Penyusunan laporan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah salah satu tugas terpenting yang harus diselesaikan dengan ketelitian tinggi, karena laporan ini tidak hanya menjadi cerminan kesehatan finansial sebuah institusi publik, melainkan juga merupakan instrumen utama akuntabilitas kepada pemerintah daerah, DPRD, inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga masyarakat luas. Berbeda dengan laporan keuangan konvensional SKPD berbasis anggaran kas, BLUD diwajibkan menerapkan akuntansi berbasis akrual sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur dalam Permendagri No. 79/2015 dan revisinya Permendagri No. 33/2021. Berikut adalah sejumlah tips terperinci-dengan kalimat yang panjang dan mendalam-untuk memastikan laporan keuangan BLUD Anda disusun secara komprehensif, akurat, dan mudah dipahami oleh semua pemangku kepentingan.
1. Memahami Kerangka Regulasi dan Standar Akuntansi
Langkah pertama dan paling fundamental dalam menyusun laporan keuangan BLUD yang kredibel dan akuntabel adalah memahami secara menyeluruh kerangka regulasi yang berlaku serta standar akuntansi yang harus diikuti. Dalam konteks BLUD, regulasi yang menjadi acuan tidak hanya satu atau dua, tetapi merupakan kombinasi lintas level-nasional hingga teknis sektoral-yang wajib dipatuhi agar laporan keuangan yang disusun dapat diterima oleh auditor, tidak menimbulkan temuan, dan mencerminkan kondisi finansial secara objektif.
BLUD tunduk pada ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus mencerminkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi. Kemudian, turunannya dalam PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur posisi BLUD sebagai satuan kerja perangkat daerah yang diberi fleksibilitas pengelolaan keuangan, namun tetap dalam bingkai akuntabilitas publik.
Di sisi akuntansi, Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis akrual-yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010-menjadi dasar teknis pencatatan transaksi, pengakuan pendapatan dan beban, serta penyusunan laporan. Artinya, BLUD tidak lagi mencatat transaksi hanya saat uang masuk atau keluar (basis kas), tetapi pada saat hak dan kewajiban ekonomi timbul, terlepas dari pergerakan kas.
Sementara itu, dua aturan teknis dari Kementerian Dalam Negeri, yaitu Permendagri No. 79/2015 tentang BLUD dan Permendagri No. 33/2021 tentang Pedoman Penyusunan APBD, memuat secara spesifik kewajiban BLUD dalam menyusun Laporan Keuangan BLUD (LK-BLUD) terpisah dari laporan induk SKPD, lengkap dengan format-format yang telah ditentukan.
Tanpa pemahaman yang memadai atas semua regulasi ini, akan sulit bagi manajemen keuangan BLUD untuk menyesuaikan format laporan, memilih akun yang tepat, mengatur pengakuan pendapatan dan belanja, serta menjawab temuan auditor dengan argumentasi berbasis regulasi. Oleh karena itu, pelatihan regulasi dan bimbingan teknis SAP akrual menjadi prasyarat awal yang sangat penting sebelum proses teknis penyusunan laporan dimulai.
2. Menyiapkan Sistem dan Prosedur yang Terintegrasi
Laporan keuangan yang akurat tidak mungkin dihasilkan tanpa sistem dan prosedur pendukung yang terstruktur, terdokumentasi, dan dijalankan secara konsisten. Dalam konteks BLUD, kebutuhan akan sistem informasi keuangan yang terintegrasi secara horizontal dan vertikal sangat krusial, mengingat besarnya volume transaksi harian, beragamnya sumber pendapatan, serta keterkaitan dengan pelaporan ke berbagai instansi seperti BPJS, BPKAD, dan Inspektorat.
Sistem seperti SIMDA Keuangan, SIPD Kemendagri, atau ERP kesehatan dengan modul akuntansi berbasis SAP akrual sangat dianjurkan digunakan. Namun, sistem ini tidak akan maksimal jika tidak didukung oleh Standard Operating Procedure (SOP) yang menjelaskan secara rinci setiap proses mulai dari front-office (penerimaan pasien, tarif), middle-office (klaim, keuangan), hingga back-office (pembukuan, rekonsiliasi, laporan).
Misalnya, SOP untuk penerimaan pembayaran layanan harus menjelaskan: format kwitansi, penginputan ke modul kasir, pemetaan ke akun pendapatan, dan tahapan rekonsiliasi harian. SOP untuk belanja barang harus menjelaskan: proses pengadaan, dokumen pendukung (faktur, BAST), serta jurnal otomatis yang tercatat pada sistem.
Tanpa SOP yang jelas, kemungkinan terjadinya kesalahan pencatatan, keterlambatan input, atau bahkan penyimpangan (fraud) sangat tinggi. Selain itu, prosedur ini juga menjadi dokumen penting ketika auditor memeriksa kepatuhan dan efektivitas sistem pengendalian internal (SPI) di BLUD.
Terakhir, uji coba sistem dan simulasi penyusunan laporan sangat disarankan sebelum akhir tahun. Simulasi ini akan memperlihatkan apakah format laporan yang dihasilkan sudah sesuai dengan format SAP akrual, serta apakah setiap akun sudah terisi dengan data yang bersumber dari transaksi riil.
3. Pengumpulan dan Klasifikasi Data Transaksi
Setiap angka dalam laporan keuangan berasal dari transaksi yang terjadi di lapangan. Maka dari itu, akurasi laporan keuangan sangat ditentukan oleh ketepatan dan ketelitian dalam mengumpulkan serta mengklasifikasikan data transaksi sejak hari pertama tahun buku. Kesalahan umum yang kerap terjadi di banyak BLUD adalah data pendapatan dan belanja tidak terkumpul secara sistematis, menyebabkan tumpang tindih atau bahkan hilangnya dokumen pendukung pada akhir tahun.
Untuk mencegah hal tersebut, penting bagi BLUD untuk menerapkan sistem pengumpulan data berbasis unit layanan. Setiap unit-seperti instalasi rawat jalan, IGD, laboratorium, apotek, dan pendaftaran BPJS-harus melaporkan transaksi hariannya secara digital atau semi-digital. Idealnya, pelaporan ini dilakukan secara harian atau mingguan, dan langsung masuk ke sistem yang telah disinkronkan dengan modul akuntansi.
Selain itu, klasifikasi transaksi sangat penting agar jurnal akuntansi yang dihasilkan sesuai dengan SAP. Misalnya, pengeluaran untuk beli obat harus diklasifikasikan ke beban operasional jika digunakan langsung, atau ke persediaan jika masih dalam stok. Pembelian perangkat USG baru masuk ke akun aktiva tetap, bukan beban, dan perlu dihitung penyusutannya. Dana hibah harus dipisahkan dari pendapatan BLUD murni, karena memiliki perlakuan khusus dalam pengakuan dan pelaporan.
Kesalahan klasifikasi ini dapat berdampak besar terhadap opini audit. Misalnya, jika aset tetap tidak dicatat dan hanya dianggap beban, maka neraca akan menunjukkan aset yang terlalu kecil dan belanja yang terlalu besar. Oleh karena itu, kerja sama erat antara tim keuangan, kasir, petugas SIMRS, serta manajer layanan sangat krusial agar semua data transaksi tercatat dengan benar sejak awal.
4. Pengakuan Aset dan Penyusutan Berbasis Akuntansi Akrual
Pengakuan aset dan penyusutan adalah elemen khas dalam pelaporan keuangan BLUD berbasis akrual yang paling membedakannya dari laporan keuangan SKPD biasa. BLUD tidak hanya mencatat pembelian barang sebagai pengeluaran kas, tetapi juga harus mengenali nilai ekonomis barang tersebut dalam bentuk aset tetap, yang kemudian diamortisasi melalui penyusutan selama umur manfaatnya.
Setiap pembelian peralatan medis, kendaraan dinas, perangkat IT, hingga pembangunan atau renovasi gedung harus dicatat sebagai aset jika nilainya melebihi ambang batas materialitas (misalnya Rp10 juta) dan memiliki manfaat lebih dari satu tahun. BLUD juga harus menyusun daftar inventaris aset tetap lengkap dengan: nomor identifikasi aset, tanggal perolehan, nilai perolehan, masa manfaat, metode penyusutan, dan nilai residu.
Setelah itu, beban penyusutan dihitung secara berkala dan dibukukan sebagai beban non-kas di laporan laba rugi (LRA). Penyusutan ini penting karena menggambarkan penurunan nilai ekonomis aset, serta menjadi dasar penentuan tarif layanan berbasis full costing (yang mencakup biaya penyusutan aset).
Pemilihan metode penyusutan harus konsisten: metode garis lurus (straight line) paling umum digunakan karena mudah, tetapi untuk aset yang cepat menurun nilai gunanya, metode saldo menurun (declining balance) mungkin lebih cocok.
Selain itu, BLUD perlu membuat kebijakan akuntansi internal terkait penilaian ulang aset, penghapusan aset rusak, dan perlakuan atas hibah aset (misalnya alat dari Kemenkes). Semua perlakuan ini harus dijelaskan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) agar transparan dan bisa diverifikasi oleh auditor.
Tanpa pencatatan aset dan penyusutan yang benar, neraca BLUD akan timpang, indikator efisiensi tidak dapat dihitung secara valid, dan keputusan investasi jangka panjang menjadi spekulatif.
5. Rekonsiliasi dan Konsolidasi Antar-Unit
Dalam struktur organisasi BLUD yang biasanya mencakup banyak unit layanan fungsional-seperti poliklinik, instalasi rawat inap, laboratorium, radiologi, apotek, hingga unit gizi atau farmasi-sering kali terjadi pencatatan transaksi secara terpisah antar unit. Masing-masing unit memiliki sistem pelaporan internal tersendiri, baik berbasis SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) maupun sistem kas manual. Di sinilah pentingnya melakukan rekonsiliasi data secara berkala, setidaknya per bulan atau triwulan, untuk menjamin konsistensi dan keterpaduan angka.
Misalnya, unit apotek mencatat penjualan obat senilai Rp250 juta dalam sebulan. Nilai ini harus sama dengan yang masuk ke modul keuangan sebagai pendapatan dari penjualan farmasi. Jika terjadi selisih, maka diperlukan penelusuran terhadap sumber perbedaannya-apakah berasal dari keterlambatan input, kesalahan klasifikasi akun, transaksi belum terekam, atau bahkan potensi fraud. Rekonsiliasi juga diperlukan antara data kunjungan rawat jalan yang dilaporkan oleh SIMRS dengan nilai pendapatan yang tercatat di sistem keuangan. Ketidaksesuaian antara jumlah kunjungan dan besaran tarif menunjukkan adanya anomali yang harus segera diperiksa.
Lebih lanjut, dalam banyak kasus, BLUD induk juga memiliki unit satelit atau sub-BLUD, seperti puskesmas BLUD yang terafiliasi atau klinik mandiri. Setiap unit tersebut menghasilkan laporan keuangannya masing-masing. Sebelum menyusun Laporan Keuangan BLUD secara keseluruhan, dilakukan proses konsolidasi antar-unit, yaitu penggabungan seluruh laporan anak unit dengan menyelaraskan kebijakan akuntansi dan memastikan tidak ada transaksi antar unit (inter-unit transactions) yang terekam ganda.
Konsolidasi ini sangat membantu ketika BLUD ingin menampilkan performa keuangan secara makro kepada pihak luar seperti DPRD atau kepala daerah. Untuk mempermudah proses rekonsiliasi dan konsolidasi, pemanfaatan teknologi seperti dashboard integrasi data real-time menjadi sangat penting. Dashboard ini akan menampilkan perbedaan angka lintas unit secara otomatis, sehingga memudahkan tim keuangan melakukan tindak lanjut cepat terhadap selisih data yang ditemukan.
6. Penyusunan Laporan Keuangan: LRA, Neraca, Arus Kas, dan CALK
Laporan Keuangan BLUD tidak hanya berfungsi sebagai pertanggungjawaban akhir tahun, tetapi juga sebagai alat strategis dalam pengambilan keputusan, baik untuk evaluasi kinerja internal maupun transparansi kepada publik dan pemangku kepentingan. Oleh karena itu, penyusunan laporan ini harus mengikuti struktur standar sebagaimana ditetapkan dalam SAP berbasis akrual, dengan menyusun empat komponen utama secara sistematis:
6.1 Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
LRA memberikan gambaran tentang sejauh mana realisasi pendapatan dan belanja yang telah dilakukan dibandingkan dengan anggaran yang ditetapkan dalam APBLUD. LRA harus dikelompokkan berdasarkan program dan kegiatan, termasuk klasifikasi belanja menurut jenisnya (belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal). Penyajian LRA harus mencerminkan efektivitas pelaksanaan anggaran serta efisiensi operasional BLUD.
6.2 Neraca
Neraca mencerminkan posisi keuangan BLUD pada akhir tahun, dengan menyajikan informasi aset (aktiva), kewajiban (liabilitas), dan ekuitas dana. Dalam neraca ini akan terlihat total aset lancar, aset tetap yang telah disusutkan, kewajiban jangka pendek seperti utang operasional, serta sisa dana (surplus atau defisit) yang dimiliki BLUD. Penyusunan neraca yang akurat memerlukan pencatatan aset dan penyusutan yang tepat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
6.3 Laporan Arus Kas
Laporan ini mengelompokkan semua aliran kas ke dalam tiga aktivitas utama: operasi (pendapatan dan belanja harian), investasi (pembelian atau penjualan aset tetap), dan pendanaan (hibah, pinjaman, atau penyertaan modal). Arus kas sangat penting untuk menilai kemampuan likuiditas BLUD dalam memenuhi kebutuhan operasional harian, seperti pembayaran gaji, pembelian obat, dan tagihan lainnya.
6.4 Catatan atas Laporan Keuangan (CALK)
CALK adalah komponen naratif yang memberikan penjelasan mendalam terhadap angka-angka dalam tiga laporan sebelumnya. Dalam CALK, disampaikan kebijakan akuntansi yang digunakan (metode penyusutan, klasifikasi akun), rincian transaksi besar (misalnya hibah dalam jumlah signifikan), kewajiban kontinjensi, serta informasi non-finansial yang relevan, seperti status gugatan hukum atau perubahan struktur organisasi. CALK juga mencakup penjelasan atas deviasi besar antara anggaran dan realisasi.
Semua laporan ini disusun berurutan dan harus saling terintegrasi, sehingga satu angka di LRA dapat ditelusuri penjelasannya dalam CALK, sementara neraca dapat dihubungkan dengan perubahan posisi kas dalam laporan arus kas.
7. Penyusunan Laporan Keuangan BLUD yang Efektif: Konsistensi dan Transparansi
Penyusunan laporan keuangan yang efektif dan bernilai tambah bagi BLUD bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga bagaimana laporan tersebut menjadi instrumen nyata untuk perbaikan tata kelola dan pengambilan kebijakan. Untuk itu, dua prinsip mendasar yang harus dijunjung tinggi adalah konsistensi dan transparansi.
Konsistensi
Konsistensi berarti bahwa metode pencatatan, klasifikasi akun, metode penyusutan, dan sistem pengakuan pendapatan dan beban tidak berubah-ubah antar tahun buku, kecuali ada perubahan regulasi atau kebijakan teknis yang mendesak. Jika perubahan memang diperlukan, misalnya karena adopsi sistem ERP baru atau revisi Permendagri, maka perubahan tersebut harus disertai penjelasan lengkap dalam CALK, termasuk dampaknya terhadap angka laporan, penyesuaian periode sebelumnya, dan metode transisi yang digunakan.
Transparansi
Transparansi dalam laporan keuangan BLUD mengharuskan semua keputusan finansial yang material dijelaskan secara terbuka. Misalnya, jika BLUD membuat estimasi umur ekonomis aset selama 10 tahun untuk alat radiologi, maka penjelasan ini harus dimuat di CALK agar auditor dapat menilai kewajaran. Begitu pula jika BLUD membentuk cadangan piutang tak tertagih karena banyak klaim BPJS yang belum dibayar, maka dasar penetapan cadangan tersebut perlu disampaikan, termasuk metode perhitungannya (misalnya 10% dari piutang lebih dari 180 hari).
Transparansi juga menyangkut pengungkapan atas komitmen jangka panjang, seperti kontrak kerja sama swasta (KPBU), beban sewa menyewa alat medis, atau pembiayaan pembangunan. Semua ini akan memberikan gambaran kepada pembaca laporan-termasuk DPRD, BPK, atau mitra swasta-bahwa BLUD memiliki tanggung jawab finansial yang harus diperhitungkan secara menyeluruh.
8. Koordinasi dengan Auditor Internal dan Eksternal
Keberhasilan penyusunan laporan keuangan BLUD bukan hanya diukur dari hasil akhir (apakah opini WTP atau tidak), tetapi juga dari proses koordinasi yang terstruktur dan kooperatif dengan auditor internal dan eksternal sejak awal tahun berjalan. BLUD tidak boleh menganggap audit sebagai kegiatan pasif yang hanya dilakukan setelah laporan selesai, tetapi sebagai bagian dari mekanisme pengendalian internal yang aktif dan partisipatif.
Audit Internal
Inspektorat Daerah atau Satuan Pengawas Intern (SPI) BLUD perlu dilibatkan sejak triwulan ketiga dalam proses pre-audit atau evaluasi awal. Tim keuangan harus membuka akses kepada dokumen transaksi besar, klasifikasi aset, dan sistem keuangan, agar jika ada kekeliruan pencatatan bisa segera diperbaiki sebelum tutup buku. Audit internal ini penting sebagai simulasi menghadapi audit dari BPK dan akan meminimalisir temuan berat yang berdampak pada opini.
Audit Eksternal
Audit eksternal oleh BPK umumnya dilakukan dalam dua tahap: audit pendahuluan (interim audit) dan audit terinci pasca pelaporan. Untuk mempercepat proses dan meningkatkan kualitas interaksi dengan auditor BPK, BLUD perlu:
- Menyediakan dokumen pendukung secara digital melalui server khusus audit;
- Menyiapkan narasi penjelas atas transaksi besar atau tidak lazim;
- Melibatkan pejabat struktural dalam sesi wawancara atau klarifikasi agar komunikasi lancar;
- Menunjuk koordinator audit BLUD untuk menyatukan komunikasi antar bidang.
Dengan keterbukaan, dokumentasi yang rapi, serta kesiapan teknis, audit dapat menjadi proses pembelajaran bersama yang memperkuat pengelolaan keuangan BLUD secara berkelanjutan.
9. Review dan Validasi Laporan Bersama Pemangku Kepentingan
Penyusunan laporan keuangan BLUD tidak berakhir begitu dokumen rampung secara teknis. Salah satu tahap krusial yang kerap diabaikan namun berdampak besar terhadap keberterimaan dan legitimasi laporan adalah sesi review dan validasi laporan keuangan secara terbuka bersama para pemangku kepentingan. Langkah ini bukan sekadar prosedur formalitas, melainkan forum strategis untuk membangun kepercayaan dan menyamakan persepsi lintas sektor terhadap capaian dan tantangan keuangan BLUD.
Workshop atau forum validasi ini sebaiknya dilaksanakan sebelum laporan diajukan ke kepala daerah, DPRD, atau dipublikasikan secara daring. Peserta kunci yang perlu diundang antara lain:
- Kepala Daerah selaku penanggung jawab utama kebijakan publik;
- Kepala BPKAD dan Inspektorat Daerah sebagai pengawas keuangan daerah;
- Ketua atau anggota Komisi Kesehatan DPRD yang memahami dinamika pembiayaan layanan publik;
- Perwakilan Dinas Kesehatan sebagai pembina teknis;
- Serta unsur masyarakat sipil seperti akademisi, LSM, asosiasi profesi, atau media lokal.
Dalam forum ini, tim keuangan BLUD perlu menyajikan laporan secara naratif dan visual. Gunakan grafik tren pendapatan dan belanja, infografik neraca aset, hingga tabel rasio keuangan yang mudah dipahami non-akuntan. Jelaskan deviasi signifikan antara anggaran dan realisasi, baik karena efisiensi belanja, keterlambatan klaim BPJS, atau realokasi anggaran. Paparkan penyebab surplus atau defisit, dan bagaimana surplus tersebut akan dimanfaatkan: apakah untuk pengadaan alat kesehatan, peningkatan kapasitas SDM, atau pembangunan klinik baru.
Yang lebih penting, paparkan juga rencana tindak lanjut atas kelemahan yang ditemukan dalam laporan atau audit tahun sebelumnya. Misalnya, jika tahun lalu ditemukan lemahnya pencatatan aset tetap, maka tunjukkan progres dalam inventarisasi dan pendaftaran barang.
Dengan keterlibatan lintas sektor ini, laporan keuangan tidak hanya kuat secara akuntansi, tapi juga kuat secara politik dan sosial. DPRD lebih mudah menyetujui rencana pengembangan BLUD karena memahami posisi keuangannya. Masyarakat merasa dilibatkan dan memiliki ruang dialog. Dan kepala daerah dapat menjadikan laporan ini sebagai basis untuk mengambil keputusan strategis yang berdampak luas.
10. Rekomendasi Praktik Terbaik dan Continuous Improvement
Laporan keuangan BLUD idealnya bukanlah produk akhir yang bersifat stagnan, tetapi dokumen hidup yang terus mengalami peningkatan kualitas dari waktu ke waktu. Untuk itu, BLUD perlu menanamkan budaya perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dalam proses penyusunannya. Berikut beberapa praktik terbaik yang bisa diterapkan secara sistemik:
10.1 Automasi Entry Data
Salah satu sumber kesalahan dan keterlambatan dalam pelaporan adalah entri data manual. Untuk mengatasinya, BLUD dapat menggunakan teknologi automasi seperti Optical Character Recognition (OCR) untuk mengekstrak data dari faktur, kuitansi, atau hasil laboratorium. Lebih canggih lagi, integrasi API antara sistem pendaftaran pasien (e-Klinik), SIMRS, dan sistem keuangan memungkinkan data kunjungan, tarif, dan tagihan langsung masuk ke jurnal akuntansi tanpa perlu input ulang, mengurangi risiko human error.
10.2 Pelatihan Berkala untuk Tim Keuangan
Tim keuangan BLUD tidak boleh berhenti belajar. Pengetahuan tentang SAP berbasis akrual, pemahaman akun-akun neraca, teknik penulisan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK), hingga penggunaan software ERP dan dashboard keuangan harus terus diasah. Pelatihan ini juga perlu menyasar manajer layanan atau unit kerja lain, agar mereka memahami pentingnya dokumentasi dan validitas transaksi.
10.3 Benchmarking Tahunan
BLUD perlu mengembangkan sistem benchmarking-baik internal maupun eksternal-untuk mengukur posisi keuangannya secara obyektif. Beberapa indikator yang dapat dibandingkan antara lain:
- Rasio surplus/defisit terhadap pendapatan;
- Rasio perputaran persediaan farmasi;
- Rasio piutang BPJS tertagih;
- Biaya overhead per pasien;
- Efisiensi biaya operasional per layanan.
Benchmarking dapat dilakukan antarsesama BLUD di provinsi, atau terhadap standar nasional Kemenkes atau Kemendagri. Hasil benchmarking menjadi bahan refleksi dan dasar rekomendasi perbaikan.
10.4 Penguatan Unit Regulatory Watch
Dengan regulasi yang terus berkembang-baik Permendagri, Permenkes, PMK, maupun kebijakan JKN dari BPJS-BLUD membutuhkan unit atau tim kecil yang secara khusus memantau dan menganalisis perubahan regulasi. Tim ini akan menyaring perubahan aturan yang berdampak langsung pada sistem pelaporan dan keuangan BLUD, lalu menerjemahkannya menjadi perubahan SOP atau kebijakan internal.
10.5 Sistem Feedback Loop Terstruktur
Akhirnya, penting bagi BLUD untuk membangun mekanisme umpan balik (feedback loop) yang melibatkan berbagai pihak. Auditor internal dan eksternal dapat memberikan catatan, namun perlu juga didengar masukan dari manajer unit layanan, pasien, dan pemangku kepentingan lain. Masukan bisa berupa saran perbaikan penyajian laporan, keterbukaan terhadap informasi keuangan, atau masukan teknis terkait CALK. Semua masukan ini harus dikumpulkan, dikaji, dan ditindaklanjuti dalam penyusunan laporan keuangan tahun berikutnya.
Dengan menerapkan praktik-praktik ini secara konsisten, BLUD akan memasuki siklus perbaikan berkelanjutan yang memperkuat akuntabilitas, meningkatkan efisiensi, dan menjadikan laporan keuangan sebagai alat manajemen strategis, bukan sekadar laporan formal.
11. Penutup
Menyusun laporan keuangan BLUD bukanlah sekadar kewajiban administratif untuk memenuhi tuntutan regulasi, tetapi sebuah proses strategis yang mencerminkan tingkat profesionalisme dan integritas dalam pengelolaan layanan publik berbasis keuangan negara. Dalam era otonomi daerah dan tekanan efisiensi pembiayaan kesehatan, laporan keuangan menjadi salah satu tolok ukur utama apakah BLUD benar-benar mampu mengelola dana publik dengan transparan, akuntabel, dan berorientasi pelayanan.
Dari pemahaman atas kerangka regulasi dan standar akuntansi berbasis akrual, hingga pengelolaan sistem informasi keuangan yang terintegrasi, klasifikasi transaksi, pengakuan aset, rekonsiliasi antar-unit, hingga penyusunan dan validasi laporan, seluruh proses menuntut komitmen, keahlian teknis, dan koordinasi lintas unit. BLUD yang menyadari pentingnya hal ini akan mampu menghasilkan laporan keuangan yang tidak hanya lolos audit, tetapi juga memberikan nilai tambah sebagai alat pengambilan keputusan berbasis data, membangun kepercayaan publik, dan menjadi dasar bagi inovasi serta perbaikan mutu layanan.
Dengan terus melakukan evaluasi dan menerapkan praktik-praktik terbaik, laporan keuangan BLUD dapat berkembang menjadi pilar utama dalam membangun BLUD yang sehat secara finansial, berdaya saing secara operasional, dan berdampak secara sosial-bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam kehidupan masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.