Pendahuluan
Aset pemerintah daerah-baik berupa tanah, bangunan, prasarana, peralatan, maupun hak‑hak tidak berwujud-merupakan kekayaan publik yang seharusnya mendukung jalannya pemerintahan, pelayanan publik, dan pembangunan ekonomi lokal. Namun dalam praktik pengelolaan, tidak jarang aset-aset ini menghadapi berbagai permasalahan: kepemilikan tidak jelas, data tidak akurat, fisik rusak, peruntukan salah, hingga sengketa hukum. Aset bermasalah ini tidak hanya membebani anggaran pemeliharaan, tetapi juga menimbulkan potensi kerugian finansial dan reputasi bagi pemerintah daerah. Oleh karenanya, diperlukan strategi menyeluruh untuk “menyelamatkan” aset bermasalah sehingga dapat kembali produktif, aman, dan bernilai tambah. Artikel ini menguraikan langkah-langkah strategis dan terstruktur-mulai dari identifikasi dan diagnosis, kerangka regulasi, perencanaan teknis, aksi administrasi dan hukum, kemitraan, hingga pemantauan berkelanjutan-untuk menuntun pemerintah daerah dalam memulihkan aset bermasalah secara tuntas dan akuntabel.
1. Identifikasi dan Diagnosa Aset Bermasalah
Langkah awal yang fundamental dalam menyelamatkan aset bermasalah adalah melakukan proses identifikasi dan diagnosa secara menyeluruh dan sistematis terhadap seluruh aset yang berada dalam kewenangan pemerintah daerah. Proses ini bukan sekadar pendataan administratif, melainkan sebuah kegiatan strategis yang menentukan arah kebijakan penyelamatan dan pemulihan aset secara menyeluruh.
Inventarisasi dimulai dengan pendataan menyeluruh atas semua jenis aset: baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang sedang digunakan maupun yang idle, termasuk aset yang dilaporkan dalam laporan keuangan maupun yang belum tercatat secara formal. Data yang dikumpulkan harus mencakup lokasi aset secara geografis (dengan titik koordinat GPS), kondisi fisik terkini (misalnya tingkat kerusakan bangunan, kelayakan peralatan, status lingkungan sekitar), luasan tanah atau volume bangunan, serta catatan historis penggunaan dan pemeliharaan. Data legal juga tidak kalah penting, termasuk status kepemilikan (sertifikat atau alas hak), dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST), nota hibah, dan surat keputusan pengelolaan. Inventarisasi harus mampu mengungkap apakah aset berada di bawah kepemilikan yang sah secara hukum dan terdokumentasi dengan baik.
Langkah berikutnya adalah diagnosis, yaitu proses menilai dan mengklasifikasikan tingkat permasalahan yang melekat pada aset. Diagnosis dilakukan dengan membandingkan data yang terekam dalam sistem informasi manajemen aset (seperti SIMDA BMD atau SIMAK-BMN) dengan hasil verifikasi fisik di lapangan. Cross-check ini mengidentifikasi ketidaksesuaian antara data digital dan kenyataan, seperti aset yang tercatat namun tidak ditemukan secara fisik (missing asset), atau sebaliknya, aset fisik yang belum tercatat (unregistered asset). Hasil verifikasi selanjutnya digunakan untuk mengelompokkan aset ke dalam kategori kritis, seperti:
- Rawan rusak, jika aset dalam kondisi fisik buruk, terancam ambruk, atau membahayakan pengguna;
- Rawan idle, jika aset tidak digunakan atau tidak menghasilkan manfaat ekonomi/sosial dalam waktu lama;
- Rawan sengketa, jika aset berada di atas tanah dengan status kepemilikan tidak jelas atau sedang dipersengketakan;
- Rawan penyalahgunaan, jika aset digunakan di luar fungsi publik atau dimanfaatkan pihak ketiga tanpa izin resmi.
Dalam proses ini, keterlibatan lintas organisasi perangkat daerah (OPD) sangat penting. Dinas teknis (PU, Pendidikan, Kesehatan), Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Inspektorat, hingga Sekretariat Daerah harus terlibat secara aktif. Audit internal dari Inspektorat Daerah dan audit eksternal dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga diperlukan untuk menjamin integritas data dan memberikan masukan atas penyebab struktural dari timbulnya aset bermasalah, seperti lemahnya pengawasan, tumpang tindih regulasi, atau kurangnya anggaran perawatan.
Hanya dengan proses identifikasi dan diagnosa yang tepat dan mendalam, strategi penyelamatan aset dapat dibangun secara akurat dan berdasarkan bukti (evidence-based). Tanpa itu, seluruh intervensi yang dilakukan akan bersifat reaktif, tidak sistemik, dan berpotensi menyia-nyiakan anggaran publik.
2. Kerangka Regulasi dan Kebijakan Penyelamatan
Setelah mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai jenis dan skala permasalahan aset, langkah berikutnya adalah mengkonsolidasikan dasar hukum dan kebijakan yang menjadi landasan bagi intervensi penyelamatan. Tanpa kerangka regulasi yang kuat dan sinkron antara pusat dan daerah, langkah-langkah teknis yang akan dilakukan rentan terganjal aturan birokratis atau justru berpotensi menimbulkan masalah hukum baru.
Pengelolaan aset bermasalah di tingkat daerah mengacu pada sejumlah regulasi utama, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menegaskan bahwa aset yang dibiayai APBN menjadi Barang Milik Negara (BMN);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa kekayaan hasil dari APBD menjadi Barang Milik Daerah (BMD);
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang mengatur seluruh siklus aset dari perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, hingga pemindahtanganan;
- Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, sebagai petunjuk teknis pengelolaan BMD di tingkat pemerintah daerah.
Namun regulasi nasional saja tidak cukup. Pemerintah daerah harus menyusun atau merevisi Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur pengelolaan dan penyelamatan aset bermasalah, termasuk klausul terkait percepatan proses sertifikasi tanah, prosedur pelepasan aset idle, serta model pemanfaatan kerja sama pihak ketiga. Di level eksekutif, kepala daerah juga harus mengeluarkan Peraturan Bupati/Walikota atau Surat Edaran resmi yang menetapkan tata laksana penanganan aset tidak produktif dan pembentukan tim penyelamat aset yang lintas sektoral.
Kebijakan ini harus menjelaskan dengan rinci siapa yang berwenang mengambil keputusan, bagaimana mekanisme kerja antardinas, bagaimana prosedur penyerahan aset pusat ke daerah, dan bagaimana cara menangani aset yang sedang disengketakan secara hukum. Termasuk pula, regulasi internal harus memberi ruang fleksibilitas kepada daerah untuk menjalin kerja sama operasional dengan mitra swasta atau lembaga masyarakat, sejauh tidak menyalahi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan publik.
Kerangka regulasi yang lengkap, dinamis, dan terkoordinasi merupakan syarat mutlak untuk menghindari tumpang tindih wewenang, mempercepat proses pemulihan aset, dan memberikan perlindungan hukum bagi aparatur yang bertindak sesuai mandat.
3. Perencanaan Teknis dan Finansial
Perencanaan teknis dan finansial merupakan jembatan antara perumusan kebijakan dan implementasi di lapangan. Perencanaan ini harus dibuat dengan pendekatan multidisiplin, mempertimbangkan aspek teknis bangunan atau tanah, kelayakan ekonomi, peraturan perundangan, serta keberlanjutan pembiayaan.
Secara teknis, pemerintah daerah harus menyusun Rencana Revitalisasi Aset yang mencakup gambaran umum proyek (project brief), tujuan revitalisasi, kondisi eksisting, ruang lingkup pekerjaan (scope of work), spesifikasi teknis, standar mutu pekerjaan, dan kebutuhan sumber daya (manusia, alat, material). Jika aset yang diselamatkan berupa bangunan, maka perlu disiapkan desain teknis (gambar kerja), detail engineering design (DED), dan estimasi anggaran biaya (RAB). Untuk aset berupa tanah, harus dilakukan survei topografi, pengukuran ulang, dan pemetaan batas lahan sebagai prasyarat penerbitan sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Di sisi finansial, penyelamatan aset bermasalah memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Pembiayaan Aset yang memetakan kebutuhan dana berdasarkan kategori prioritas:
- Belanja Modal (Capital Expenditure/CapEx) untuk aset yang butuh rehabilitasi besar, pembangunan ulang, atau penambahan fungsi;
- Belanja Operasional (Operational Expenditure/OpEx) untuk perawatan rutin, pengamanan, pengurusan sertifikasi, dan pemeliharaan ringan.
Sumber pembiayaan tidak harus seluruhnya dari APBD. Pemerintah daerah dapat mengakses:
- Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dari pemerintah pusat, khususnya untuk pendidikan dan kesehatan;
- Dana Insentif Daerah (DID) yang diberikan berdasarkan kinerja keuangan dan pelayanan publik;
- Hibah lembaga internasional, seperti dari ADB, Bank Dunia, atau donor bilateral;
- Obligasi daerah berbasis aset (asset-backed bonds), yang memungkinkan aset idle dijadikan jaminan untuk penerbitan obligasi pembangunan.
Seluruh rencana keuangan harus disesuaikan dengan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) dan Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah (SIMDA) agar anggaran penyelamatan aset terintegrasi dengan sistem keuangan pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Catatan akuntansi juga harus memisahkan nilai aset sebelum dan sesudah intervensi, serta mencantumkan revaluasi nilai buku dalam laporan keuangan daerah.
Dengan perencanaan teknis dan finansial yang matang, penyelamatan aset bermasalah tidak hanya menjadi proyek jangka pendek yang reaktif, tetapi menjadi program strategis jangka menengah-panjang yang dapat menghidupkan kembali peran aset publik dalam pembangunan daerah.
4. Aksi Administratif dan Hukum
Setelah proses identifikasi, diagnosis, dan perencanaan dilakukan, langkah berikutnya dalam strategi penyelamatan aset bermasalah adalah eksekusi melalui pendekatan administratif dan hukum. Aset daerah yang bermasalah sering kali berkaitan dengan ketidakteraturan administratif dan kekaburan status hukum, sehingga solusi teknis saja tidak memadai. Pemerintah daerah harus menempuh jalur administratif secara proaktif dan-jika diperlukan-melibatkan perangkat hukum untuk menyelesaikan akar permasalahan yang mengikat status aset.
Aksi administratif dimulai dengan melakukan penataan ulang data aset melalui proses re-inventarisasi. Re-inventarisasi ini bukan sekadar pembaruan data dalam spreadsheet, melainkan penyusunan ulang basis data aset secara komprehensif dengan dokumentasi fisik, legal, dan digital yang seragam. Semua aset yang belum bersertifikat harus dimasukkan dalam daftar prioritas untuk proses sertifikasi melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Langkah ini sangat penting terutama untuk lahan sekolah, puskesmas, kantor desa, dan aset publik lainnya yang selama ini berdiri di atas tanah tanpa alas hak formal.
Untuk aset yang dibangun menggunakan APBN dan kini dikelola oleh Pemda, aksi administratif selanjutnya adalah pembaruan dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST). Sering terjadi aset sudah digunakan oleh pemerintah daerah, tetapi belum ada dokumen BAST resmi dari kementerian terkait, sehingga ketika terjadi kerusakan atau kehilangan, tidak ada pihak yang secara hukum bertanggung jawab. Dalam konteks ini, BAST menjadi bukti sah bahwa pengelolaan telah diserahkan dan pemerintah daerah wajib memelihara serta melaporkan aset tersebut dalam laporan keuangannya.
Sementara itu, aksi hukum diperlukan dalam berbagai kondisi-terutama jika aset mengalami sengketa kepemilikan, penyerobotan oleh pihak ketiga, atau pemanfaatan ilegal tanpa izin resmi. Dalam kasus sengketa, langkah awal yang dapat dilakukan adalah mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa, melibatkan lembaga seperti BPN, tokoh masyarakat, dan perwakilan hukum dari Pemda. Jika mediasi tidak membuahkan hasil, maka langkah litigasi melalui gugatan perdata di pengadilan menjadi opsi yang harus ditempuh. Untuk kasus penggunaan ilegal, seperti aset yang digunakan oleh oknum atau lembaga swasta tanpa izin, maka pemerintah daerah dapat menerbitkan surat peringatan administratif, permintaan pengosongan, dan pada tahap akhir, gugatan balik atau bahkan laporan pidana jika ada indikasi kerugian negara.
Agar proses administratif dan hukum ini berjalan efektif, pemerintah daerah perlu membentuk Satuan Tugas (Satgas) Aset Bermasalah. Satgas ini bersifat lintas sektoral dan multidisiplin, yang terdiri dari unsur-inspektorat daerah (untuk pengawasan internal), Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Dinas Lingkungan Hidup (jika aset terkait persoalan AMDAL atau izin lingkungan), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kejaksaan Negeri sebagai penegak hukum dan pendampingan hukum pemerintah. Dengan tim khusus ini, koordinasi lintas instansi dapat dilakukan lebih cepat dan terstruktur, serta semua proses-baik administratif maupun litigasi-dapat diadvokasi secara komprehensif.
5. Model Kemitraan dan Inovasi Pendanaan
Mengandalkan APBD sebagai satu-satunya sumber pembiayaan penyelamatan aset bermasalah sangat tidak realistis, mengingat keterbatasan fiskal daerah dan tingginya beban belanja rutin. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru berupa kemitraan dan inovasi pendanaan. Model kemitraan yang fleksibel dan akuntabel tidak hanya meringankan beban fiskal, tetapi juga mempercepat proses revitalisasi dan memberi nilai tambah bagi masyarakat.
Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) skala kecil atau mini-KPBU. Skema ini memungkinkan pihak swasta ikut serta dalam pengelolaan aset yang sebelumnya mangkrak. Misalnya, sebuah sekolah kejuruan yang memiliki gedung lab komputer tidak terpakai dapat dijadikan pusat pelatihan teknologi bekerja sama dengan perusahaan IT lokal, di mana sekolah menyediakan fasilitas dan pihak swasta menyediakan modul, trainer, dan operasional. Keuntungan dibagi berdasarkan skema revenue-sharing yang disepakati bersama, dengan syarat tetap menjaga prinsip pelayanan publik dan keterjangkauan.
Contoh lain, puskesmas yang memiliki ruang kosong atau lahan tidak terpakai dapat dikembangkan menjadi klinik rawat inap, pusat rehabilitasi, atau unit layanan bersalin bekerjasama dengan klinik swasta. Kemitraan ini tidak hanya mengoptimalkan aset, tetapi juga memperluas layanan kesehatan dan membuka lapangan kerja baru.
Selain KPBU, pemerintah daerah dapat merancang Dana Khusus Aset Daerah yang bersumber dari berbagai pos pendapatan daerah, antara lain:
- Hasil sewa atau pemanfaatan aset publik (misalnya sewa gedung oleh BUMDes);
- Denda atau penalti atas penyalahgunaan aset;
- Kontribusi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang diarahkan secara khusus untuk revitalisasi aset publik;
- Hibah dari lembaga donor nasional atau internasional yang bersifat earmarked.
Dana ini harus dikelola secara transparan dan disimpan dalam akun terpisah, sehingga penggunaannya dapat dimonitor secara publik dan dimanfaatkan untuk pembiayaan reaktif jika terjadi kerusakan mendadak, kebutuhan pengamanan, atau pengurusan legalitas aset.
Model kemitraan dan inovasi pendanaan harus disusun dalam regulasi daerah agar memiliki kepastian hukum. DPRD berperan penting dalam mengawasi agar model ini tidak berubah menjadi bentuk privatisasi yang merugikan publik, tetapi tetap dalam semangat kolaborasi dan penguatan pelayanan publik melalui pemanfaatan aset yang lebih produktif.
6. Capacity Building dan Penguatan SDM
Faktor manusia (human capital) merupakan kunci keberhasilan dari setiap strategi penyelamatan aset. Sebagus apapun sistem dan regulasi yang dibuat, akan sia-sia bila pelaksananya tidak memiliki kompetensi yang memadai. Oleh karena itu, program capacity building dan penguatan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pengelolaan aset harus menjadi agenda prioritas yang berkelanjutan.
Pertama, pemerintah daerah harus mengidentifikasi kebutuhan pelatihan berdasarkan fungsi strategis yang dibutuhkan dalam pengelolaan aset. Bidang kompetensi yang krusial antara lain:
- Manajemen Aset Publik, termasuk klasifikasi aset, perencanaan siklus hidup aset, dan pencatatan akuntansi aset sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP);
- Appraisal dan Revaluasi Aset, yaitu keterampilan untuk menilai nilai wajar aset yang rusak atau idle agar tidak merugikan saat dijual atau dialihkan;
- Teknik Penyusunan BAST, agar setiap proses serah terima aset terdokumentasi rapi dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
- Mediasi dan Penanganan Sengketa Aset, khususnya untuk staf yang berada di lapangan atau yang menangani aset di wilayah konflik sosial atau pertanahan;
- Penggunaan Sistem Informasi Aset, seperti pelatihan intensif penggunaan SIMDA BMD, SIMAK-BMN, SIPD, dan aplikasi pelaporan berbasis digital.
Pelatihan ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga sertifikasi profesi di bidang pengelolaan aset, perguruan tinggi, BPKP, atau asosiasi profesi, seperti Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) atau Persatuan Akuntan Pemerintah Indonesia (PAPI). Bahkan, metode mentoring dan on-the-job training sangat dianjurkan untuk mendampingi staf pengelola aset di OPD yang minim pengalaman.
Khusus untuk staf penilai aset atau auditor internal, sertifikasi keahlian wajib diberikan agar proses revaluasi dan audit dapat dilakukan secara profesional, menghindari kesalahan valuasi yang bisa berdampak hukum. Pemerintah daerah juga dapat mengembangkan pusat pelatihan aset daerah yang bersifat internal sebagai wadah peningkatan kompetensi berkelanjutan.
Lebih dari sekadar pelatihan teknis, capacity building juga mencakup pembentukan etika kerja, tanggung jawab pengelolaan aset publik, serta kemampuan beradaptasi terhadap sistem digital yang terus berkembang. Ketika SDM pengelola aset memiliki kapasitas yang kuat, semua proses penyelamatan-baik administratif, teknis, hukum, maupun kemitraan-dapat dijalankan dengan profesionalisme tinggi dan akuntabilitas yang terjaga.
7. Pemantauan, Evaluasi, dan Continuous Improvement
Setelah seluruh rangkaian strategi penyelamatan aset bermasalah diimplementasikan, proses selanjutnya yang tidak boleh diabaikan adalah kegiatan pemantauan (monitoring), evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Monitoring bukan sekadar mengamati hasil akhir, melainkan memastikan bahwa setiap tahapan dalam proses penyelamatan aset berjalan sesuai rencana, sesuai anggaran, dan sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan teknis maupun regulasi internal.
Untuk menjamin keberhasilan monitoring dan evaluasi, perlu ditetapkan Key Performance Indicators (KPI) yang spesifik, terukur, relevan, dan berbasis waktu. Beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain:
- Jumlah aset bermasalah yang telah berhasil disertifikasi secara legal;
- Persentase aset fisik yang direhabilitasi dibanding total aset rusak;
- Tingkat penurunan aset idle dalam laporan tahunan BPKAD;
- Nilai tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari aset yang dioptimalkan kembali;
- Tingkat kepuasan pengguna atau penerima manfaat (misalnya sekolah, puskesmas, warga sekitar).
Evaluasi dilakukan secara berkala-minimal per semester-oleh tim evaluasi lintas sektor yang terdiri dari unsur pengelola aset, inspektorat, perencana pembangunan daerah, dan perwakilan OPD teknis. Hasil evaluasi tidak hanya digunakan untuk membuat laporan kepada DPRD dan masyarakat, tetapi juga menjadi bahan penyusunan dokumen perencanaan tahunan, revisi Standar Operasional Prosedur (SOP), serta pembaruan regulasi daerah yang sudah tidak sesuai konteks lapangan.
Agar proses evaluasi berdampak langsung pada pengambilan keputusan, hasil monitoring harus dipublikasikan melalui portal aset daerah yang dapat diakses publik secara terbuka. Transparansi ini bukan hanya untuk meningkatkan kepercayaan publik, tetapi juga sebagai bentuk akuntabilitas horizontal yang membuka ruang partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal penyelamatan aset publik.
Di sisi internal pemerintahan, forum koordinasi lintas OPD dapat diselenggarakan dalam bentuk musrenbang tematik khusus penyelamatan aset bermasalah. Forum ini menjadi sarana untuk menyinergikan strategi antar-unit, mengidentifikasi kendala yang muncul di lapangan, serta mendiseminasikan praktik baik (best practices) yang terbukti berhasil. Continuous improvement menjadi budaya kerja baru yang ditanamkan: bahwa penyelamatan aset bukan proyek sesaat, melainkan proses dinamis yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu.
8. Studi Kasus: Kabupaten A dan Kota B
Pendekatan konseptual dan regulatif akan semakin kuat bila ditopang oleh praktik nyata yang terbukti berhasil. Dua studi kasus berikut dapat menjadi cerminan bahwa strategi penyelamatan aset bermasalah bukan sekadar teori, melainkan dapat diwujudkan secara konkret oleh pemerintah daerah yang visioner dan konsisten.
Kabupaten A: Program “Aset Sehat” dan Integrasi Data Lintas Sistem
Kabupaten A meluncurkan program bertajuk “Aset Sehat” yang digagas oleh Bupati sebagai program prioritas daerah. Strategi utama yang dijalankan adalah pembentukan Satuan Tugas Aset Bermasalah yang diberi kewenangan penuh melakukan audit, penertiban, dan koordinasi lintas instansi. Salah satu terobosan besar mereka adalah integrasi data SIMDA BMD milik daerah dengan sistem informasi pertanahan milik BPN. Hasilnya sangat signifikan: dalam waktu enam bulan, 150 bidang tanah sekolah dasar dan menengah yang sebelumnya tidak bersertifikat berhasil dilegalisasi atas nama Pemkab.
Selain itu, Satgas juga menggandeng Dinas Kesehatan untuk merehabilitasi 30 unit puskesmas menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan skema padat karya lokal. Gedung-gedung puskesmas yang semula kosong, rusak, dan ditinggalkan kini kembali aktif melayani masyarakat dan menjadi pusat kegiatan kesehatan terpadu di tingkat kecamatan.
Kota B: Pemanfaatan Public-Private Partnership (PPP) untuk Aset Pendidikan
Kota B mengambil jalur inovatif dengan memanfaatkan skema Public-Private Partnership (PPP). Pemerintah kota bekerja sama dengan sebuah perusahaan teknologi nasional untuk mengelola laboratorium komputer milik SMA negeri yang semula tidak digunakan maksimal. Melalui skema kerja sama operasional, ruang laboratorium tersebut dijadikan pusat pelatihan digital untuk siswa dan masyarakat umum, dengan manajemen teknis diserahkan ke pihak swasta berdasarkan perjanjian kinerja.
Dari kerja sama ini, pemerintah kota memperoleh pendapatan sewa tahunan sebesar Rp 1 miliar, yang kemudian dialokasikan kembali untuk memperbaiki dan melengkapi laboratorium serupa di sekolah lain. Aset yang sebelumnya menjadi beban anggaran kini justru menjadi sumber PAD dan penggerak ekonomi lokal berbasis keterampilan digital.
Dua contoh ini membuktikan bahwa kombinasi antara kepemimpinan politik yang kuat, regulasi yang adaptif, dan kemitraan lintas sektor dapat mempercepat penyelamatan aset bermasalah dengan dampak positif yang nyata bagi masyarakat.
9. Rekomendasi Kebijakan dan Arah Ke Depan
Berdasarkan seluruh tahapan yang telah dijabarkan, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah agar upaya penyelamatan aset bermasalah menjadi lebih sistemik, berkelanjutan, dan berdampak luas:
9.1. Perda Aset Bermasalah
Pemerintah daerah perlu segera menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah khusus mengenai penyelamatan aset bermasalah, yang mencakup mekanisme pendelegasian kewenangan kepada Satgas Aset, prosedur percepatan legalisasi dan rehabilitasi, serta skema pemanfaatan aset secara produktif. Perda ini juga harus memuat ketentuan sanksi bagi OPD atau pejabat yang lalai mengelola aset publik.
9.2. Insentif Kinerja OPD
Berikan penghargaan berbasis kinerja kepada OPD yang mampu menurunkan jumlah aset bermasalah secara signifikan. Insentif dapat berupa bonus anggaran, peningkatan alokasi DAK, atau prioritas proyek strategis. Mekanisme ini akan mendorong semangat kompetisi sehat antar-OPD dalam menjaga dan mengoptimalkan aset.
9.3. Dana Aset Berkelanjutan
Bentuk Dana Khusus Aset Berkelanjutan yang dialokasikan dari PAD, hibah, atau kerja sama mitra pembangunan. Dana ini digunakan khusus untuk pembiayaan rehabilitasi, pengamanan, sertifikasi, atau digitalisasi aset, dan dikelola secara akuntabel melalui mekanisme trust fund.
9.4. Integrasi Sistem dan Digitalisasi
Percepat integrasi antar sistem informasi, seperti SIMDA, SIPD, SIMAK-BMN, dan portal BPN, agar proses pencatatan, pelaporan, dan audit aset dapat dilakukan secara digital, real-time, dan minim kesalahan manusia. Pengembangan dashboard pemantauan aset secara publik juga menjadi bagian dari strategi transparansi.
9.5. Kolaborasi Regional dan Nasional
Dorong pembentukan Forum Regional Penyelamatan Aset Bermasalah, di mana pemerintah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau kawasan dapat berbagi pengalaman, menyusun standar teknis bersama, dan bahkan menjalin kemitraan lintas daerah dalam pengelolaan aset strategis, seperti pasar, terminal, atau kawasan wisata.
Kesimpulan
Aset bermasalah yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia adalah cerminan dari kompleksitas tata kelola yang belum optimal. Namun di balik tantangan tersebut tersimpan potensi besar yang bisa diubah menjadi kekuatan fiskal dan sosial, asalkan ditangani dengan pendekatan komprehensif, berbasis bukti, dan terintegrasi antar-sektor.
Melalui tahapan identifikasi dan diagnosa, penguatan regulasi, perencanaan teknis dan keuangan, aksi hukum dan administratif, kemitraan strategis, peningkatan kapasitas SDM, serta monitoring berkelanjutan, pemerintah daerah dapat menyelamatkan aset bermasalah dan mengubahnya menjadi motor penggerak pelayanan publik yang efisien dan berdampak luas.
Studi kasus dari daerah yang berhasil membuktikan bahwa kepemimpinan yang kuat, sistem data yang akurat, dan keberanian untuk berinovasi adalah kunci utama. Oleh karena itu, setiap langkah penyelamatan aset harus diposisikan bukan hanya sebagai tugas administratif, tetapi sebagai investasi jangka panjang dalam tata kelola pemerintahan yang profesional, transparan, dan berpihak pada masyarakat.
Jika strategi ini diterapkan secara serius dan konsisten, maka bukan hanya laporan keuangan daerah yang membaik, melainkan juga kualitas hidup warga yang merasakan langsung manfaat dari aset-aset publik yang kembali berfungsi dan bernilai. Pemerintah daerah tidak boleh menunda lebih lama: penyelamatan aset bermasalah harus dimulai hari ini, demi pembangunan yang berkelanjutan dan masa depan daerah yang lebih berdaya saing.