Puskesmas sebagai garda terdepan layanan kesehatan primer memiliki peran strategis dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional, yaitu peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara merata dan berkeadilan. Namun dalam praktiknya, berbagai kendala anggaran, keterbatasan operasional, dan tuntutan meningkatnya peran promotif-preventif serta kuratif membuat Puskesmas kerap harus beroperasi di bawah tekanan kebutuhan yang jauh melampaui kapasitas tradisional. Kehadiran pola Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memberikan alternatif kelembagaan yang memungkinkan Puskesmas mengelola pendapatan sendiri, menetapkan tarif layanan tertentu, serta mereinvestasikan surplus ke dalam peningkatan kualitas sarana dan prasarana, tanpa harus terbelit oleh prosedur anggaran APBD yang konvensional dan kaku. Artikel ini akan menjelaskan secara panjang dan mendalam berbagai aspek transformasi Puskesmas menjadi BLUD-mulai dari landasan hukum dan kerangka regulasi, mekanisme otonomi fiskal, prinsip pengelolaan keuangan, hingga tantangan implementasi di lapangan-serta bagaimana BLUD Puskesmas dapat menyeimbangkan antara mutu pelayanan optimal dan efisiensi operasional demi tercapainya visi kesehatan berkelanjutan.

1. Latar Belakang dan Landasan Hukum

Sejak Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai entitas hukum yang lebih fleksibel dalam pengelolaan keuangan, namun tetap bertanggung jawab kepada publik. Untuk sektor kesehatan, peralihan status Puskesmas ke BLUD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2015 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD, serta Permendagri Nomor 33 Tahun 2021 yang merevisi beberapa ketentuan teknis. Landasan ini memberi Puskesmas keleluasaan memungut tarif atas jasa kesehatan non-APBD, mengelola dana capitasi JKN/BPJS, serta mengoptimalkan pendapatan lain-misalnya penjualan obat generik atau paket kesehatan preventif-tanpa menunggu persetujuan belanja modal melalui mekanisme APBD. Di sisi lain, Puskesmas BLUD tetap harus menyusun APBLUD, melaporkan realisasi anggaran berbasis akrual, dan tunduk pada audit internal Inspektorat serta audit eksternal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan landasan hukum yang kokoh, transformasi kelembagaan ini diharapkan memacu Puskesmas untuk meningkatkan kualitas layanan, mempercepat pengadaan peralatan, dan merespon kebutuhan masyarakat dengan lebih cepat.

2. Prinsip Otonomi Fiskal dan Keleluasaan Manajerial

Salah satu fondasi utama yang membedakan Puskesmas BLUD dari unit pelayanan kesehatan konvensional adalah adanya prinsip otonomi fiskal, yang memungkinkan pengelolaan keuangan dilakukan secara lebih independen, dinamis, dan responsif terhadap kebutuhan lapangan. Dalam konteks BLUD, otonomi fiskal bukan sekadar kebebasan membelanjakan uang, melainkan kemampuan institusi untuk merancang sendiri strategi pendapatan dan pengeluarannya secara bertanggung jawab, tanpa terjerat prosedur birokratis APBD yang seringkali memakan waktu lama.

Dengan prinsip ini, Puskesmas BLUD memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif layanan yang didasarkan pada prinsip full costing dan cost recovery, yaitu memperhitungkan seluruh komponen biaya langsung (seperti obat-obatan, tenaga medis, alat medis habis pakai) dan biaya tidak langsung (seperti pemeliharaan alat, utilitas, serta penyusutan aset tetap) dalam penetapan harga layanan. Meskipun penetapan tarif ini tetap membutuhkan legalitas dari Pemerintah Daerah melalui Peraturan Kepala Daerah atau Perda, namun ruang gerak BLUD dalam mendesain tarif yang adil dan realistis menjadi lebih besar.

Yang menarik adalah bahwa surplus atau sisa hasil dari pendapatan BLUD tidak perlu dikembalikan ke kas umum daerah (KUD), melainkan dapat dikelola kembali oleh Puskesmas dalam bentuk investasi layanan, peningkatan kapasitas SDM, perbaikan fasilitas, atau penyediaan layanan inovatif berbasis kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini memberi fleksibilitas yang sangat berharga dalam menjawab dinamika dan urgensi kesehatan masyarakat yang bisa berubah cepat, seperti saat pandemi, bencana, atau lonjakan kasus penyakit tertentu.

Keleluasaan manajerial ini juga memungkinkan Kepala Puskesmas bertindak sebagai manajer unit bisnis sosial yang dapat menentukan arah operasional harian: seperti membuka layanan sore hari untuk pasien pekerja, mengadakan layanan keliling ke desa terpencil (mobile clinic), atau membangun klinik mini untuk edukasi gizi dan kesehatan ibu-anak. Inisiatif-inisiatif semacam ini sulit dilakukan dalam pola APBD murni karena ketiadaan anggaran fleksibel.

Namun, kebebasan ini tetap disertai tanggung jawab pengelolaan yang tinggi, termasuk penyusunan perencanaan bisnis tahunan, laporan keuangan berbasis akrual, serta pertanggungjawaban kinerja yang dinilai oleh stakeholder seperti DPRD, BPKAD, dan masyarakat umum. Di sinilah pentingnya tata kelola berbasis prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efektivitas, agar kepercayaan publik terhadap BLUD tetap terjaga.

3. Mekanisme Pengelolaan Keuangan BLUD Puskesmas

3.1. Penyusunan APBLUD

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum Daerah (APBLUD) menjadi proses kunci dalam mengarahkan jalannya operasional dan strategi keuangan Puskesmas dalam satu tahun anggaran. APBLUD disusun dengan pendekatan bottom-up, yakni dimulai dari estimasi kebutuhan layanan dan operasional di tingkat unit, lalu diselaraskan dengan proyeksi pendapatan dan sumber daya yang tersedia.

Pendapatan dalam APBLUD mencakup berbagai komponen, antara lain:

  • Dana kapitasi JKN dari BPJS Kesehatan.
  • Pembayaran pasien non-BPJS untuk layanan tambahan (mandiri).
  • Hibah dari pemerintah pusat, CSR perusahaan swasta, atau bantuan dari donor.
  • Penjualan jasa laboratorium atau pemeriksaan medis tambahan.

Sementara itu, sisi belanja dirinci untuk mendukung kelangsungan operasional, seperti:

  • Honorarium pegawai kontrak tambahan atau tenaga outsourcing.
  • Kebutuhan medis harian: obat-obatan, alat kesehatan habis pakai, bahan habis laboratorium.
  • Pemeliharaan dan penggantian alat kesehatan serta sarana fisik gedung.
  • Investasi untuk digitalisasi sistem dan infrastruktur teknologi informasi.

Penyusunan APBLUD harus mempertimbangkan proyeksi realistis, kesinambungan kas, dan keberlanjutan layanan, serta dituangkan dalam dokumen RBA (Rencana Bisnis Anggaran) yang dilampiri perhitungan tarif, prediksi beban kerja, dan output layanan. Setelah difinalisasi, dokumen ini disahkan oleh Kepala Daerah dan menjadi dasar pelaksanaan belanja sepanjang tahun berjalan.

3.2. Akuntansi Berbasis Akrual

Salah satu perubahan signifikan dalam pengelolaan keuangan BLUD adalah implementasi akuntansi berbasis akrual. Di sini, pengakuan pendapatan, beban, aset, dan kewajiban tidak lagi menunggu terjadinya transaksi kas, melainkan didasarkan pada waktu hak dan kewajiban itu terjadi. Misalnya, ketika Puskesmas memberikan layanan rawat jalan kepada pasien JKN, piutang kepada BPJS langsung dicatat, meskipun pembayaran dilakukan belakangan.

Dengan basis akrual, laporan keuangan yang disusun menjadi lebih komprehensif karena mencerminkan:

  • Neraca keuangan (Balance Sheet) yang menggambarkan posisi keuangan Puskesmas secara riil: aset lancar, aset tetap, utang jangka pendek/panjang, serta ekuitas.
  • Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang menunjukkan efektivitas belanja terhadap anggaran yang direncanakan.
  • Laporan Arus Kas yang menjelaskan sumber dan penggunaan kas dalam aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
  • Catatan atas laporan keuangan (CALK) yang memberikan penjelasan naratif dan kebijakan akuntansi yang digunakan.

Implementasi akrual tidak hanya membutuhkan sistem pencatatan keuangan yang canggih, tetapi juga SDM yang paham prinsip akuntansi publik. Oleh sebab itu, pelatihan akuntansi SAP berbasis akrual dan penguatan unit keuangan menjadi kebutuhan mendesak.

3.3. Audit dan Pelaporan

Agar pengelolaan keuangan BLUD tetap berada dalam koridor integritas, seluruh laporan keuangan harus dilakukan audit secara berkala. Audit internal dilakukan oleh Inspektorat Daerah atau Satuan Pengawas Internal (SPI) yang dibentuk khusus di lingkungan Dinas Kesehatan. Sementara audit eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap akhir tahun anggaran.

Proses audit ini bertujuan untuk:

  • Menilai kepatuhan terhadap regulasi dan standar akuntansi.
  • Mengidentifikasi kelemahan sistem pengendalian internal.
  • Menyampaikan rekomendasi perbaikan kelembagaan dan prosedural.

Selain itu, Puskesmas BLUD juga berkewajiban untuk memublikasikan laporan keuangannya ke publik secara terbuka-baik melalui website pemerintah daerah atau papan pengumuman fisik. Transparansi ini menjadi elemen penting untuk menjaga kepercayaan publik, mencegah potensi korupsi, dan memperkuat legitimasi lembaga sebagai pengelola dana publik.

4. Menyeimbangkan Pelayanan dan Efisiensi Operasional

Puskesmas sebagai lembaga pelayanan publik tentu memiliki mandat utama untuk menyediakan akses layanan kesehatan yang berkualitas, merata, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, setelah bertransformasi menjadi BLUD, tantangan selanjutnya adalah bagaimana memastikan bahwa peningkatan kualitas layanan tidak mengakibatkan pemborosan anggaran atau ketidakefisienan sumber daya.

Segmentasi Layanan: Merespons Keanekaragaman Kebutuhan

Salah satu strategi yang sangat efektif untuk menyeimbangkan pelayanan dan efisiensi adalah dengan mengelompokkan layanan berdasarkan segmen pengguna dan tingkat urgensinya. Misalnya:

  • Layanan dasar seperti imunisasi, pengobatan ISPA, pelayanan ibu hamil tetap diberikan secara gratis kepada peserta BPJS PBI atau keluarga miskin.
  • Layanan kuratif tambahan (seperti pemeriksaan kolesterol, tes gizi mikro, USG, atau EKG) dikenakan tarif terjangkau bagi peserta mandiri.
  • Layanan premium atau program kesehatan korporat dapat dijadikan sumber pendapatan BLUD.

Segmentasi ini tidak hanya mencegah subsidi silang yang tak terkendali, tetapi juga memberikan alternatif pilihan layanan bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi berbeda, tanpa mengorbankan prinsip keadilan sosial.

Manajemen Antrian dan Digitalisasi: Efisiensi dan Kepuasan Pasien

Waktu tunggu pasien merupakan indikator langsung dari efisiensi layanan. BLUD Puskesmas harus memanfaatkan teknologi digital seperti:

  • Sistem e-registration online.
  • Aplikasi antrian berbasis Android.
  • Panggilan otomatis dan sistem antrean layar sentuh.

Implementasi teknologi ini tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga mengurangi penumpukan pasien di ruang tunggu dan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap layanan Puskesmas.

Pengadaan Terpusat dan Konsolidasi: Efisiensi Biaya

Puskesmas BLUD dapat membentuk konsorsium antar-unit layanan untuk melakukan pengadaan barang/jasa secara kolektif. Pendekatan ini menghasilkan:

  • Harga satuan lebih murah melalui bulk purchasing.
  • Penghematan biaya distribusi dan logistik.
  • Konsistensi kualitas barang (misalnya reagen laboratorium, alat rapid test, vitamin, dll).

Dengan sistem pengadaan berbasis e-catalog atau marketplace BLUD, proses pembelian juga menjadi lebih transparan dan dapat dilacak secara digital.

Pengawasan Berbasis Indikator: Meningkatkan Akuntabilitas Kinerja

Terakhir, Puskesmas BLUD wajib mengembangkan sistem pengawasan internal berbasis indikator kinerja utama (KPI) yang terukur. Beberapa contoh KPI yang lazim digunakan antara lain:

  • Rasio realisasi layanan terhadap target (misal 85% cakupan imunisasi dasar).
  • Waktu pelayanan rata-rata pasien rawat jalan (target: <60 menit).
  • Rasio penggunaan obat tepat guna (menghindari polifarmasi).
  • Indeks kepuasan masyarakat dari hasil survei tahunan.

Dengan pemantauan berkala, manajemen BLUD dapat segera mengevaluasi area layanan yang lemah dan merancang intervensi, baik dalam bentuk pelatihan, perbaikan sistem, maupun pengadaan ulang alat.

5. Tantangan Implementasi di Lapangan

Meskipun model Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada Puskesmas menjanjikan peningkatan efisiensi dan mutu layanan, realitas implementasinya di lapangan menunjukkan adanya tantangan yang kompleks dan multidimensi. Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga bersifat struktural dan kultural, yang jika tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat, berpotensi menghambat transformasi kelembagaan secara menyeluruh.

a. Resistensi Budaya Organisasi

Salah satu kendala paling mendasar dalam implementasi BLUD di Puskesmas adalah resistensi budaya dari internal organisasi. Banyak tenaga kesehatan, staf administrasi, dan pimpinan Puskesmas yang selama bertahun-tahun terbiasa dengan pendekatan birokratis ala APBD murni, di mana setiap pengeluaran harus menunggu pengesahan anggaran dan pertanggungjawaban dilakukan secara formalistik. Perubahan ke sistem BLUD yang lebih dinamis, fleksibel, dan berbasis prinsip kewirausahaan sosial seringkali disalahpahami sebagai komersialisasi layanan, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan sikap penolakan pasif dari sebagian SDM. Oleh karena itu, pendekatan perubahan budaya organisasi (change management) perlu menjadi prioritas. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan, pembinaan manajerial, dan penugasan rotasi staf ke BLUD yang sudah mapan.

b. Keterbatasan Infrastruktur Teknologi Informasi

Penerapan BLUD mensyaratkan adanya sistem informasi manajemen yang handal dan terintegrasi, baik dalam bentuk SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) untuk pencatatan layanan kesehatan, maupun ERP (Enterprise Resource Planning) untuk manajemen keuangan, persediaan, dan SDM. Namun kenyataannya, sebagian besar Puskesmas di daerah belum memiliki infrastruktur teknologi yang memadai. Koneksi internet yang lemah, komputer usang, ketiadaan server lokal, hingga tidak adanya SDM IT yang terampil menjadi hambatan serius dalam menjalankan sistem pelaporan BLUD secara real-time dan akuntabel. Tanpa teknologi, pencatatan tetap dilakukan secara manual, yang meningkatkan risiko kesalahan, duplikasi data, hingga keterlambatan dalam penyusunan laporan keuangan.

c. Kompleksitas Regulasi dan Dinamika Kebijakan

Di tingkat kebijakan, regulasi yang mengatur BLUD cukup padat dan berubah cepat. Permendagri No. 79/2018, Permendagri No. 33/2021, serta regulasi teknis lainnya tentang SAP, pelaporan keuangan, hingga tarif pelayanan kerap mengalami revisi, penyesuaian, atau tumpang tindih dengan ketentuan dari Kementerian Kesehatan, BPJS, atau BPK. Akibatnya, Puskesmas BLUD harus selalu memperbarui SOP, menyesuaikan format laporan, dan menafsirkan ulang norma hukum, yang tidak jarang membingungkan SDM lapangan.

d. Persepsi Publik dan Sosialisasi Kurang

Di sisi eksternal, tidak sedikit masyarakat yang menyalahartikan transformasi Puskesmas menjadi BLUD sebagai upaya komersialisasi layanan kesehatan. Kekhawatiran bahwa layanan akan menjadi lebih mahal, atau bahwa pasien miskin tidak lagi dilayani dengan baik, kerap muncul karena kurangnya sosialisasi. Padahal, esensi BLUD justru untuk menjamin keberlanjutan layanan melalui reinvestasi surplus. Untuk itu, komunikasi publik yang terbuka, edukatif, dan menjangkau semua lapisan masyarakat harus menjadi bagian integral dari strategi transisi BLUD, termasuk menampilkan data pemanfaatan dana surplus dan dampaknya terhadap mutu layanan.

6. Studi Kasus: Puskesmas BLUD Kota Y

Sebagai gambaran nyata keberhasilan implementasi model BLUD, Puskesmas Kota Y di Provinsi Z dapat dijadikan contoh studi kasus yang inspiratif. Puskesmas ini ditetapkan menjadi BLUD penuh sejak awal tahun 2022 setelah melalui fase persiapan intensif yang mencakup pelatihan SDM, perbaikan sistem informasi, serta reformasi tata kelola internal.

a. Peningkatan Cakupan Layanan Kesehatan

Sejak bertransformasi menjadi BLUD, Puskesmas Kota Y berhasil meningkatkan cakupan imunisasi dasar dari 85% menjadi 96% hanya dalam waktu dua tahun. Keberhasilan ini diperoleh berkat fleksibilitas pendanaan BLUD yang memungkinkan unit melakukan perluasan posyandu, pengadaan cold-chain mandiri, serta pemberian insentif transportasi bagi petugas lapangan yang menjangkau wilayah terpencil. Hal ini membuktikan bahwa otonomi fiskal BLUD dapat digunakan secara efektif untuk mendukung prioritas pelayanan kesehatan masyarakat.

b. Digitalisasi untuk Efisiensi Operasional

Sebelum menjadi BLUD, waktu tunggu pasien IGD rata-rata mencapai dua jam karena keterbatasan ruang, antrean manual, dan overload tenaga medis. Setelah digitalisasi antrian dan penerapan e‑registration, waktu tunggu berhasil dipangkas hingga 45 menit. Sistem ini juga terintegrasi dengan aplikasi dashboard internal yang memantau beban kerja petugas secara real-time dan memberikan notifikasi otomatis kepada keluarga pasien. Efisiensi ini tidak hanya meningkatkan kepuasan pengguna layanan, tetapi juga mendorong efisiensi energi dan waktu kerja.

c. Peningkatan Surplus Operasional dan Reinvestasi Sosial

Puskesmas Kota Y mampu mencatat surplus operasional sebesar 8% dari total pendapatan tahunannya. Dana ini tidak dikembalikan ke kas daerah, tetapi dimanfaatkan untuk membuka layanan tambahan berupa klinik gizi privat dan layanan konseling stunting yang sebelumnya belum tersedia. Reinvestasi ini didesain untuk memperluas cakupan layanan sekaligus memperkuat pilar preventif dan promotif yang selama ini kurang optimal.

d. Keberhasilan Audit dan Transparansi Publik

Hal paling membanggakan dari transformasi Puskesmas ini adalah perolehan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023. Keberhasilan ini diraih melalui pelatihan intensif bagi tim keuangan mengenai SAP akrual, penggunaan software akuntansi yang terintegrasi, dan penerapan portal transparansi keuangan BLUD yang dapat diakses publik. Dalam portal tersebut, masyarakat dapat melihat laporan keuangan, daftar belanja operasional, hingga informasi tarif layanan secara terbuka.

Keberhasilan Puskesmas Kota Y menunjukkan bahwa transformasi BLUD tidak mustahil dicapai, asalkan ada komitmen manajemen, penguatan kapasitas SDM, dukungan regulasi, dan transparansi publik yang dijaga.

7. Rekomendasi Strategis

Agar lebih banyak Puskesmas BLUD di Indonesia mampu meniru keberhasilan seperti Puskesmas Kota Y, beberapa rekomendasi strategis berikut dapat dijadikan arah kebijakan dan rencana aksi daerah:

a. Pengembangan SDM Berkelanjutan

BLUD bukan hanya soal format keuangan, tetapi juga soal paradigma dan kapasitas SDM. Pemerintah daerah dan dinas kesehatan perlu menyusun kurikulum pelatihan terstruktur dan berjenjang bagi seluruh personel Puskesmas-mulai dari kepala Puskesmas, bendahara, manajer keuangan, hingga tenaga IT dan staf pelayanan. Pelatihan tersebut harus mencakup akuntansi berbasis akrual, manajemen anggaran berbasis kinerja, pengelolaan persediaan, dan literasi digital. Selain itu, perlu disiapkan insentif dan jalur karier untuk staf Puskesmas yang menunjukkan kinerja unggul dalam pengelolaan BLUD.

b. Investasi Infrastruktur Teknologi Informasi

Transformasi digital menjadi tulang punggung operasional BLUD modern. Oleh karena itu, diperlukan investasi sistematis dalam hal:

  • Koneksi internet yang kuat dan aman.
  • Komputerisasi unit layanan (front office, apotek, laboratorium).
  • Penerapan SIMPUS atau SIMRS terintegrasi.
  • Pengembangan aplikasi mobile untuk registrasi, edukasi, dan pemantauan pasien.

Pendanaan dapat berasal dari APBD, Dana Alokasi Khusus (DAK), atau kemitraan dengan swasta melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR).

c. Fasilitasi Forum BLUD Puskesmas

Penting untuk membentuk Forum Puskesmas BLUD di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi yang berfungsi sebagai wadah pertukaran praktik baik, forum advokasi terhadap pemerintah daerah dan pusat, serta tempat penyusunan rekomendasi teknis untuk menyikapi revisi regulasi. Forum ini dapat difasilitasi oleh dinas kesehatan sebagai lead sector dan menjadi sarana perumusan indikator kinerja antar-Puskesmas.

d. Kemitraan Multi-Stakeholder

Transformasi BLUD tidak bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu, kemitraan strategis perlu dibangun dengan:

  • Universitas dan lembaga riset untuk melakukan evaluasi kebijakan dan pelatihan.
  • Startup teknologi yang mengembangkan solusi digital kesehatan.
  • Lembaga donor seperti UNICEF, USAID, atau GAVI untuk mendanai inovasi layanan primer.

Kemitraan semacam ini membuka ruang pembelajaran, inovasi, dan pembiayaan alternatif yang sangat dibutuhkan Puskesmas BLUD.

e. Monitoring dan Evaluasi Berbasis Data

Akhirnya, sistem pelaporan dan pengawasan berbasis dashboard data visual interaktif sangat penting agar pimpinan daerah bisa memantau kinerja Puskesmas secara real-time. Dashboard ini harus menampilkan indikator pelayanan (jumlah kunjungan, waktu tunggu, cakupan imunisasi), indikator keuangan (rasio realisasi pendapatan, beban operasional), serta indikator kepuasan masyarakat. Dengan begitu, evaluasi tidak lagi mengandalkan laporan statis, tetapi didorong oleh bukti nyata dan data dinamis.

8. Kesimpulan

Transformasi Puskesmas ke pola BLUD merupakan langkah maju dalam upaya memperkuat layanan kesehatan primer dengan mengintegrasikan prinsip pelayanan publik dan mekanisme sektor swasta yang lebih fleksibel. Dengan otonomi fiskal, akuntansi berbasis akrual, dan sistem pengelolaan keuangan yang terintegrasi, Puskesmas BLUD mampu merespon kebutuhan masyarakat dengan lebih cepat, meningkatkan mutu layanan, dan menjaga efisiensi penggunaan sumber daya. Akan tetapi, keberhasilan implementasi sangat tergantung pada kesiapan regulasi, infrastruktur teknologi, kapasitas SDM, serta komitmen pemangku kepentingan untuk terus melakukan perbaikan berkelanjutan. Melalui penerapan rekomendasi strategis-termasuk pengembangan SDM, investasi TI, kolaborasi, dan monitoring berbasis data-Puskesmas BLUD dapat menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan yang responsif, akuntabel, dan berkelanjutan, sehingga mewujudkan visi kesehatan masyarakat yang lebih sejahtera dan merata.