapil provinsi, dengan pertimbangan kapasitas politik dan kemampuan komunikasi lintas kultur sosial yang lebih luas.
2.2 Representasi Politik dan Pengaruh Partai
Dinamika perwakilan politik di DPRD provinsi dan kota juga menunjukkan perbedaan dalam hal pengaruh struktur partai dan orientasi kepentingan politik. Di tingkat kota/kabupaten, perebutan kursi DPRD lebih banyak dipengaruhi oleh figura lokal yang memiliki koneksi langsung dengan komunitas akar rumput, seperti mantan kepala desa, pengusaha kecil, atau tokoh agama. Mereka memiliki kedekatan emosional dan historis dengan pemilih, yang memungkinkan terbentuknya loyalitas elektoral berbasis kekerabatan atau kedekatan kultural.
Sebaliknya, di DPRD provinsi, partai politik lebih dominan dalam menentukan calon, karena pertimbangan skala dan isu yang lebih kompleks membutuhkan figur yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki pengalaman organisasi dan ketokohan regional. Konsekuensinya, konsolidasi fraksi dan kedisiplinan fraksi partai jauh lebih ketat di tingkat provinsi, karena keputusan legislatif sering menyangkut kebijakan lintas kabupaten yang berdampak luas terhadap arah pembangunan provinsi secara keseluruhan.
3. Fungsi Anggaran dan Belanja Daerah
3.1 Penyusunan APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah instrumen utama pembangunan daerah, dan DPRD memiliki peran vital dalam proses pembahasannya. Di tingkat kota/kabupaten, penyusunan APBD lebih terfokus pada pembiayaan program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat sehari-hari, seperti pengadaan kendaraan sampah, perbaikan jalan lingkungan, penyediaan beasiswa pendidikan dasar, serta subsidi tarif transportasi umum dalam kota. DPRD kota/kabupaten bekerja dengan pendekatan berbasis bottom-up, di mana hasil musrenbang dari tingkat RT hingga kecamatan menjadi masukan utama dalam menyusun prioritas belanja.
Di sisi lain, DPRD provinsi menangani belanja yang berskala regional, seperti pembangunan infrastruktur jalan provinsi, pembangunan pelabuhan atau bandara regional, serta pembiayaan program lintas kabupaten seperti sekolah menengah kejuruan (SMK), penyuluhan pertanian terpadu, dan pemberdayaan ekonomi wilayah perbatasan. Karena sifatnya yang makro, anggaran provinsi seringkali harus disinergikan dengan program nasional dan dana transfer pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ini menjadikan proses penganggaran di DPRD provinsi sangat strategis dan penuh negosiasi, tidak hanya antar fraksi, tetapi juga antar daerah di bawah satu provinsi.
4. Lingkup Pengawasan dan Program Kerja
4.1 Pengawasan Program Daerah
Pengawasan merupakan salah satu pilar utama dalam tugas DPRD, baik di tingkat kota maupun provinsi. Namun, cakupan dan metode pengawasan yang dijalankan oleh DPRD kota dan provinsi memiliki karakteristik berbeda, yang mencerminkan perbedaan wilayah kerja, urgensi isu, dan tingkat dampak kebijakan.
Di tingkat kota atau kabupaten, pengawasan DPRD umumnya lebih bersifat langsung dan responsif terhadap persoalan konkret di lapangan. Inspeksi mendadak (sidak) ke proyek-proyek infrastruktur kecil seperti pembangunan jalan lingkungan, drainase, atau perbaikan gedung sekolah dasar sering dilakukan untuk memastikan kesesuaian pelaksanaan proyek dengan rencana anggaran dan waktu pengerjaan. Selain itu, pengawasan juga menyasar pelayanan publik seperti puskesmas, kelurahan, pasar tradisional, atau unit layanan terpadu yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat sehari-hari.
Sementara itu, pengawasan oleh DPRD provinsi bersifat strategis dan mencakup wilayah antar kabupaten/kota. Bentuk pengawasan mencakup evaluasi program Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU), peninjauan terhadap pelaksanaan proyek pembangunan skala besar seperti jalan provinsi, pelabuhan, dan sarana pendidikan menengah, serta audit atas BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) provinsi. DPRD provinsi juga melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan penanggulangan bencana regional, pemanfaatan sumber daya alam, hingga koordinasi sektor kesehatan yang memerlukan penanganan lintas daerah.
Dalam pelaksanaannya, DPRD provinsi kerap bekerja sama dengan BPKP dan Inspektorat Provinsi untuk menguatkan fungsi pengawasan berbasis kinerja dan transparansi anggaran. Laporan hasil pengawasan biasanya disampaikan secara periodik kepada kepala daerah dan menjadi salah satu dasar dalam pembahasan LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) kepala daerah di akhir tahun anggaran.
4.2 Rencana Kerja Komisi
Struktur internal DPRD terbagi ke dalam komisi-komisi yang mengorganisasi pekerjaan legislatif dan pengawasan sesuai bidang. Di DPRD kota, pembagian komisi cenderung mengikuti isu-isu lokal yang lebih terperinci, seperti Komisi A yang menangani pemerintahan dan hukum, Komisi B untuk bidang ekonomi dan keuangan, Komisi C untuk kesejahteraan rakyat, serta Komisi D untuk infrastruktur dan lingkungan.
Komisi-komisi ini menyusun program kerja triwulanan atau semesteran yang disesuaikan dengan agenda musrenbang, hasil reses anggota, dan isu-isu aktual daerah. Contohnya, Komisi B DPRD kota dapat fokus pada pengawasan distribusi bantuan UMKM, sementara Komisi D mungkin memprioritaskan pemantauan proyek drainase perkotaan yang mengalami keterlambatan pengerjaan.
Sementara itu, komisi di DPRD provinsi memiliki peran dan cakupan kerja yang lebih luas secara geografis dan kebijakan, dengan nomenklatur serupa namun pendekatan yang berbeda. Komisi-komisi di DPRD provinsi merumuskan rencana kerja tahunan yang menargetkan kebijakan strategis antarwilayah, seperti pengelolaan kawasan industri provinsi, pembangunan jalan penghubung antar kabupaten, atau reformasi kurikulum vokasi di tingkat pendidikan menengah.
Rencana kerja komisi di tingkat provinsi lebih sering melibatkan koordinasi lintas OPD provinsi, dialog multi-pihak dengan kabupaten/kota, serta kunjungan lapangan lintas wilayah, yang menuntut jadwal kerja lebih padat, mobilitas tinggi, dan strategi koordinasi yang lebih terstruktur.
5. Tantangan Khusus dan Dinamika Lokal
5.1 Skala dan Kompleksitas Isu
Salah satu pembeda krusial antara DPRD kota dan DPRD provinsi terletak pada keragaman dan tingkat kompleksitas permasalahan yang ditangani. Anggota DPRD kota lebih banyak bergelut dengan isu-isu mikro dan langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Contohnya, persoalan keterlambatan distribusi sembako, pencemaran saluran air akibat sampah rumah tangga, ketidakteraturan pedagang kaki lima, dan keluhan soal kebijakan parkir sering kali menjadi agenda rapat komisi atau materi reses di DPRD kota.
Sebaliknya, anggota DPRD provinsi dihadapkan pada isu-isu besar yang bersifat lintas sektoral dan wilayah, seperti integrasi kebijakan antarkabupaten, peningkatan daya saing daerah, reformasi pendidikan vokasi berbasis industri, atau pengelolaan sumber daya alam seperti tambang dan hutan. Kompleksitas isu-isu ini menuntut anggota DPRD provinsi memiliki kapasitas analitis, pengalaman legislatif, dan keterampilan koordinasi yang lebih tinggi dibandingkan koleganya di tingkat kota. Mereka juga perlu memahami prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, penguatan kelembagaan, serta tata kelola keuangan daerah yang transparan dan efisien.
5.2 Mobilitas dan Aksesibilitas
Tantangan berikutnya adalah soal mobilitas kerja dan kedekatan anggota DPRD dengan konstituen. Anggota DPRD kota umumnya lebih mudah menjangkau masyarakat, baik secara geografis maupun secara sosial. Dengan cakupan wilayah yang relatif kecil dan terintegrasi, anggota DPRD kota dapat melakukan kunjungan lapangan dalam waktu singkat, menghadiri pertemuan warga RT/RW secara langsung, bahkan menyambangi dapur umum atau komunitas warga yang terdampak bencana dalam hitungan jam.
Namun, anggota DPRD provinsi sering kali harus menghadapi hambatan geografis yang nyata, terutama jika dapil mereka mencakup wilayah terpencil seperti daerah pegunungan, pulau-pulau kecil, atau kawasan perbatasan. Mobilitas kerja menjadi lebih mahal dan memerlukan logistik tambahan-mulai dari kendaraan operasional, penginapan, hingga pengamanan dalam beberapa kasus tertentu. Hal ini membuat kegiatan reses atau peninjauan lapangan di tingkat provinsi memerlukan perencanaan anggaran dan waktu yang jauh lebih kompleks, sekaligus memperbesar kemungkinan ketimpangan partisipasi masyarakat dari wilayah yang sulit dijangkau.
6. Peluang Sinergi dan Kolaborasi Antar Tingkat DPRD
6.1 Forum Koordinasi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota
Dalam beberapa provinsi, telah dibentuk Forum DPRD Bersama sebagai ruang komunikasi dan kolaborasi antar DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Forum ini menjadi medium penting untuk menyatukan persepsi terhadap kebijakan makro seperti penyusunan tata ruang, penanganan bencana regional, alokasi dana transfer antarwilayah, hingga kebijakan strategis tentang perdagangan antar daerah.
Melalui forum ini, anggota DPRD dari berbagai tingkat dapat membandingkan praktik terbaik (best practices), menyusun rekomendasi kolektif, dan memastikan bahwa Perda yang ditetapkan di tingkat provinsi tidak bertabrakan dengan kebutuhan atau otonomi daerah kabupaten/kota. Selain itu, forum ini dapat mengatasi konflik lintas wilayah-misalnya konflik penggunaan lahan yang melibatkan dua daerah berbeda-dengan pendekatan deliberatif yang inklusif.
6.2 Pemberdayaan Komisi Gabungan
Komisi gabungan antara DPRD provinsi dan kota/kabupaten menjadi salah satu bentuk inovatif dalam menciptakan sinergi lintas tingkatan legislatif, terutama saat menangani isu-isu yang memiliki irisan kewenangan dan kepentingan lintas wilayah. Misalnya, untuk pengembangan kawasan wisata terpadu di perbatasan dua kabupaten, DPRD provinsi dapat menggandeng komisi terkait dari kedua kabupaten untuk membentuk komisi gabungan ad hoc.
Komisi gabungan ini bekerja dengan prinsip koordinatif, konsultatif, dan deliberatif, memfasilitasi diskusi antarlembaga, merumuskan draft kebijakan bersama, dan menjembatani komunikasi dengan pihak eksekutif serta investor atau mitra pembangunan lainnya. Efektivitas komisi gabungan sangat tergantung pada kapasitas negosiasi, kejelasan kewenangan, dan komitmen politik anggota legislatif yang terlibat.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, terlihat bahwa meskipun anggota DPRD kota dan provinsi menjalankan tiga fungsi utama yang serupa-legislasi, anggaran, dan pengawasan-perbedaan mendasar terletak pada cakupan kewenangan, skala isu, mekanisme koordinasi, serta tantangan yang dihadapi. DPRD kota lebih berkutat pada persoalan mikro dengan akses langsung kepada masyarakat, sementara DPRD provinsi berkutat pada isu-isu strategis regional yang membutuhkan koordinasi antarwilayah dan lintas sektor.
Memahami perbedaan ini penting tidak hanya bagi kalangan legislatif, tetapi juga bagi masyarakat sipil, akademisi, dan media massa, agar partisipasi publik dapat diarahkan kepada lembaga yang tepat. Dengan memperkuat sinergi antara DPRD kota dan provinsi-melalui forum koordinasi, komisi gabungan, dan digitalisasi informasi publik-maka sistem perwakilan daerah akan berjalan lebih efektif dan responsif. Ke depan, DPRD sebagai pilar demokrasi lokal perlu didorong untuk lebih inklusif, terbuka, dan berorientasi pada solusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat daerah secara luas.