Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kemandirian layanan publik, banyak pemerintah daerah di Indonesia mengubah status unit pelaksana teknis-seperti rumah sakit umum daerah (RSUD), puskesmas, dan balai layanan-menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Pola pengelolaan BLUD menawarkan fleksibilitas fiskal dan manajerial yang jauh lebih besar dibanding unit kerja konvensional, namun juga menuntut kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal untuk menjalankan fungsi baru: merencanakan anggaran sendiri, menetapkan tarif layanan, mengelola pendapatan langsung, serta menyusun laporan keuangan berbasis akrual. Artikel ini menguraikan secara mendalam tantangan-tantangan utama yang dihadapi SDM dalam pengelolaan BLUD, serta menawarkan strategi untuk mengatasi hambatan tersebut.
1. Kompleksitas Peran dan Tanggung Jawab SDM BLUD
Dalam konteks kelembagaan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), tanggung jawab yang harus dipikul oleh SDM bukan hanya terbatas pada pelaksanaan pelayanan teknis di lapangan-misalnya pelayanan medis di RSUD atau puskesmas-tetapi mencakup aspek strategis dan administratif yang kompleks. Setiap fungsi dan posisi dalam struktur BLUD, terutama pada jenjang manajerial seperti direktur, manajer keuangan, kepala unit layanan, hingga bendahara dan tim akuntansi, dituntut untuk memiliki pemahaman lintas disiplin yang sebelumnya tidak dibebankan kepada pegawai di unit kerja konvensional.
Misalnya, pengelolaan keuangan di BLUD tidak lagi menggunakan pendekatan akuntansi berbasis kas sebagaimana yang umum digunakan dalam sistem APBD, melainkan telah bergeser ke akuntansi berbasis akrual sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Ini berarti SDM di BLUD harus mampu memahami pencatatan aset tetap, kewajiban jangka panjang, pengakuan pendapatan dan beban yang tidak selalu terkait kas masuk atau keluar, serta menyiapkan laporan neraca yang mencerminkan posisi keuangan sebenarnya.
Di sisi lain, SDM BLUD harus menyusun dan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja BLUD (APBLUD) secara mandiri. Tidak cukup hanya menyusun anggaran, mereka juga harus mampu memproyeksikan sumber pendapatan dari berbagai jenis layanan yang diberikan, merinci biaya operasional per unit pelayanan, serta mengalokasikan anggaran untuk investasi jangka panjang seperti pengadaan peralatan medis atau peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Salah satu aspek tersulit adalah penetapan tarif layanan, yang harus mempertimbangkan prinsip cost recovery, artinya tarif yang ditetapkan harus mencerminkan biaya riil penyediaan layanan. Ini memerlukan pemahaman mendalam tentang perhitungan harga pokok per unit layanan, margin pelayanan, kemampuan bayar masyarakat, serta pertimbangan regulasi yang mengharuskan transparansi dan keadilan tarif.
Lebih jauh, SDM juga harus aktif dalam manajemen risiko, mulai dari risiko keuangan karena keterlambatan klaim BPJS, risiko pasokan obat dan bahan habis pakai, hingga risiko hukum atau sosial akibat keluhan pasien. Semua risiko ini harus dikelola secara sistematis untuk menjaga keberlanjutan pelayanan.
Selain itu, seluruh aktivitas dan keuangan BLUD wajib dipertanggungjawabkan melalui laporan triwulanan dan tahunan kepada DPRD, Inspektorat Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan tersebut tidak hanya mencakup aspek keuangan, tetapi juga pencapaian kinerja layanan publik.
Dengan demikian, SDM BLUD membutuhkan kemampuan hibrida, yaitu kompetensi yang menggabungkan antara keterampilan teknis bidang layanan (misalnya medis, laboratorium, atau pelayanan sosial) dengan kecakapan dalam pengelolaan keuangan, penyusunan rencana strategis, komunikasi kelembagaan, serta tata kelola publik yang berorientasi pada hasil.
2. Kesenjangan Kompetensi dan Kebutuhan Pelatihan Khusus
Transformasi dari UPTD biasa menjadi BLUD sering kali tidak dibarengi oleh peningkatan kapasitas SDM yang memadai. Banyak tenaga kerja di lingkungan pemerintah daerah yang sudah bertahun-tahun bekerja dalam sistem administrasi tradisional, yang serba rigid dan tidak fleksibel. Ketika sistem BLUD diterapkan, muncul kesenjangan keterampilan yang signifikan, terutama dalam hal kemampuan teknis pengelolaan keuangan modern dan tata kelola berbasis kinerja.
Sebagai contoh, mayoritas pegawai BLUD masih terbiasa menggunakan sistem akuntansi berbasis kas, yang tidak memperhitungkan penyusutan aset, utang, piutang, dan pendapatan yang belum diterima. Padahal, dalam sistem BLUD, akuntansi berbasis akrual menjadi keharusan yang mutlak karena menjadi dasar penyusunan laporan keuangan yang akuntabel dan sesuai SAP. Selain itu, pegawai juga kurang terbiasa melakukan analisis keuangan, seperti menghitung unit cost suatu layanan, menentukan titik impas (break-even point), atau melakukan simulasi pendapatan dari berbagai jenis tarif.
Penguasaan terhadap sistem informasi modern juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak staf masih bergantung pada proses manual atau spreadsheet sederhana dalam pengelolaan data. Padahal, pengelolaan BLUD idealnya menggunakan sistem seperti SIMDA Keuangan, SIPD, atau Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) yang terintegrasi. Kurangnya penguasaan ini menyebabkan lambatnya proses pelaporan, kesalahan input data, hingga terhambatnya pengambilan keputusan berbasis data.
Selain itu, keterampilan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko masih rendah. Dalam lingkungan BLUD, kegagalan dalam memperkirakan kebutuhan logistik, kelambatan klaim BPJS, atau konflik internal dapat berujung pada penurunan kualitas layanan atau kerugian keuangan. Namun sebagian besar SDM tidak memiliki pengalaman melakukan risk assessment atau audit internal secara sistematis.
Oleh karena itu, solusi utama adalah pelatihan teknis yang komprehensif dan berkelanjutan. Pelatihan harus disusun secara berjenjang, mulai dari tingkat dasar seperti pengenalan akuntansi akrual, manajemen pengadaan, hingga level lanjut seperti dashboard manajemen kinerja, desain tarif progresif, analisis risiko keuangan, dan strategi pelayanan publik berbasis data. Model pelatihan blended learning, yang menggabungkan metode tatap muka dengan e-learning, memungkinkan pelatihan dilakukan tanpa mengganggu layanan operasional harian.
3. Rekrutmen dan Retensi SDM Berkualitas
Tantangan serius lainnya adalah sulitnya mendapatkan dan mempertahankan SDM yang benar-benar memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan teknis pengelolaan BLUD. Pemerintah daerah, khususnya di luar kota besar, sering kali menghadapi keterbatasan pasokan tenaga profesional yang memahami baik sisi keuangan pemerintahan maupun logika operasional layanan publik.
Kebutuhan tenaga kerja seperti akuntan publik, auditor internal, manajer keuangan, analis tarif, dan pengelola sistem informasi, sering kali tidak bisa dipenuhi dari dalam lingkungan ASN yang tersedia. Di sisi lain, perekrutan tenaga kontrak juga terkendala oleh struktur honor yang kurang kompetitif dibanding sektor swasta atau rumah sakit swasta.
Dampak dari kesenjangan ini sangat terasa pada aspek teknis dan administrasi: penyusunan APBLUD menjadi tidak optimal, pelaporan keuangan tidak tepat waktu, proses audit internal terganggu, serta pengambilan keputusan keuangan menjadi tidak berbasis data.
Strategi yang dapat dilakukan untuk menarik dan mempertahankan SDM berkualitas antara lain:
- Menyediakan insentif berbasis kinerja, seperti bonus tahunan, tunjangan kinerja tambahan, atau sistem honorarium untuk kegiatan luar jam kerja;
- Menawarkan peluang pengembangan karier dan pelatihan bersertifikasi, seperti program Certified Government Accountant (CGA), pelatihan manajemen BLUD oleh BPKP, atau magang manajemen di BLUD unggulan lainnya;
- Memberikan akses terhadap literatur, data, dan software modern yang memudahkan kerja profesional;
- Menyusun jalur karier fungsional khusus untuk posisi keuangan dan manajerial di BLUD, sehingga staf dapat melihat peluang promosi yang jelas.
4. Budaya Organisasi dan Change Management
Perubahan dari UPTD konvensional menjadi BLUD tidak hanya menuntut transformasi administratif dan keuangan, tetapi juga revolusi budaya organisasi yang mendalam. Sayangnya, banyak institusi gagal memahami bahwa resistensi budaya adalah salah satu penghambat utama keberhasilan implementasi BLUD.
Di banyak BLUD yang baru terbentuk, sering muncul resistensi dari staf terhadap sistem pengelolaan yang baru. Akuntabilitas yang meningkat, misalnya kewajiban menyusun laporan keuangan setiap triwulan atau menyampaikan rencana anggaran dengan target pendapatan, membuat sebagian staf merasa terbebani dan terus-menerus diawasi. Ketika staf tidak memahami manfaat dari perubahan ini, yang muncul adalah penolakan pasif, seperti lambatnya adaptasi, tidak kooperatif terhadap SOP baru, atau bahkan ketidakterlibatan dalam program evaluasi kinerja.
Selain itu, banyak staf merasa tidak memiliki kejelasan peran, khususnya dalam penyusunan tarif atau pengelolaan pendapatan BLUD. Mereka beranggapan bahwa tugas tersebut seharusnya dilakukan oleh dinas teknis, sehingga mereka enggan mengambil inisiatif atau bahkan takut melakukan kesalahan administratif.
Untuk mengatasi hal ini, BLUD perlu menjalankan program manajemen perubahan (change management) secara strategis dan sistematis. Komponen program tersebut mencakup:
- Sosialisasi visi, misi, dan nilai-nilai BLUD secara konsisten di semua lini organisasi, untuk menumbuhkan pemahaman dan keterlibatan emosional seluruh staf;
- Pelibatan aktif staf dalam penyusunan prosedur operasional standar (SOP) agar mereka merasa memiliki tanggung jawab bersama;
- Pembentukan tim “champion” internal, yaitu pegawai senior atau staf teladan yang menjadi agen perubahan untuk mendorong kolega mereka beradaptasi;
- Pemberian penghargaan dan pengakuan (reward and recognition) kepada staf yang berkontribusi nyata dalam pengembangan sistem BLUD, baik dari aspek inovasi, efisiensi, maupun pelayanan publik.
Dengan membangun budaya kerja yang adaptif, terbuka terhadap perubahan, serta didukung oleh komunikasi yang transparan, BLUD akan memiliki fondasi kelembagaan yang kuat untuk berkembang dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
5. Integrasi Sistem Informasi dan Digitalisasi
Digitalisasi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan dalam pengelolaan BLUD modern. Sistem informasi yang terintegrasi adalah tulang punggung untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas lembaga, terutama RSUD atau puskesmas yang telah bertransformasi menjadi BLUD. Namun dalam realitas di banyak daerah, adopsi teknologi informasi masih menghadapi sejumlah hambatan serius, baik dari sisi infrastruktur, kapasitas SDM, hingga integrasi antar-sistem.
Pertama, koneksi internet yang tidak stabil masih menjadi kendala utama, terutama di wilayah non-perkotaan. Ketika jaringan tidak konsisten, input data ke dalam sistem informasi kesehatan (seperti SIMRS atau e-claim BPJS) terganggu, menyebabkan keterlambatan dalam klaim pembayaran, duplikasi data, bahkan hilangnya informasi penting seperti rekam medis atau laporan keuangan harian.
Kedua, fragmentasi sistem informasi membuat alur kerja tidak efisien. Banyak fasilitas BLUD masih memisahkan antara sistem informasi pelayanan medis (SIMRS), pencatatan keuangan (SIMDA atau SIPD), dan pelaporan manajemen kinerja. Ketidakterhubungan sistem ini menyebabkan SDM harus melakukan entri data berulang, sulit melakukan konsolidasi informasi, serta menimbulkan risiko tinggi terhadap inkonsistensi data antar-unit.
Ketiga, dokumentasi masih dilakukan secara manual, terutama pada unit-unit non-medis atau administrasi. Formulir fisik, berkas kertas, serta laporan yang diketik ulang secara periodik membuat jejak audit (audit trail) menjadi sulit dilacak, memperbesar peluang kesalahan manusia (human error), dan menghambat proses audit internal maupun eksternal.
Solusi dari semua tantangan tersebut adalah investasi pada Enterprise Resource Planning (ERP) sektor kesehatan, yaitu sistem informasi terintegrasi yang memadukan:
- Modul klinis, seperti SIMRS (pendaftaran pasien, rekam medis, layanan farmasi);
- Modul keuangan, seperti pengelolaan APBLUD, tarif layanan, dan klaim JKN;
- Modul pelaporan kinerja, berupa dashboard manajemen real-time yang menyajikan indikator layanan, keuangan, SDM, dan mutu dalam satu tampilan terpadu.
Namun keberhasilan implementasi ERP tidak akan maksimal tanpa pelatihan intensif bagi SDM TI dan pengguna akhir (end-user). Setiap bagian dalam BLUD-dari tenaga medis, staf administrasi, hingga pimpinan-harus memahami dasar-dasar input data, pemanfaatan analisis dashboard, hingga SOP digitalisasi. Dibutuhkan pula SOP tertulis dan pembakuan proses digital, agar penggunaan teknologi tidak tergantung pada individu tertentu, melainkan menjadi sistem kelembagaan yang stabil dan berkelanjutan.
6. Penguatan Kepemimpinan dan Tata Kelola
Salah satu elemen penentu keberhasilan pengelolaan BLUD adalah kualitas kepemimpinan strategis dan tata kelola internal yang kokoh. Transformasi dari institusi pelayanan konvensional menjadi BLUD membawa perubahan mendasar pada struktur tanggung jawab, model pembiayaan, serta ekspektasi kinerja. Di tengah kompleksitas tersebut, figur direktur BLUD atau kepala RSUD tidak bisa lagi sekadar menjadi administrator pelayanan, melainkan harus berperan sebagai pemimpin transformasional yang mampu mengarahkan perubahan secara menyeluruh.
Pemimpin BLUD idealnya memiliki visi jangka menengah hingga panjang, khususnya dalam hal kemandirian fiskal. Ia perlu mampu menyusun strategi keuangan jangka lima tahun, memetakan peluang pendapatan baru di luar klaim BPJS, mengembangkan layanan unggulan, dan menyusun business plan yang realistis tetapi ambisius.
Selain itu, kemampuan berkomunikasi lintas pemangku kepentingan menjadi sangat penting. Direktur BLUD harus bisa berdialog dengan DPRD dalam sidang anggaran, menyampaikan capaian kinerja kepada kepala daerah, membangun kolaborasi dengan OPD lain seperti Dinkes dan BPKAD, serta menjaga hubungan dengan komunitas lokal, LSM kesehatan, dan media.
Dari sisi tata kelola internal, pemimpin BLUD juga wajib menjaga integritas, khususnya dalam proses penetapan tarif, pemilihan vendor obat, dan alokasi belanja modal. Semua keputusan anggaran harus memiliki dasar analisis keuangan yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk memastikan arah organisasi tetap terkendali, penting untuk menyusun dan menerapkan Key Performance Indicator (KPI) secara sistematis dan transparan. KPI tidak hanya mencakup jumlah pasien atau jumlah kunjungan, tetapi juga:
- Kepuasan pasien dan keluarga,
- Rasio cost recovery per layanan,
- Tingkat realisasi anggaran operasional,
- Rasio klaim BPJS terhadap tagihan.
Penguatan kepemimpinan dapat dilakukan melalui program pelatihan manajemen layanan publik, pelatihan perencanaan strategis, mentoring dari RSUD BLUD yang telah sukses, serta pendampingan dalam menyusun balanced scorecard sebagai alat perumusan visi-misi, strategi, dan indikator kinerja terukur.
7. Manajemen Perubahan Regulasi dan Kepatuhan
Dinamika regulasi dalam pengelolaan BLUD sangat tinggi. Dalam satu tahun, bisa saja terjadi revisi terhadap berbagai Permendagri, Permenkes, hingga aturan teknis dari BPJS atau BPK. Hal ini menyebabkan banyak BLUD merasa selalu tertinggal dalam menyesuaikan SOP dan dokumen pendukung. Akibatnya, audit sering kali menemukan ketidaksesuaian format laporan, ketidaktepatan dalam pencatatan akuntansi, hingga kesalahan dalam penetapan tarif yang seharusnya sudah direvisi sesuai ketentuan terbaru.
Salah satu masalah utama adalah respons yang bersifat reaktif dan parsial terhadap perubahan aturan. Sebagian besar BLUD belum memiliki mekanisme pemantauan regulasi yang sistematis. Akibatnya, ketika aturan baru berlaku, dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk melakukan penyesuaian dokumen, pelatihan ulang staf, hingga penyusunan ulang tarif dan rencana keuangan.
Untuk menghadapi tantangan ini, BLUD perlu menerapkan strategi manajemen regulasi dan kepatuhan yang lebih proaktif dan terstruktur. Beberapa langkah kunci antara lain:
- Membentuk unit regulatory watch, yaitu satuan kecil dalam struktur BLUD (bisa di bawah bagian perencanaan atau hukum) yang bertugas memantau perubahan peraturan di tingkat pusat dan daerah. Unit ini bertanggung jawab menyusun ringkasan regulasi baru, menganalisis dampaknya terhadap SOP BLUD, serta menyusun rekomendasi adaptasi yang harus dilakukan oleh unit kerja terkait.
- Mendorong terbentuknya forum koordinasi lintas BLUD di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, yang difasilitasi oleh Dinas Kesehatan atau BPKAD. Forum ini berfungsi sebagai wadah berbagi praktik baik (best practices), menyamakan persepsi terhadap aturan yang multitafsir, dan mempercepat harmonisasi Perda atau Perkada di berbagai daerah.
- Membangun portal knowledge management internal, yaitu platform digital sederhana yang memuat ringkasan regulasi terbaru, SOP yang diperbarui, materi pelatihan, serta FAQ tentang pengelolaan keuangan dan pelayanan. Dengan cara ini, staf tidak perlu bergantung pada instruksi verbal atau surat edaran semata, tetapi memiliki referensi yang mudah diakses dan terstandardisasi.
- Mewajibkan audit internal reguler terhadap kepatuhan SOP dan dokumen pendukung, serta menjadwalkan pembaruan berkala terhadap dokumen kebijakan internal, seperti pedoman tarif, standar layanan, dan dokumen administrasi.
Dengan membangun sistem kepatuhan yang adaptif, BLUD akan mampu menghadapi perubahan kebijakan tanpa kehilangan konsistensi layanan maupun keakuratan pelaporan keuangan. Selain itu, manajemen perubahan regulasi yang sistematis juga menjadi salah satu indikator utama kepercayaan publik dan pemangku kepentingan terhadap kinerja BLUD.
8. Kesiapan Infrastruktur Fisik dan Keuangan
Meski seringkali difokuskan pada reformasi administratif dan penguatan SDM, faktor infrastruktur fisik dan keuangan juga menjadi pilar penting dalam penerapan pola BLUD secara utuh dan berkelanjutan. Sayangnya, banyak BLUD di daerah masih menghadapi kondisi infrastruktur yang minim, tertinggal dari kebutuhan operasional yang semakin kompleks dan digital.
- Pertama, ruang kerja yang representatif dan perlengkapan hardware yang memadai merupakan kebutuhan mutlak. Di banyak RSUD atau puskesmas BLUD, masih ditemukan ruang kerja yang tidak ergonomis, komputer dengan spesifikasi rendah, serta kurangnya printer, scanner, atau perangkat pendukung administrasi lainnya. Hal ini tidak hanya menghambat produktivitas, tetapi juga menurunkan semangat kerja SDM, terutama di bidang keuangan dan manajemen.
- Kedua, dalam era digitalisasi, sistem backup server dan keamanan siber menjadi keharusan. BLUD kini mengelola data sensitif-baik data keuangan maupun data pasien-yang harus dilindungi dari kehilangan, kerusakan, dan kebocoran. Sayangnya, tidak semua BLUD memiliki server cadangan yang tersimpan aman di lokasi berbeda (off-site), atau firewall yang kuat untuk menangkal serangan siber, ransomware, maupun kebocoran data yang dapat berujung pada tuntutan hukum dan rusaknya reputasi layanan publik.
- Ketiga, sistem kasir digital di front-office menjadi bagian dari kebutuhan mendesak untuk mendukung transparansi keuangan. Banyak pasien kini mengharapkan metode pembayaran non-tunai, integrasi dengan sistem BPJS, dan akses ke bukti transaksi secara cepat dan akurat. Tanpa kasir digital yang tersambung ke sistem akuntansi dan manajemen keuangan, risiko pencatatan ganda atau penyalahgunaan dana sangat tinggi.
- Keempat, setiap BLUD wajib memiliki rekening bank operasional tersendiri atas nama entitas BLUD, bukan digabung dengan rekening kas umum daerah. Hal ini penting agar dana pendapatan langsung dari jasa layanan (termasuk pembayaran BPJS, dana kapitasi, dan sumber lain) dapat dikelola sesuai mekanisme fleksibilitas BLUD tanpa harus menunggu otorisasi panjang seperti dalam mekanisme APBD biasa.
Namun, tantangan terbesar dalam penyediaan infrastruktur ini adalah kurangnya dana awal (startup capital) untuk investasi awal. Banyak BLUD tidak memiliki cukup dana untuk membeli server, membangun ruang TI, atau mengganti komputer tua. Solusinya, pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana khusus dari APBD sebagai modal awal implementasi BLUD, termasuk membiayai infrastruktur TI, pelatihan awal, dan manajemen perubahan.
Sebagai alternatif, dapat dipertimbangkan juga skema leasing atau sewa peralatan teknologi, di mana BLUD tidak harus membeli, tetapi dapat mengakses peralatan mutakhir dengan biaya operasional yang lebih ringan dan disesuaikan dengan arus kas.
9. Kolaborasi Multi-Stakeholder
Keberhasilan implementasi BLUD, terutama dalam konteks transformasi layanan kesehatan publik, tidak mungkin dicapai hanya oleh internal RSUD atau puskesmas. Diperlukan ekosistem kolaborasi multi-pihak (multi-stakeholder collaboration) yang kuat, terstruktur, dan saling mendukung.
Pertama, dukungan dari OPD teknis sangat krusial. BLUD harus menjalin komunikasi rutin dan sistemik dengan:
- BPKAD, yang berperan dalam koordinasi anggaran, pelaporan keuangan, dan persetujuan tarif layanan;
- Dinas Kesehatan, yang berfungsi sebagai pembina teknis dan penghubung kebijakan kesehatan daerah;
- Diskominfo, untuk mendukung transformasi digital dan keamanan informasi, termasuk integrasi dengan sistem pemerintah pusat seperti SIPD atau e-Kinerja.
Tanpa dukungan OPD ini, banyak kebijakan BLUD akan macet di tengah jalan karena tidak memiliki landasan regulasi atau sumber daya lintas-sektor.
Kedua, sinergi dengan BPJS Kesehatan harus ditingkatkan, terutama dalam proses verifikasi dan pencairan klaim JKN. Keterlambatan klaim sering terjadi karena kurangnya pemahaman SDM tentang standar klaim, kesalahan input di SIMRS, atau ketidaklengkapan berkas administrasi. Melalui forum rutin antara BLUD dan kantor cabang BPJS, berbagai kendala ini dapat diurai dan diselesaikan lebih cepat.
Ketiga, peran DPRD sebagai pengawas independen harus ditempatkan secara proporsional. DPRD berperan bukan hanya dalam menyetujui Perda BLUD atau tarif layanan, tetapi juga dalam mendorong transparansi kinerja dan menjamin bahwa BLUD tetap dalam koridor pelayanan publik, bukan mengejar profit semata.
Keempat, keterlibatan akademisi dan perguruan tinggi sangat strategis untuk melakukan riset, evaluasi kinerja, dan pengembangan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Universitas dapat menjadi mitra dalam pelatihan SDM, penyusunan business plan, hingga evaluasi mutu pelayanan.
Kelima, kemitraan dengan swasta dan LSM membuka ruang inovasi baru, terutama dalam pengembangan layanan seperti telemedicine, klinik satelit melalui CSR, atau digitalisasi antrian pasien. BLUD dapat menjalin kerja sama berbasis MoU atau PKS dengan sektor swasta tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas publik.
Kolaborasi yang dirancang dengan jelas dan dijalankan secara konsisten akan menjadikan BLUD sebagai platform pelayanan kesehatan yang inklusif dan berdaya saing tinggi, sekaligus menjembatani keterbatasan kapasitas internal yang selama ini menjadi hambatan klasik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), khususnya di sektor kesehatan seperti RSUD dan puskesmas, merupakan upaya strategis pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kualitas pelayanan publik. Namun demikian, keberhasilan implementasi pola BLUD sangat bergantung pada kesiapan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa tantangan SDM masih menjadi hambatan utama, baik dalam aspek kompetensi teknis, kepemimpinan, adaptasi budaya organisasi, hingga penguasaan teknologi informasi.
Kompleksitas tugas SDM BLUD tidak hanya mencakup pelayanan medis atau administratif, melainkan juga merambah pada pengelolaan keuangan berbasis akrual, penetapan tarif layanan berbasis cost recovery, pelaporan triwulan dan tahunan ke DPRD dan auditor, serta pengelolaan risiko operasional yang terkait langsung dengan pelayanan masyarakat. Kondisi ini menuntut kehadiran SDM dengan kemampuan hibrida-yaitu menguasai aspek teknis pelayanan, sekaligus memahami aspek keuangan, hukum, teknologi, dan tata kelola publik.
Kesenjangan kompetensi masih menjadi persoalan serius, terutama di daerah yang baru pertama kali bertransformasi ke pola BLUD. Banyak staf masih terbiasa dengan sistem UPTD yang birokratis dan tidak familiar dengan sistem pengelolaan fleksibel khas BLUD. Selain itu, proses rekrutmen dan retensi tenaga ahli keuangan, akuntansi, dan IT juga masih terkendala oleh daya saing remunerasi yang belum setara dengan sektor swasta. Belum lagi tantangan budaya organisasi yang resisten terhadap perubahan, minimnya pelat