Pendahuluan

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki bobot strategis dalam memastikan bahwa pembangunan daerah berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat, prinsip akuntabilitas, dan ketepatan sasaran. Keterlibatan DPRD tidak sekadar bersifat simbolis-melainkan faktual dan operasional-dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan maupun proses monitoring dan evaluasi (monev). Artikel ini membedah secara mendalam mekanisme, landasan hukum, serta dinamika politik-birokrasi yang mewarnai peran DPRD dari awal penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), pembahasan anggaran, hingga pemantauan implementasi program. Dengan memahami peran ini secara komprehensif, para pemangku kepentingan-mulai dari anggota DPRD, pihak eksekutif, hingga masyarakat sipil-dapat menjalin sinergi yang kokoh demi mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang transparan, partisipatif, dan berkelanjutan.

Landasan Hukum dan Institusional

Peran DPRD dalam perencanaan dan monev dibangun di atas beberapa regulasi penting, antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah terakhir dengan UU No. 9/2015, serta Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan RKPD. UU tersebut mengamanatkan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Secara institusional, DPRD didukung oleh alat kelengkapan seperti Badan Anggaran (Banggar), Komisi-komisi, Badan Kehormatan, serta Panitia Khusus (Pansus). Setiap alat kelengkapan tersebut diberi mandat spesifik untuk menelaah rancangan dokumen perencanaan, merumuskan rekomendasi perubahan, hingga melakukan tindak lanjut hasil pengawasan. Landasan hukum yang kuat menjamin bahwa DPRD tidak hanya memiliki legitimasi politik, tetapi juga kewenangan teknis untuk mempengaruhi arahan pembangunan daerah.

Peran DPRD dalam Penyusunan RKPD

Tahap awal perencanaan pembangunan daerah diawali dengan penyusunan RKPD, dokumen wajib yang disusun pemerintah provinsi, kabupaten, atau kota setiap tahun. Dalam proses ini, DPRD berperan aktif sejak tahap penyusunan naskah akademik kebijakan daerah hingga penetapan prioritas pembangunan. Melalui Banggar dan Komisi terkait, DPRD mengkaji usulan program yang diajukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), memeriksa apakah tujuan dan indikator kinerja telah mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat, serta mempertimbangkan kesinambungan antar periode perencanaan. DPRD juga memfasilitasi pelibatan publik-misalnya melalui musrenbang-untuk memastikan bahwa hasil RKPD mencerminkan aspirasi konstituen. Jika terdapat ketidaksesuaian antara program SKPD dengan hasil musrenbang atau kebijakan strategis daerah, DPRD berwenang mengajukan perubahan atau penambahan program, sebelum dokumen RKPD disahkan bersama eksekutif.

Pembahasan Kebijakan Daerah

Setelah naskah RKPD diumumkan, DPRD memulai tahap pembahasan kebijakan daerah melalui rapat badan musyawarah (Bamus) dan Banggar. Dalam forum ini, pimpinan DPRD menugaskan Komisi-komisi untuk membahas aspek subtansial dokumen, seperti kesesuaian sasaran pembangunan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), alokasi anggaran, serta dampak ekonomi-sosial program. Setiap Komisi mendalami isu spesifik-misalnya Komisi I di bidang pemerintahan dan hukum, Komisi II untuk ekonomi dan keuangan, serta Komisi III di sektor kesejahteraan rakyat. Hasil pembahasan komisi akan disampaikan ke Banggar untuk dirangkum menjadi pokok-pokok pikiran DPRD, yang selanjutnya dibahas bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Melalui mekanisme “give and take” ini, DPRD dapat menegosiasikan besaran dana serta skema pelaksanaan program agar lebih tepat guna.

Pengusulan Program dan Anggaran oleh DPRD

Salah satu kewenangan penting DPRD adalah mengusulkan program dan anggaran alternatif yang dianggap lebih prioritas atau strategis. Melalui rape­rda inisiatif DPRD, anggota dewan dapat menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) yang memuat program spesifik-misalnya pembangunan infrastruktur pedesaan, beasiswa siswa miskin, atau program pelatihan tenaga kerja lokal. Usulan ini kemudian dibahas di tingkat komisi dan Banggar sebelum menjadi bagian dari rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). DPRD juga memiliki hak interpelasi dan angket apabila eksekutif dianggap tidak responsif terhadap rekomendasi program. Dengan demikian, DPRD berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan politik eksekutif dan penjamin bahwa alokasi anggaran benar-benar mengutamakan kepentingan publik.

Mekanisme Monitoring oleh DPRD

Setelah APBD disahkan, DPRD beralih ke tahap monev untuk memastikan program berjalan sesuai rencana. Monitoring dilakukan secara berkala melalui alat kelengkapan DPRD: Komisi, Banggar, Badan Anggaran, dan Pansus. DPRD dapat meminta laporan perkembangan pelaksanaan program dari SKPD, baik secara tertulis maupun lisan. Selain itu, DPRD memiliki akses terhadap data keuangan dan realisasi fisik proyek, yang menjadi dasar untuk menilai efektivitas penggunaan dana. Jika ditemukan indikasi penyimpangan atau keterlambatan, DPRD dapat memanggil pimpinan SKPD atau pejabat terkait dalam rapat kerja. Fungsi monitoring ini penting untuk deteksi dini masalah, sehingga perbaikan bisa dilakukan tepat waktu.

Rapat Dengar Pendapat dan Koordinasi Lintas Pihak

Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan forum rutin yang difasilitasi DPRD untuk mengumpulkan informasi langsung dari berbagai pihak: SKPD, akademisi, LSM, hingga unsur masyarakat. Dalam RDP, dewan mengajukan pertanyaan mendetail terkait capaian kinerja program, penggunaan anggaran, serta kendala di lapangan. Hasil RDP tidak hanya menjadi bahan laporan DPRD kepada publik, tetapi juga acuan rekomendasi perbaikan program. Selain itu, DPRD juga menjalin koordinasi dengan Inspektorat Daerah dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memanfaatkan temuan audit sebagai dasar evaluasi. Kolaborasi lintas lembaga ini memperkuat bobot rekomendasi DPRD dalam mendorong perbaikan tata kelola, mengurangi risiko korupsi, dan meningkatkan akuntabilitas.

Pembentukan Pansus untuk Evaluasi Khusus

Ketika diperlukan evaluasi lebih mendalam-misalnya terkait proyek strategis atau indikasi penyimpangan anggaran-DPRD dapat membentuk Panitia Khusus (Pansus). Pansus diberi wewenang investigatif lebih luas: kunjungan lapangan, pemeriksaan dokumen, hingga pemanggilan saksi. Komposisi Pansus dipilih berdasarkan proporsi partai politik di DPRD untuk menjaga representasi politis. Laporan akhir Pansus disampaikan dalam rapat paripurna dan dapat memuat rekomendasi perbaikan, sanksi terhadap pejabat, atau raperda inisiatif untuk menutup celah regulasi. Selain mempertebal fungsi pengawasan, Pansus juga menjadi mekanisme legitimasi politik, karena menunjukkan keseriusan DPRD menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dan Pengawasan Kinerja

Setiap tahun, kepala daerah wajib menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD. Dokumen ini memuat capaian kinerja, realisasi anggaran, serta kendala pelaksanaan program. DPRD wajib menelaah LKPJ, melakukan pendalaman melalui rapat kerja, dan mengeluarkan rekomendasi persetujuan atau penolakan pertanggungjawaban. Persetujuan LKPJ menandakan kepercayaan DPRD terhadap kinerja eksekutif; sebaliknya, penolakan memicu tindak lanjut berupa penyelidikan Pansus atau pengajuan hak interpelasi. Dengan demikian, LKPJ menjadi instrumen akhir dalam siklus perencanaan dan monev, memastikan adanya akuntabilitas politik dan administratif atas seluruh kebijakan dan program yang telah dijalankan.

Sinergi DPRD dengan Eksekutif dan Masyarakat

Agar peran DPRD dalam perencanaan dan monev efektif, sinergi dengan badan eksekutif dan partisipasi masyarakat mutlak dibangun. DPRD perlu menjalin komunikasi intensif dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Inspektorat, serta SKPD terkait, sehingga rekomendasi dewan dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan operasional. Di sisi lain, DPRD harus membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas lewat musrenbang, forum warga, dan platform digital-sehingga aspirasi masyarakat terekam secara akurat. Kolaborasi ini menumbuhkan trust antar lembaga dan memperkuat legitimasi kebijakan, sekaligus meminimalkan benturan politik yang dapat menghambat implementasi program.

Partisipasi Publik dalam Perencanaan dan Monev

DPRD berperan sebagai fasilitator partisipasi publik, memastikan transparansi informasi terkait anggaran dan capaian kinerja. Dokumentasi rancangan RKPD, paparan LKPJ, dan hasil audit dapat dipublikasikan di website resmi DPRD atau media sosial untuk dijangkau khalayak luas. Selain itu, DPRD mendorong pembentukan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) di tingkat kelurahan/desa, yang berfungsi sebagai mitra komunikasi dua arah. Partisipasi publik tidak hanya menambah data set perencanaan, tetapi juga memperkuat pengawasan lapangan, karena masyarakat dapat melaporkan temuan penyimpangan. Dengan mekanisme whistleblowing yang terstruktur, DPRD memperoleh feedback real-time, mempercepat tindak lanjut evaluasi.

Tantangan Politik dan Kapasitas

Meski peran DPRD telah diatur sedemikian rupa, implementasinya tidak lepas dari tantangan.

Pertama, dinamika politik partai di DPRD bisa mengaburkan prioritas publik jika anggota dewan lebih mementingkan agenda parpol.

Kedua, kapasitas teknis anggota DPRD-khususnya dalam memahami dokumen perencanaan dan analisis keuangan-seringkali terbatas, menghambat kualitas pembahasan anggaran.

Ketiga, resistensi birokrasi di SKPD terkadang memperlambat akses data yang dibutuhkan DPRD untuk monev. Mengatasi tantangan ini memerlukan pelatihan berkelanjutan bagi anggota dewan, kode etik yang ketat, serta peningkatan transparansi proses perencanaan dan pelaporan kinerja.

Upaya Peningkatan Kapasitas dan Transparansi

Beberapa daerah telah menginisiasi Program Sekolah DPRD, pelatihan teknis bagi anggota dan staf DPRD, meliputi analisis APBD, evaluasi kinerja, serta tata kelola e-monitoring. Penerapan e-planning dan e-budgeting juga membantu mengintegrasikan data perencanaan dan realisasi anggaran dalam satu platform, memudahkan akses dan pelaporan. DPRD perlu mendorong penggunaan Open Data untuk mempublikasikan capaian KPI dan anggaran, sehingga masyarakat, media, dan akademisi dapat melakukan cross-check independen. Sinergi dengan universitas lokal atau lembaga think-tank juga memperkaya kajian kebijakan, meningkatkan kedalaman analisis DPRD.

Penutup

Keterlibatan DPRD dalam perencanaan dan monev bukanlah sekadar formalitas legislatif, melainkan fondasi penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang efektif, efisien, dan berdaya guna. Melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, DPRD menjembatani aspirasi publik dengan kekuatan eksekutif, memastikan program pembangunan bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tantangan politik, kapasitas, dan birokrasi dapat diatasi dengan komitmen kolaboratif-mengoptimalkan pelatihan, digitalisasi data, serta partisipasi aktif publik. Dengan demikian, DPRD bukan hanya sebagai penjaga gudang undang-undang dan anggaran, tetapi juga sebagai motor penggerak akuntabilitas sosial dan pembangunan berkelanjutan.